Sketsa Malam Lebaran:
Pedagang Kaki-5, “Pemuas Dahaga” Bagi Kocek Pas-pasan
By Imam Wahyudi
Pernahkah kita berbelanja di pedagang kaki lima?! Mungkin pernah, cuma sesekali. Lain halnya bagi kalangan berpenghasilan pas-pasan. Pedagang kaki lima bagai “pemuas dahaga” bagi keterbatasan kocek mereka.
Pemandangan itu memuncak di kawasan simpang Jl. Astaanyar, Tegallega, Bandung. Hiruk-pikuk berlangsung pada malam lebaran, Selasa kemarin. Hingga larut malam, jelang IdulFitri 1445-H esok hari (Rabu hari ini -pen).
Berdesakan di antara lalu-lintas kendaraan sepeda motor, berlangsung suasana suka-cita. Pemandangan yang juga menghentak keharuan. Selintas membuat mata berkaca-kaca. Betapa tidak, jubelan manusia bagai dikejar waktu untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Sangat mungkin untuk si buah hati yang sudah dijanjikan sepatu baru. Atau sekadar kebutuhan pakaian lainnya, semata untuk merayakan tradisi lebaran.
Kalangan yang dapat dikatakan sangat jarang menoleh toko atau pusat perbelanjaan. Apalagi niat berbelanja. Sekadar jalan-jalan pun, rasanya enggan. Tak cuma lantaran penghasilan yang relatif hanya cukup untuk menyambung hidup sehari-hari.
Bagi kalangan berpenghasilan pas-pasan, pedagang kaki lima bak saudara kandung — yang kerap memberikan solusi. Seolah hanya itu tempat tujuan mereka. Barang kebutuhan yang menjanjikan harga murah dan banyak pilihan. Bahkan transaksi dengan caranya yang khas. Tawar-menawar hingga sepakat harga murah. Bungkus!
Itu pula suasana hiruk-pikuk pada malam lebaran kemarin. Kawasan di belahan selatan kota metropolitan Bandung. Seolah tak ada hari esok untuk belanja. Hari lebaran nan fitri yang bagi mereka identik dengan busana dan sepatu baru. Meski seadanya yang ditemukan di lapak emper toko itu. Toh, hari-hari lain atau berikutnya bukanlah kejaran kalangan mereka. Hari-hari yang melulu untuk kebutuhan makan.
Di antara mereka, termasuk kalangan urban. Kelompok yang dapat didefinisikan sebagai masyarakat, yang ingin memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari — menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebagian besar adalah penduduk dalam rentang usia produktif berkisar 20-50 tahun.
Malam lebaran menjadi ruang terakhir bagi mereka. Sebelumnya, bahkan tak siap bekal untuk belanja lebaran. Moment limpahan rizki bagi para pedagang kaki lima yang kian tersisih arogansi gaya belanja online. Pun bagi konsumennya yang termasuk kalangan urban tadi, tentu terkandung harapan kembali bisa menuai rizki. Lewat keringat dan ikhtiar yang tak pernah henti. Sederet harapan baru, usai berlebaran dan saling bermaaf-maafan. Semoga.
– imam wahyudi