ig@unadembler
ig@unadembler
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Kasus kontroversial yang melibatkan selebgram Indonesia Una Dembler di Singapura menunjukkan betapa sebuah tindakan sepele seperti meludah bisa memicu gelombang perdebatan yang luas, tidak hanya di media sosial tetapi juga dalam konteks hubungan antarbangsa. Kejadian ini membuka ruang diskusi mengenai adab dan akhlak, terutama bagi publik figur yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat.
Kasus Una Dembler yang meludahi penonton saat antri konser Bruno Mars di Singapura tersebut menjadi viral dan membuka kotak Pandora tentang kebiasaan buruk meludah. Denda SGD 1.000 yang diterimanya bukan menjadi sorotan utama, melainkan perilaku tidak terpuji yang memalukan bangsa di mata dunia. Alasan emosi karena dilempar nasi goreng pun tak diterima begitu saja oleh netizen, bahkan justru terkuak fakta lain tentang Una yang dituding berbohong dan sebenarnya dirinya telah menyerobot antrian.
Belum selesai kasus Una, muncul video arogan seorang pengemudi mobil, eksekutif muda yang meludahi orang yang menegurnya, karena dirinya dianggap parkir sembarangan dan menyebabkan macet. Sontak videonya menjadi viral dan netizen pun memburu identitas sang pria. Sampai akhirnya terkuat bahwa pria tersebut merupakan karyawan Pertamina. Tentu saja perilakunya tersebut dianggap mencoreng citra perusahaan yang tengah menggaungkan slogan AKHLAK sebagai corporate culture mereka. Pertamina sebagai perusahaan BUMN terkena dampak negatif dari perilaku karyawannya tersebut. Karenanya respons cepat dari Pertamina dengan membebastugaskan karyawan tersebut serta permintaan maaf publik merupakan tindakan yang tepat untuk meredam kemarahan publik.
Ternyata, masalah ludah bukan hal sepele. Jika tidak dikelola dengan baik, bisa menimbulkan bencana, baik secara personal maupun bagi institusional.
Namun, permasalahan ludah ini hanyalah kasus kecil dibandingkan dengan fenomena para penguasa, pejabat, politisi, dan tokoh-tokoh yang rela menjilat ludah sendiri demi keuntungan pribadi atau golongannya. Mereka tega mengkhianati amanah rakyat demi kepentingan sesaat, tanpa memikirkan dampak bagi bangsa dan negara.
Kasus-kasus ini menunjukkan betapa pentingnya mengedepankan adab dan akhlak dalam interaksi sehari-hari, terutama di era digital di mana segala tindakan dapat dengan mudah terekspose dan menjadi bahan perdebatan publik. Kehadiran media sosial menjadi cermin bagi individu dan institusi untuk mempertahankan integritas dan moralitas dalam setiap tindakan.
Lebih jauh lagi, kejadian ini juga menjadi refleksi atas fenomena yang lebih besar, yaitu ketidakadilan dan keseragaman dalam penegakan hukum dan norma-norma sosial. Dimana, seringkali, para tokoh publik, penguasa, pejabat, dan politisi lebih mudah membenarkan tindakan-tindakan yang seharusnya dihukum atau dikritik secara tegas, demi kepentingan pribadi atau golongan mereka.
Dengan demikian, kasus ludah Una Dembler dan karyawan Pertamina menjadi cerminan betapa pentingnya membangun kesadaran akan adab dan akhlak di tengah arus informasi dan interaksi yang semakin kompleks. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga merupakan tugas bersama dalam menciptakan masyarakat yang lebih beradab dan berintegritas.
Kasus-kasus ini menjadi refleksi moral bagi kita semua. Bahwa meludah saja, baik secara literal maupun kiasan, adalah tindakan yang tidak terpuji dan dapat membawa dampak negatif. Lalu bagaimana dengan mereka yang secara vulgar seringkali menunjukkan perilaku seperti menjilat ludah sendiri? Tentunya hal ini akan terasa lebih menjijikkan. Perilaku para penguasa, pejabat, politisi, dan tokoh yang menjilat ludah sendiri demi keuntungan pribadi lebih berbahaya daripada meludah secara literal. Sayangnya tak banyak yang mampu menyadarinya.
Apa boleh buat, marilah kita bersama-sama membangun budaya yang bermoral dan bermartabat, dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan masyarakat saja. Tabik.