Stagnan
Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis
Stagnan? Mau? Ane sih ogah. Elaborasi ataupun kolaborasi, takkan menemukan mata air ketika dihajar banjir bandang hipokrisi. Emang ada? Bisa ada bisa tidak. Bergantung rujukan subuah citarasa, ha.ha.ha, laiknya sebuah restoran saja. Bisa begitu bisa juga restoran ajaib tertampak megah padahal sesungguhnya miskin menu.
Pilihan makanannya dari itu ke itu lagi. Kiri kanan atas bawah mentok, nikung mentok, belok kemanapun mentok, ketemu menu itu lagi, serupa tapi enggak mirip sih, namun berpola sama. Mau? Ogah. Enggak dinamis “Agak kurang demos agak kurang kratos.” Loh, emang bisa begitu. Bisa kalau dibuat begitu. Sejagat bisu pun bisa, lantas hanya mampu manggut-manggut. Bias rame-rame. Nah loh.
Setuju saja sepakat saja, sekalipun rebusan daun pepaya tanpa sambal terasi, sekalipun kurang sedap. Emang ada lagi? Hihihi kagak ada kan, akhirnya “Yes!” Sejagat makan daun pepaya tanpa sambal terasi pun okeh aje. Tapi ngomel, ngedumel, tetap dilalap sekalipun akhirnya daun pepaya tanpa sambal terasi. Okeh! Hore!
Karena bisnis restoran padat peminat, lantas mencoba membuat warung kaki lima segala ada, tak serupa membuat partai perdagangan resto baru. Cukup dengan kata warung kampiun tanpa embel-embel baru. Wah, para kerabat protes. Bagaimana warung mau laku kalau tanpa embel-embel ke.baru.an. “Oh! Begitu ya.”
Sekarang ini terpenting bagaimana menciptakan dagangan wajib menggunakan kata; baru. Wih! Mantap cuy. Jadi kalau ada kata baru pasti laku? So pasti lah hai. Sebab warung kebaruan akan menunjukkan keaslian produk paten, itu bedanya kalau akan membuat resto partai tanpa kata baru. Wah! Terkejut lagi teman saya itu.
“Oh! Begitu ya?” Wah! Sungguh ketinggalan zaman. Sebab hanya tahu bagaimana membuat warung sederhana tanpa embel-embel baru, tulus saja, konsekuen saja, setia hati dengan cinta sejati untuk negeri di awan. Tanpa menjadi kreditor dari sebuah lembaga keuangan anu misalnya. Modalnya hanyalah ketulusan; hanya punya itu.
Itulah sepenggal kisah dari teman nun jauh di sana. Konon akan membuat partai resto baru semacam konsorsium, hampir mirip perserikatan sekalipun tak sama dengan perserikatan negara-negara internasional. Sebab badan perserikatan internasional pun tak mampu menyelesaikan perang antar negara ‘melempem’ ketika hak veto dari pendana lebih raksasa ngetok palu “Dok! Dok! Dok!” Seremkan? Ngeri ya. Padahal perang itu menyangkut nyawa sebuah bangsa beradab sejak abad – Kewahyuan.
Barangkali itu risiko swadaya perserikatan negara – negara internasional kalau hidup dari subsidi para negara anggotanya. Lantas bagaimana teman nun di sana? Konon akan bikin resto partai baru? Disarankan sebaiknya membuat lembaga pendidikan saja, dananya digunakan untuk membantu saudara – saudara sebangsa setanah air, hingga perbatasan negeri di awan – untuk biaya pendidikan gratis serupa beasiswa. Mungkin jauh lebih manfaat. Salaman.
***
April 19, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.