Gibran Aset atau Beban Prabowo | IST
Gibran Aset atau Beban Prabowo | IST

“GIBRAN RAKABUMING RAKA ASET ATAU BEBAN BAGI PRABOWO SUBIANTO”

(1)

By Eddy Junaidi / Nusantara Institute
“Tenang pak Prabowo, saya sudah ada di sini (anak haram Konstitusi) bagi publik dan anak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia bagi Prabowo Subianto” (cuplikan pidato Gibran Rakabuming Raka pada deklarasi Paslon No. 02 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden).
Kalimat singkat bernada sombong, seolah-olah Prabowo sangat membutuhkan dirinya. Belum lagi saat Debat Cawapres yang melecehkan Muhaimin Iskandar atau lebih dikenal sebagai Cak Imin (Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa), juga melecehkan Prof. Mahfud MD, seorang Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, yang sebelum Pilpres adalah salah satu anggota kabinet yang diandalkan ayahnya yakni Joko Widodo, yang giat dalam proses pemakzulan.
Teori Aset dan Liability Management
Dalam teori Kebijakan Publik, seorang pemimpin harus paham betul, mana yang aset dan mana yang liability (beban) pada dirinya dan lingkungan sekitarnya. Dalam teori Prudential Leadership: “Seorang pemimpin harus bisa memanfaatkan dengan mengkapitalisasi aset untuk kekuatannya, dan mengeliminir beban untuk menutup citra lemahnya pada khalayak”.
Menurut penulis, Gibran adalah aset bagi Prabowo Subianto, karena berhasil memenangkan Pilpres 2024 berkat Jokowi Effect, dan menjadikannya Presiden Republik Indonesia pada Oktober 2024. Dengan duet (konspirasi) kolaborasi yang tidak terkalahkan antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo sebagai Presiden yang melekat pada dirinya, untuk cawe-cawe dalam Pilpres 2024, dan untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai alasan politisnya. Duet ini sukses dengan Jokowi Effect (teknologi kecurangan) yang sudah dibahas pada tulisan sebelumnya.
Dalam dialog Semar dan Petruk pada adegan dagelan wayang yang viral: “Karena seorang anak haram konstitusi untuk politik dinasti, negara (rakyat) membayar mahal. Sikap cawe-cawe telah melecehkan gengsi negara, dan rakyat membayarnya. Sebegitu mahalnyakah anak haram itu bagi bangsa Indonesia?”
Sederhana namun sarkas, begitu penggalan dialog Petruk dan Semar, ayahnya dalam wayang viral, saat protes kecurangan marak di media sosial dan demonstrasi elemen Civil Society pada Februari 2024.
Melanjutkan bahwa Gibran adalah aset bagi Prabowo Subianto dan Joko Widodo saat proses Pilpres, dan aset bagi politik dinasti keluarga Iriana Joko Widodo. Apakah kolaborasi berbau konspirasi ini akan berumur panjang? Hanya sejarah NKRI yang akan menjawabnya.
Jawabannya adalah bagaimana kelanjutan Hak Angket dalam perjalanannya di DPR RI, apakah berujung ke tujuan pemakzulan Joko Widodo ala Megawati Soekarnoputri (PDI Perjuangan), dan koalisi parpol Paslon 01 dan Paslon 03 di DPR RI (parameter-1)?
Parameter-2 adalah bagaimana reaksi Petisi 100 plus elemen Social Society pada pasca pengumuman KPU – 20 Maret 2024 terhadap kemenangan paslon 02 secara de facto yang diduga hasil kecurangan. Duet maut ini sangat powerful saat ini, karena Presiden Republik Indonesia sampai dengan Oktober 2024, dan pasangannya seorang Prabowo Subianto dengan watak temperamental, yang keduanya eforia pasca 20 Maret 2024.Tentu dengan segala cara akan mempertahankan keamanan kemenangannya sampai Oktober 2024 dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedelapan.
Diyakini apapun caranya Prabowo Subianto dan Joko Widodo akan mempertahankan kemenangannya, termasuk tindakan represif dengan aparat TNI dan Polri yang dalam kendali penuh, karena “orang-orang mereka”. Prabowo Subianto dengan watak temperamental akan memimpin langsung dalam fungsinya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Berikutnya apa yang dilakukan oleh kedua orang ini pasca Oktober 2024? Joko Widodo akan menjaga Gibran dan Prabowo mengeliminir pengaruh Joko Widodo kepada Gibran sebagai Wakil Presiden?
