SENGKETA PILPRES DAN PERSPEKTiF HUKUM
By Nandang Wirakusumah
Penulis merupakan Pengacara di NWK & Co. Saat ini terlibat di Persaudaraan 98 sebagai team advokat.
Keberhasilan 01 dan 03 yang pasti adalah: Menginjeksi ke dalam otak para pendukungnya bahwa dirinya jujur, pihak lawan curang. Frasa inilah yang telah dimainkan sejak proses kampanye, masa pencoblosan, hingga sengketa di MK.
Proses sengketa telah berlangsung, berbagai saksi, bukti dan fakta telah dibuka. Petitum permohonan gugatan telah menjadi amunisi. Terdapat beberapa petitum yang dilayangkan diantaranya; mendiskualifikasi Pasangan Prabowo-Gibran, melakukan pemilu ulang tanpa pasangan Prabowo-Gibran, atau pemilu ulang tanpa Gibran selaku Calon Wakil Calon Wakil Presiden karena dianggap cacat hukum dan tidak sah karena putusan Perkara 90 MK dianggap tidak sah. Secara umum, petitum ini dimunculkan akibat angggapan bahwa kemenangan Prabowo-Gibran merupakan kemenangan atas dasar kecurangan. Di moment yang bersamaan, PDIP melalui Tim Perjuangan Demokrasi Indonesia menggugat KPU ke PTUN.
Gugatan itu akibat KPU dianggap melanggar hukum karena menilai menerima pencalonan Gibran sebagai cawapres. Pelanggaran hukum itu didasarkan pada ketidaksesuaian antara PKPU Nomor 19 Tahun 2023 dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Maka, dalam kondisi dan situasi seperti diatas, penting untuk kita mengedepankan hirarkis sistem hukum. MK memiliki derajat sama dengan undang-undang. Di dalam hukum ada istilah asas lex superiori derogat legi inferiore i, produk hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi. Artinya jika ada pertentangan antara PKPU dengan hasil putusan MK karena PKPU belum disesuaikan maka yang menjadi acuan tetaplah hasil putusan MK yang memiliki derajat sama dengan undang-undang. Disisi lain, putusan MK yang diuji adalah undang-undang bukan PKPU.
Sementara dalam hukum administrasi terkait penyelenggaraan negara sifatnya dinamis dan antisipatif, sehingga dalam keadaan tertentu, hal-hal yang bersifat prosedural dapat dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar.
Kaitannya dengan Pilpres, Pilpres berhubungan langsung dengan perintah UUD 45 agar pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali. Menunda ini, akan menimbulkan dampak konstitusional yang serius terkait masa jabatan presiden sekarang.
Kedua, mengenai petitum gugatan di MK. Dalam catatan sejarah (Pilpres) putusan MK mengedepankan objek persoalan yakni sengketa hasil. tulah sebabnya, perdebatan di MK sifatnya kuantitatif bukan kualitatif. Kuasa hukum 01, 03 maupun pendukungnya dalam proses sengketa pilpres, perdebatan yang disajikan terkesan memaksakan dan bertolak belakang konteks persoalan.
Ketiga, gugatan Tim Perjuangan Demokrasi Indonesia sah-sah saja dalam negara yang demokratis. Gayus Lambun mengatakan bahwa yang digugat bukanlah sengketa proses atau hasil, namun mengarah pada KPU sebagai obyek permasalahan. Akan tetapi, jika dilihat petitum gugatan, gugatan mereka mengarah pada sengketa proses dan hasil. Tindakan Gayus justru bertolak belakang dengan UU Pengadilan TUN dan UUD 45 pasal 24c dimana dijelaskan kewenangan mengadili sengketa hasil pemilu, pileg, dan pilpres sepenuhnya ada di Mahkamah Konstitusi. Jika ini tetap saja dipaksakan, maka sikap Gayus yang termaktub dalam petitum gugatan justru mengancam suara Pileg PDIP yang mendominasi. Disisi lain, majunya Gibran (isi petitum gugatan) sebagai calon wakil presiden dan penetapan pemilu oleh KPU telah clear and clean sebagai sebuah proses.
Dari seluruh penjelasan diatas, pada akhirnya kita bisa melihat bahwa pasangan 01, 03 dan kelompoknya telah berusaha menggiring opini pubik dengan narasi; sebaik-baiknya pemilu, pemilu 2024 merupakan pemilu paling terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Narasi ini yang dibangun dari awal tetapi minim pembuktian.