Destroyed Al-Shifa hospital in Gaza. Palestine, 2024. © MSF
Destroyed Al-Shifa hospital in Gaza. Palestine, 2024. © MSF

Jejak “Berdarah” Konflik Gaza-Israel: Dampak Tersembunyi bagi Kesehatan

By Nurisha Kitana
(Ilmu Politik. FISIP UI)
Konflik yang terjadi di Palestina merupakan cerita klasik yang sampai saat ini belum menemukan titik temu. Konflik yang terjadi antara Palestina dengan Israel ini merupakan konflik yang berkesinambungan. Telah berlangsung selama puluhan tahun, konflik ini telah menelan banyak korban jiwa. Suasana konflik antara kedua negara ini, yang terjadi akibat perebutan wilayah Gaza, menjadi kian keruh akibat provokasi yang semakin memanas. Cara-cara bengis Israel menyerang Palestina menjadi perhatian utama masyarakat global. Dalam penyerangannya, Israel kerap melanggar hukum, menyasar masyarakat sipil, dan menghancurkan bangunan atau fasilitas publik, seperti rumah sakit dan permukiman warga.
Pertarungan ini diawali dengan peristiwa Nakba yang terjadi pada tahun 1948. Saat itu, penduduk Palestina disingkirkan karena akan didirikan negara Israel yang menganut agama Yahudi. Pengusiran dilakukan secara paksa sehingga penduduk Palestina harus kehilangan harta benda dan tempat tinggalnya. Peristiwa ini merupakan salah satu kejahatan humaniter paling fenomenal dalam lingkup global sehingga dunia terus memberikan perhatian serius terhadap konflik Palestina-Israel hingga detik ini. Terlebih, dalam serangan terbaru Israel kepada Palestina yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023, perempuan dan anak-anak justru menjadi korban utama. United Nations (UN) Women pada 12 Februari 2024 mencatat bahwa dari 28.340 penduduk Palestina yang menjadi korban jiwa, 70 persen di antaranya adalah anak-anak dan perempuan.
Lusy K. F. Gerungan dalam artikel yang berjudul Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Ketika Perang dalam Hukum Huminiter Internasional menuliskan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam perang dan konflik bersenjata sering kali hanya dianggap sebagai ekses semata. Suasana perang yang penuh dengan jargon-jargon maskulinitas, seperti keberanian, kegagahan, keperkasaan, dan lain-lain, telah menenggelamkan kaum perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya sehingga keberadaannya sering kali diabaikan (Gerungan, 2013).
Perempuan termasuk dalam kelompok marginal karena mereka lebih sering diberikan peran domestik dibandingkan peran publik. Sistem reproduksi yang perempuan miliki dan akses yang tidak setara dengan laki-laki juga membuat perempuan semakin terpinggirkan. Mirisnya, perempuan di Gaza yang sudah merupakan bagian dari kelompok marginal, harus semakin menderita karena situasi sekitarnya yang begitu mencekam. Krisis sanitasi khususnya menghantam perempuan yang tengah mengalami menstruasi, yakni kondisi ketika sel telur luruh karena tidak dibuahi. Perempuan di Gaza tidak mendapat fasilitas kebersihan yang layak, padahal hal ini berhubungan erat dengan kesehatan sistem reproduksinya.
Serangan yang diluncurkan oleh Israel di Palestina membuat penduduk merasa terkepung dengan batasan-batasan perang. Pasokan bantuan kemanusiaan dan peralatan medis mengalami berbagai hambatan untuk bisa sampai ke penerima manfaat. Dilansir dari Al Jazeera, perempuan di Palestina bahkan terpaksa meminum obat penunda menstruasi yakni Norethistrone karena kurangnya fasilitas sanitasi (Alsafin & Amer, 2023). Padahal, obat ini memiliki efek samping bagi siapa pun yang mengonsumsinya. Lebih lanjut, permasalahan ini memerlukan perhatian serius karena mengonsumsi obat penunda menstruasi boleh jadi bukan solusi yang tepat.
