Buka Lapak Pilkada Serentak

oleh Imam Wahyudi

Pilih kelir, acak corak. Serentak buka lapak. Serentak bergerak, menghentak dan tak ada kata mengelak. Meliputi semua kabupaten, kota dan provinsi se-jagat Indonesia. Bertajuk Pilkada Serentak 2024.

Kali pertama dalam sejarah daulat rakyat. Sekali gus ujian berdemokrasi rakyat sejati. Seirama rampak kendang. Bersama mengawali, bersama pula berakhir. Periodisasi jabatan kepala daerah berlaku bersamaan. Agenda tunggal tradisi limatahunan pilkada.

Serentak secara nasional meliputi 545 daerah. Rinciannya 37 provinsi (dari total 38 provinsi), 415 kabupaten dan 93 kota. Satu daerah dikecualikan dari pengaturan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU. Adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak ditentukan melalui pilkada. Gubernur DIY dijabat Sultan atau Raja yang bertakhta di Keraton Yogyakarta. Sedangkan Wakil Gubernur DIY dijabat oleh Adipati Paku Alam (yang bertakhta).

Pasca Putusan MK nanti, kembali marak dan serentak — kontestasi demokrasi. Bahkan sudah mulai menggeliat di tingkat parpol. Menjaring peminat bakal kandidat. Buka lapak.

Kenduri daulat rakyat yang hakikatnya menolak invisible hand. Menolak kedaulatan pasar dan kapitalis. Dengan kata lain, memperbesar peran negara dalam mengawasi pasar dan keberpihakan terhadap daulat rakyat

Teoritis, kedaulatan rakyat adalah kedaulatan negara di tangan rakyat. Simpelnya, rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi. Demi menghindari kekacauan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat, maka kehendak rakyat harus dikelola dengan baik.

Pengelolaan kehendak rakyat diserahkan atau dimandatkan kepada entitas bernama partai politik. Atas nama rakyat akan mengambil berbagai kebijakan negara. Kehendak rakyat sebagai pemberi mandat. Bukan kehendak parpol sebagai mandataris. Dalam praktik lapangan, tak semudah teori tadi. Setidaknya meminimalisasi potensi distorsi daulat rakyat.

Maklumat Daulat Rakyat. Publik pun (kembali) berharap, hendaknya entitas partai mampu berperan untuk dan atas nama daulat rakyat. Ya, memperjuangkan daulat rakyat.

Parpol sebagai entitas berdaulat, diharapkan tak semata formalitas. Tak boleh identik “buka lapak”. Sebatas keriuhan pasar baru, bahkan “pasar tumpah”. Tak seirama agenda serentak yang menghentak.

Parpol bakal mendelegasikan peran dan tanggungjawab itu. Mereka yang dinilai mampu dan fasih menerjemahkan dan implementasi pesan sakral: Daulat Rakyat.

Pendekatan kroni dan ABS (asal boss senang -pen), sejauh mungkin harus dihindari. Jadul. Semangat “kolektif kolegial” menjadi keutamaan. Pada kesempatan pertama, bagaimana format organisasi dibuat. Daripadanya dimungkinkan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan pemetaan kawasan atau obyek agenda. Belum lagi sistem rekrutmen yang mendasarkan pada teori SWAT Analysis. Lagi, tak sekadar Buka Lapak. Apalagi serupa “gagah-gagahan”, yang potensial bablas angine.

Pada dasarnya, langkah pertama akan menentukan arah tujuan. Terminal terakhir di atas rel daulat rakyat. Agenda daulat rakyat yang tak boleh cuma “numpang lewat”. Tanpa matang persiapan, tak mudah merengkuh harapan. Cag..!

jurnalis senior di bandung