Sengketa Pilpres :  Kuasa Paslon 02 Hanya Bertahan Dengan Teks Dan Pasal Hukum Sebagai Mayat

JAKARTASATU.COM– Koordinator Kajian Merah Putih Sutoyo Abadi mengatakan, Prof. Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, adalah pakar hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang memiliki gagasan dan pandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Atau hukum dibentuk untuk kekuasaan bukan kekuasaan untuk hukum.

Menurut Sutoyo sudah seharusnya proses hukum dalam konteks manusia, tidak hanya berkutat pada teks dan peraturan. Saat ini pelaksanaan hukum tidak dilaksanakan secara benar dan utuh, tetapi hanya ”mayat” hukum. Sosok hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia atau kemanisan.

“Dalam sengketa Pilpres kita sedang menikmati sinetron perdebatan hukum , semua pakar hukum sedang  berakrobat mendalilkan pasal pasalnya dalam teks demi kekuasaan,” kata Sotoyo kepada wartawan, Jum’at, 29/3/2024.

“Persis yang digambarkan Prof Satjipto Rahardjo teks dan pasal hukumnya sebagai mayat. Para profesional memang memerlukan pegangan hukum formal itu sebagai modal untuk bekerja. Di tangan mereka hukum ”bisa” ditekuk-tekuk untuk keperluan profesi dan kekuasaan,” terang Sutoyo.

“Kata  William Shakespeare begitu berang terhadap para yuris yang ingin menghabisi lawan politiknya,” imbuhnya.

“Kasus Gibran sebagai Cawapres pada sengketa Pilres sangat bisa dinikmati sebagai permainan hukum untuk kekuasaan,” tukas Sutoyo.

Sutoyo menilai sangat dirasakan di era Jokowi, rekayasa memproduksi hukum  bukan untuk kemanusiaan, keadilan, ketertiban masyarakat. Justru Oligarkilah yang menikmati karena hampir semua produk hukum yang lahir  hasil pesanan Oligarki dengan imbalan harga yang telah disepakati.

“Demikianlah wajah  Mahkamah Kalkulator, Mahkamah Keluarga dan Mahkamah Konspirasi ( MK ), dalam sengketa Pilpres, kecil harapan akan menghiasi keputusan dengan nilai keadilan,” terang Sutoyo.

“Karena wajah hakim MK yang terjadi selama ini, sedang bekerja bukan untuk keadilan tetapi untuk  melegitimasi kekuasaan atas nama keadilan dengan legitimasi keputusan Mahkamah Konstitusi ( MK ).” tandasnya.

Sutoyo menduga hasil keputusan MK hanya akan menyisakan kekecewaan dan kemarahan rakyat makin membesar. Karena sejak awal sudah mencurigai MK bagian dari korporasi kekuasaan.

Lebih jauh ia menilai sengketa Pilpres harus patuh dengan keinginan penguasa, akan sama persis seperti keputusan KPU mencetak kemenangan angka untuk Capres 02 yang misterius, jelas hasil kecurangan, dilakukan dengan terang terangan dan brutal.

“Keterpurukan, keambrukan (collapse) hukum sudah nyata di depan mata. Pengalaman terjadinya rekayasa kemenangan Capres dalam setiap Pilpres telah terulang menjadi milik penguasa dan para bandar pemilik modal,” ungkapnya.

Selain itu ia menilai tuntutan kejujuran dan keadilan dalam Pilpres hampir dipastikan akan mengalami jalan buntu “tersisa pengadilan rakyat”

“Semua akan terpulang kepada rakyat Indonesia sebagai pemilik kekuasaan yang telah dirampas atas nama hukum dan kekuasaan, “bangkit melawan atau diam selamanya akan di lindas”, tandasnya. (Yoss)