Selain itu, dilansir dari Middle East Eye, minimnya jumlah toilet juga menjadi hal krusial untuk diperhatikan. Para perempuan harus bersusah payah berjalan kaki demi bisa membersihkan dan menyucikan diri (Hearst, 2024). Stres yang berlebih bahkan telah mengacaukan siklus menstruasi mereka. Dengan demikian, masyarakat global telah berusaha menangani permasalahan ini. Sejak lama, Swedia dengan kebijakan feminis luar negerinya telah membantu memajukan ekonomi para petani di Gaza supaya dapat membeli pembalut bagi keluarganya. Lembaga donor Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA), melalui programnya yang berjudul Equitable Agricultural Production and Market System, telah menyokong kebutuhan finansial warga Palestina, khususnya dalam ranah kesehatan reproduksi (Maha & Pattipeilhy, 2020).
Minimnya jumlah ketersediaan pembalut bagi perempuan di Palestina jelas merupakan isu feminis. Isu ini diperparah dengan terbatasnya akses perempuan terhadap ketersediaan fasilitas yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, hingga stigma terhadap menstruasi yang masih dianggap tabu. Oleh karena itu, diperlukan sebuah respons, baik dari pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun pemangku kebijakan di tingkat internasional, dalam menyikapi fenomena ini.
Pembahasan mengenai isu feminis berhubungan dengan buku karya Samuel P. Huntington berjudul The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. Menurutnya, jenis kelamin menjadi faktor penting dalam memengaruhi dinamika konflik. Temuannya mengungkapkan bahwa perempuan cenderung menanggung dampak yang lebih berat ketimbang laki-laki ketika sedang terjadi konflik, tidak hanya konflik kekuasaan atau politik, tetapi juga konflik yang berkaitan dengan agama dan budaya.
Perhatian dan suara untuk mendukung perempuan menjadi krusial. Dalam menyikapi konflik di Gaza, perempuan membutuhkan dukungan supaya tidak semakin terpinggirkan. Seperti Swedia, dukungan internasional dari badan-badan seperti United Nations maupun World Health Organization perlu dimasifkan mengingat ini adalah isu yang sensitif. Tentunya, dunia mengecam perbuatan Israel yang semakin membabi buta dalam melakukan penyerangan kepada masyarakat sipil, anak-anak, perempuan, bahkan ibu hamil. Israel sudah selayaknya menghentikan penyerangan kepada Palestina untuk menghormati hak asasi manusia dan memberikan angin yang segar kepada penduduk Palestina, khususnya perempuan, untuk menikmati kehidupannya.
Nurisha Kitana | Ilmu Politik, FISIP UI
Nurisha Kitana | Ilmu Politik, FISIP UI
Referensi:
Alsafin, L., & Amer, R. (2023, October 2023). Aljazeera. Retrieved from Aljazeera: https://www.aljazeera.com/news/2023/10/31/no-privacy-no-water-gaza-women-use-period-delaying-pills-amid-war. Diakses pada 27 Maret 2024 pukul 22.57 WIB.
Gerungan, L. K. (2013). Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Ketika Perang dalam Hukum Huminiter Internasional. Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi, 76.
Hearst, K. (2024, Januari 22). Middle East Eye. Retrieved from Middle East Eye: https://www-middleeasteye-net.translate.goog/news/war-gaza-women-cut-tents-period-products-and-endure-c-sections-without-anaesthesia?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc. Diakses pada 28 Maret 2024 pukul 00.02 WIB.
Huntington, Samuel P. (1997). The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. New Delhi: Penguin Books.
Maha, I. F., & Pattipeilhy, S. C. (2020). Kebijakan Luar Negeri Feminis Swedia (2014-2018). Skripsi Sarjana, Universitas Diponegoro, 26.
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. (2024, Februari 16). Gaza: When mothers have to bury at least 7,700 children, very basic principles are challenged, UN Women’s rights committee says. https://www.ohchr.org/en/statements/2024/02/gaza-when-mothers-have-bury-least-7700-children-very-basic-principles-are#:~:text=The%20Committee%20is%20deeply%20concerned,to%20be%20women%20and%20children.