Gibran Aset atau Beban Prabowo | IST
Gibran Aset atau Beban Prabowo | IST

“GIBRAN RAKABUMING RAKA ASET ATAU BEBAN BAGI PRABOWO SUBIANTO”

(3)

By Eddy Junaidi / Nusantara Institute
Bagaimana nasib Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka pada 2024-2029?
Penulis jelas bukan ahli terawangan, tetapi dari realitas politik, dapat diprediksi nasib Politik Dinasti Iriana-Joko Widodo. Berbeda dengan Soeharto yang dibantu oleh Zaken Kabinet 1967 saat pertama kali menjadi Presiden Republik Indonesia. Dari seorang tentara lapangan yang dikenal sebagai ahli strategi, tercatat merekrut “mafia Berkeley” untuk sektor ekonomi, seperti: Prof. Widjojo Nitisastro, Prof. Ali Wardhana, Prof. Mohammad Sadli; dan Prof. Emil Salim untuk sektor lingkungan hidup; serta Prof. Soebroto untuk sektor energi.
Di bidang politik ada Amirmachmud (Menteri Dalam Negeri), Prof. Mochtar Kusumaatmadja (Menteri Luar Negeri), Ali Murtopo (Staf Khusus Bidang Politik), dan peran CSIS sebagai think tank di bidang ekonomi: Prof. Jusuf Panglaykim, Prof. Mari Elka Pangestu, Prof. Djisman Simandjuntak.
Di teknokratis untuk Pekerjaan Umum (infrastruktur), ada Ir. Sutami; Prof. Harun Al Rasjid Zain (Menteri Tenaga Kerja); Prof. Haryono Suyono (BKKBN); Prof. Andi Hakim Nasution (Pertanian), sehingga Indonesia mampu swasembada pangan.
Indonesia menjadi Macan Asia, dan ingin melunasi utang untuk lepas landas 1992. Sayangnya IMF/Bank Dunia tidak ingin Indonesia mandiri, menjadi negara maju (Non Blok), harus dengan skema Sekutu Amerika Serikat (AS), seperti Jepang, Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. Soeharto menolak, maka lalu dijatuhkan. Soeharto (32 tahun berkuasa) mau dibandingkan dengan Joko Widodo yang 10 tahun berkuasa. Tentu seperti bumi dan langit. Soeharto otoriter berbasis payung hukum Undang-Undang Subversif, dan hancur di bidang demokrasi, tetapi di bidang ekonomi rakyat sejahtera.
Bayangkan pada tahun 1997 nilai kurs mata uang asing USD 1 = Rp2.500 sedangkan sekarang USD 1 = Rp15.000; Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dahulu Rp700 per liter, sekarang Rp15.000 per liter. Pada tahun 1997 pertumbuhan rata-rata 7–9% sedangkan di era Joko Widodo pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 4–5%. Soeharto pernah menjabat sebagai Ketua Negara Non Blok, dan paling berpengaruh di ASEAN, serta disegani di negara-negara APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) dan G-20. Petani disubsidi mulai dari bibit, pupuk, bimbingan, dan infrastruktur pertanian sehingga mencapai swasembada pangan, bahkan mendapat penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization) PBB.
Bandingkan Zaken Kabinet (ahli) dengan Kabinet Koalisi Joko Widodo yang masing-masing menteri berasal dari partai politik, yang menjadikan kementeriannya sebagai ATM. Tercatat di era Joko Widodo paling “parah” korupsinya, dan pemerintahannya dikuasai oleh oligarki, dan didukung oleh Cina, Xi Jinping sebagai saudara tua. Di era Joko Widodo kedaulatan politik tercerabut, begitu juga dengan kedaulatan ekonomi pada swasta dari para taipan sebagai koloni oligarki. Belum lagi sikap dan perilaku politiknya khusus di era 2019-2024. Keuangan negara dikelola secara akrobatik (ugal-ugalan), kebijakan melalui UndangUndang dan regulasi diadakan untuk investor dan oligarki yang menjadi partner strateginya, dikenal dengan 9 Naga.
Di akhir kekuasaannya, dukungan oligarki menjauh dari dirinya, mulai dari Cina (Xi Jinping), karena Joko Widodo gagal menjabat Presiden sebanyak 3 periode. Amerika Serikat juga cenderung menjauh karena haluan politik menjurus pro Beijing, bukan lagi Non Blok (geo-politik); taipan menjauh karena Joko Widodo tidak dapat memproteksi kartel mereka (pada kelapa sawit–minyak goreng), sehingga beberapa perusahaan taipan dipidana.
Puncak ketidak-percayaan taipan pada kasus BTS (Base Transceiver Station) – Kementerian Komunikasi dan Informatika, dimana partner Huawei dan ZTE dipidanakan. Hal ini terdengar sampai ke telinga Xi Jinping, sehingga Joko Widodo diberi ultimatum: “Jika tidak bisa menjabat selama 3 periode, kerjasama akan selesai”.
Berikutnya, dukungan dari 9 Naga lepas dan menjauh dari istana, diikuti oleh oligarki parpol (pecah kongsi) dengan Megawati Soekarnoputri (PDIP), sehingga rencana jabatan presiden 3 periode ditolak. Selanjutnya Joko Widodo melemah, meminta proteksi dari Prabowo Subianto dengan menjadikannya Presiden bersama putranya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024–2029 dengan kemenangan dampak dari Jokowi Effect (teknologi kecurangan).
Bahkan Kaesang Pangarep diusung menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan pasal: Gubernur DKI akan dipilih langsung oleh Presiden Republik Indonesia pada pilkada yang seharusnya diselenggarakan pada November 2024 (karena Joko Widodo akan lengser pada Oktober 2024) dipercepat menjadi September 2024, namun hal tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang DKI ditolak kembali oleh PDI Perjuangan (Megawati Soekarnoputri). Kaesang gagal menjadi Gubernur DKI (2024-2029).
Dia memang tidak tahu malu, untuk posisi Bupati Sleman periode 2024-2029, akan dicalonkan istri Kaesang yang baru dinikahi pada akhir 2023. Politik dinasti akan gagal. Timbul anekdot bahwa carut-marut Republik Indonesia berkat cawecawe Iriana-Joko Widodo (Jokowi Effect–Rezim palsu-palsu). Perlawanan oposisi parlemen dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri (PDIP), sedangkan untuk oposisi non parlemen dipimpin langsung oleh Jusuf Kalla (Wakil Presiden periode 2014 dan 2019 bersama Joko Widodo). Jusuf Kalla dibantu oleh 7 Jenderal bintang empat dan puluhan Jenderal (Purnawirawan) yang menjurus kepada pemakzulan Joko Widodo. Loloskah Joko Widodo dari pemakzulan? Wallahu A’lam Bishawab. Kita lihat people power yang menjurus krisis politik, dan gerak Sri Mulyani dengan keuangan negara yang berpotensi terjadi krisis ekonomi. Semua akan cross antara April-September 2024.
Joko Widodo, enough and enough, you will end.
(Selesai)