Sengit dan tetap menegangkan jika lolos dari tuduhan kecurangan, karena ancaman krisis politik dan ekonomi berpotensi cross dan terjadi chaos (Maret sampai dengan Oktober 2024). Faktor perlawanan elemen Civil Society dengan potensi people power di satu sisi dapat mengakibatkan terjadinya krisis politik, dimulai dengan Hak Angket oleh PDI Perjuangan dan sekutu taktisnya yang bersimbiosis dengan oposisi non parlemen (telah dibahas pada tulisan Seri-II).
Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka akan melakukan beberapa hal untuk politik dinasti. Joko Widodo sudah kepalang basah, pasti akan dengan segala cara untuk menutupi kejahatannya selama 10 tahun ini, misalnya dengan skema Jokowi Effect berikutnya, termasuk menyingkirkan Prabowo Subianto di tengah jalan, seperti Machievellisme yang dianutnya.
Begitu juga sebaliknya, Prabowo Subianto berpotensi melakukan hal yang sama kepada Gibran Rakabuming Raka. Dengan kata lain Prabowo Subianto akan mengkhianati komitmennya untuk melindungi Joko Widodo yang telah mewujudkan janjinya menjadikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia kedelapan.
Siasat Joko Widodo yang menjadikan Prabowo Subianto sebagai sekutu taktis dengan islah mengangkat Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan adalah naluri politisnya yang gemilang untuk kerjasama berbau konspirasi. Bagi Joko Widodo, seorang Prabowo Subianto adalah oposisi paling berbahaya jika dibiarkan sebagai oposisi di parlemen bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), beserta Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebagai koalisi oposisi paling besar jika terjadi. Joko Widodo yakin Pilpres 2024 akan dua putaran, dan paslonnya akan kalah dengan kolaborasi paslon 01 dan paslon 03 pada putaran kedua. Maka duet konspirasi Prabowo Subianto-Joko Widodo “cawe-cawe” melalui Jokowi Effect (baca: teknologi kecurangan) untuk memenangkannya pada Pilpres 2024.
Awal konspirasi melalui islah dengan Prabowo Subianto, lalu ketika peringatan HUT Perindo tanggal 7 November 2022 (2 tahun sebelum Pilpres), Joko Widodo mengatakan: “Kelihatannya setelah ini, jatah pak Prabowo menjadi Presiden”.
Pernyataan tersebut membuat Prabowo Subianto tersipu, haru, kemudian memberi hormat kepada Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Padahal pada Oktober 2023 Joko Widodo melakukan rekayasa melalui Denny JA dan M. Chudori cs (“surepay”) agar Ganjar Pranowo menjadi rating pertama dalam popularitas dan elektabilitas di saat Anies Baswedan dan Prabowo Subianto belum melakukan apa-apa. Begitulah politik ala Mataram Ken Arok.
Setelah Ganjar Pranowo diambil oleh PDI Perjuangan, Joko Widodo tersinggung karena Megawati Soekarnoputri seringkali menyatakan bahwa: Joko Widodo adalah petugas partai; berkat PDI Perjuangan maka bisa menjadi Presiden; entah menjadi apa dia jika tidak didukung oleh PDI Perjuangan sejak menjadi Walikota Solo (2 periode), Gubernur DKI Jakarta terpilih (2012-2014), dan Presiden Republik Indonesia terpilih (2 periode).
Saat ini Megawati Soekarnoputri bersama oposisi DPR dan elemen Civil Society yang secara tidak langsung ditunggangi oleh Jusuf Kalla melalui Petisi 100 plus, berkolaborasi melakukan protes kecurangan Pemilu. Bisa jadi Jusuf Kalla menjadi operator sekaligus bohir dengan meminta dana dari taipan pendukung pemakzulan Joko Widodo. Faktor Amerika Serikat (Hitman), Xi Jinping, Sri Mulyani (krisis ekonomi), perlawanan mengarah kepada people power sebagai variable penentu. Mahasiswa diminta atau tidak diminta akan menjadi tombak terdepan dalam pemakzulan Joko Widodo yang eksesif pada kemenangan Prabowo Subianto.
(bersambung ke bag.2)