Gugatan PHPU 01 dan 03 Akan Kembali Menguji Kompetensi Hakim MK Apakah Masih Berjubah Mahkamah Keluarga ?

MN LAPONG
(Presedium Posko Relawan Rakyat Indonesia – PRRI)

Masih kuat diingatan publik beberapa waktu lalu tepatnya dalam sengketa gugatan usia Capres/Cawapres yang diajukan oleh beberapa pemohon, termasuk di dalamnya partai PSI-nya Kaesang, yang mengharapkan agar batas usia Capres Cawapres 40 tahun dalam UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu diubah seperti maksud para pemohon.

Cerita berikutnya kemudian malapetaka terjadi, MK blunder menjadi (Mahkamah Keluarga), lewat Putusan MK Nomor 90/puu-xxi/2023, MK membuat Norma Baru (alias palsu) Tentang batas usia di bawah 40 tahun, yang mana selama ini tidak menjadi wewenang MK melainkan adalah wewenang pembuat undang undang (legislatif-eksekutif).

Publik pun curiga, Paman Usman Ketua MK sebagai Om-nya adek Gibran (ponakannya) diduga  sengaja memberi karpet merah agar ponakan tersebut lolos menjadi kandidat cawapres pendamping Prabowo.

Paman Usman pun tidak dapat mengelak dari tuduhan publik sebagai Aktor intelektual dalam putusan tersebut, karena nyaris semua bukti mengarah kepada Ketua MK.

Akibatnya Paman Usman di Finalti oleh Jimly Asshiddiqie Ketua MKMK, karena Pelanggaran Berat Kode Etik dengan sanksi pemecatan sebagai Ketua MK dan berstatus Hakim MK Passive.

Dalam gestur yang ditangkap pemirsa lewat TV dan video yang viral, dari beberapa wawancara Jimly Asshiddiqie, nampak terlihat raut muka marah, kesel, kecewa bercampur rasa malu, sebab sebagai tokoh peletak dasar dan inisiator berdirinya MK berdasarkan UU tidak habis pikir, hal tersebut bisa terjadi?

Dampak ulah dari cawe cawe Politik Dinasti Joko Widodo sungguh luar biasa.

Setelah Putusan MK nomor 90/puu-xxi/2023 menuai kritik pedas Publik dan huru hara politik. Tanpa rasa malu dari ribuan sinisme publik, baik yang diungkap Jurnalisme Tempo dan media jurnalis dalam dan luar negeri, semua diabaikan, Jokowidodo tetap kekeh melanjutkan cawe cawe politik dinastinya.

Dan semua fakta terlihat makin jelas apa yang dilakukan penguasa Joko Widodo pada masa kampanye untuk Paslon 2 bin Cawapres Gibran pun ditabrak, sejak dari penetapan Paslon Nomor Urut 2 oleh KPU, Ucapan Jokowi Presiden kampanye untuk Paslon Nomor Urut 2, intimidasi dan penggunaan aparat,  penggunaan bansos secara massif untuk pemenangan Paslon Nomor Urut 2, sampai kepada soal Sirekap dan banyak lagi bentuk kejanggalan dari main stream kekuasaan untuk memenangkan Paslon Nomor Urut 2 dalam skenario 1 (satu) putaran.

Tontonan cawe cawe Politik Dinasti Jokowidodo yang “kurang ajar” ini membuat muak publik waras.

Bereaksinya Dunia kampus (para Guru Besar dan mahasiswa), para pakar, tokoh aktivis, tokoh agama, Jenderal jenderal purnawiran, Pengamat dan Jurnalis, membuat mereka turun gunung meneriakkan kecemasan pada ancaman Politik Dinasti Jokowidodo dengan satu ritme artikulasi gerakan : #LawanPemiluCurang!

Ikrar Nusabakti (Tokoh Aktivis, Dosen, Peneliti, Penulis sekaligus pengamat) pun tereak, “masa kita pemilik negeri dikalahkan 1 keluarga yang isinya 5 Orang itu?”

