Anabiosis

Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis

 

 

Diibaratkan kupu – kupu metafor dari ulat lantas menelurkan ulat lagi untuk jadi kupu – kupu. Kenapa repot begitu ya. Kenapa tidak langsung kupu – kupu menelurkan kupu – kupu. Apa harus serumit itu siklus metafora ulat ke kupu – kupu atau sebaliknya. Lantas teman hamba ngakak terpingkal – pingkal. Penasaran dong ane. Hamba tanya kenapa anda terpingkal – pingkal seperti itu? Dia semakin ngakak.

 

Kenapa sih? Apakah ada hal lucu dari pola ucapan hamba tadi. Anda gimana sih. Sekarang ini sedang memasuki musim demokrasi berkelanjutan, boleh ngakak tapi di dalam hati. Dia jawab begitu dengan santai saja. Hamba agak terperangah tadinya, setelah hamba sadari, jadi ikut ngakak juga. Bahkan hamba lebih ngakak dari dia. Mungkin saja kita tidak pernah tahu untuk apa sebetulnya segitu ngakaknya. Hah! hamba kaget lagi, dia bilang begitu? Loh kan tadi anda ngakak duluan, baru kemudian hamba ikut ngakak juga, demokrasi bukannya begitu ya.; Ente ngakak. Ane ngakak juga lah hai. Setara, tak boleh ada perbedaan kelas.

 

“Hahaha.’ Dia sungguh terpingkal – pingkal. Hamba malah jadi aneh lantas langsung membekap mulut hamba untuk tidak ngakak berkelanjutan pula. Lantas dia merubah arah pandangnya kesudut lain dari pandangannya tadi. Lalu serta – merta pula dia ngakak lagi. Makin penasaran, hamba tanya lagi. Sekarang kamu sedang ngakak untuk apa? Kan berdemokrasi. Hah! Kaget lagi hamba. Enggak perlu kaget. Ente boleh ngakak berarti hamba juga boleh ngakak dong.

 

“Bravo demokrasi!” Dia jingkrak – jingkrak, kembali terpingkal-pingkal. Tak habis pikir plus tak habis mengerti ane, hanya soal sesederhana itu dia bisa ngakak terpingkal – pingkal. Mendadak dia merubah arah tubuhnya lantas duduk. Hamba pun duduk, dengan cara berlawanan arah dari dia. Kami terdiam, masing – masing memandang kearah berlainan. Hampir serupa keyakinan; berbeda pandangan merupakan konsekuensi sebagai mahkluk hidup.

 

“Cocok!” Kata hamba. Dia menjawab dengan berapi-api, menyanggah dengan berbagai teori dari Hukum Pascal hingga Filosofi Machiavelli. “Widih! Bravo!” Kata hamba sembari jingkrak-jingkrak. Apa kau paham menyoal berbagai teori kau sebutkan tadi. “Tidak. Karena bukan milik hamba.” Jawabnya santai sembari melengos ke arah lain. Hiks! hamba cekikikan dalam hati. Itu sebabnya jangan memberhalakan, mempercayai sesuatu di luar ketentuan rasionalitas pikiran sains seharusnya telah kau kuasai. Kata hamba. Walah! Dia ngakak lagi.

 

Pikiran tertampak ataupun tidak, tetap akan terjadi proses asimilasi dari hal benar menuju salah atau bisa juga tertampak benar sebetulnya salah kaprah. Loh, berarti bisa terjadi dong demokrasi berada stagnan di dunia sedang salah kaprah? Tergantung ketentuan rujukan dari adendum ke adendum. Bisa tampak normal namun sesungguhnya invalid. Untuk menelaah hal campursari macam itu diperlukan pengamatan dengan waktu cukup, selain memiliki kejelian berbakat seterang matahari. Jos!

 

Serupa mengamati polusi korupsi sebelum terjadi. Emang pernah ada pembuktian sains terkait hal macam itu. Mengamati, sebelum terjadi korupsi. “Cius nih.” Apa mungkin bisa begitu. Belum tahu sih, sekaligus belum ada hal ihwal pemberitaan mengenai hal muskil macam itu. Apakah mengamati korupsi sebelum terjadi merupakan suatu kemuskilan?

 

***

 

JakartaSATU, April 24, 2024.

Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.