Unjuk rasa dan rapat umum bermunculan di mana mana, dengan protes yang berbeda beda, antara lain : Jokowi Mundur, Makzulkan Jokowi, boikot pemilu, Pemilu ulang tanpa Jokowi, dan diskualifikasi Paslon Nomor Urut 2 dan Prabowo tanpa Gibran alias tolak Cawapres Gibran.

Ditengah ketidak percayaan publik kepada MK yang sudah bergeser kepada pilihan Hak Angket di DPR oleh dinamika politik bermunculan makin cepat dan antusias.

Namun pilihan konstitusi harus dilalui, ranah publik pun berpindah ke MK setelah pasangan Nomor Urut 1 dan 3 mengajukan PHPU, yang tidak puas dengan hasil pemilu yang penuh kejanggalan yang dinilai sebagai suatu kejahatan yang terstruktur, massif, dan sitemik yang diduga dilakukan oleh struktur institusi kekuasaan akibat dampak cawe cawe politik seorang presiden Joko Widodo.

Ujian terberat MK hari ini dimata publik Indonesia dan dunia Internasional adalah ; Bagaimana Hakim Hakim MK membebaskan diri dari tuduhan miring publik, MK sebagai lembaga Mahkamah Keluarga Politik Dinasti Joko Widodo ; Dan bagaimana MK memutuskan perkara PHPU yang di ajukan Paslon Nomor Urut 1 dan 3 dengan independen dan jujur tanpa terpengaruh kepentingan Presiden Joko Widodo.

Tentu banyak hal yang perlu diperdebatkan dalam putusan PHPU nantinya berlangsung kurang lebih sebulan oleh para Hakim MK selain melawan tekanan dari penguasa, juga antara lain soal timbangan perdebatan hukum, yakni apakah Hakim MK berani keluar dari bayang bayang tekstual normatif hukum yang selama ini banyak dijalankan oleh para Hakim di Indonesia dalam memutuskan perkara.

Perlu ada terobosan baru dari para Hakim MK soal pemaknaan kembali istilah TSM dalam sengketa PHPU, mengingat fakta dan dampak cawe cawe Politik Dinasti Joko Widodo yang dapat terihat dengan mata telanjang dalam rekam jejak digital.

Kita rindu kembali hadir sosok Tokoh Hakim Agung yang Progressive seperti Bismar Siregar SH yang saat itu hukum tanpa teks mengaturnya, berani memutuskan menghukum seorang laki laki yang ingkar janji kepada perempuan pacarnya yang telah dirampas mahkota keperawanannya dengan semena-mena.

MK bukanlah intitusi (Mahkamah Kalkulator) dari suatu rezim hukum institusi yang bernama (Mahkamah Keluarga).

Hukum adalah rule of law, prinsip hukum yang menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan pejabat-pejabat secara individual. Bukan sebaliknya law by order, hukum berdasarkan perintah (atasan).

Dengan kata lain tugas Hakim Hakim MK dituntut publik untuk  memutuskan perkara PHPU dengan tegak lurus untuk membuktikan demokrasi telah berlangsung dengan benar atau sebaliknya.

Tentu hal ini Pertanyaannya kembali kepada moral dan hati nurani Hakim Hakim MK. Apakah Proses Pemilu 2023/2024 telah berlangsung secara jujur, adil dan bebas? Sebagai azas pemilu yang dianut dalam suatu negara demokrasi.

Disinilah Keberanian moral, integritas dan intelektualitas hakim MK sedang di uji apakah keadilan itu bisa hidup melampaui batas ruang persidangan yang umumnya teks book thingking?

“Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang -undang sekalipun” (B.M Taverne).

Para Hakim MK kembali menguji dirinya sendiri dalam seketa PHPU yang diajukan Paslon Nomor Urut 1 dan 3 sebagai harapan benteng terakhir keadilan para pemohon. Semoga para Hakim tersebut bukan bagian dari institusi Mahkamah Keluarga lagi seperti yang telah terjadi sebelumnya !?

PN, 17 Ramadhan 1445 H/2024 M