Budayawan, Seniman Dalang wolak Walik Wayang Pergi ke Syurga Nirwana.
Oleh Eko S Dananjaya
Baru saja sehari kemarin kami bercengkrama di grup Whatsapp Aktivis Lintas Angkatan (JALA). Grup WA yang paling gila, cadas, usil pedas dan penuh dinamika seisinya. Grup WA ini boleh dikata sangat satir dan terkesan sakarepe dewe, bebas merdeka.
Grup WA yang anggotanya para tokoh aktivis, Seniman, budayawan, pengamat sosial, maupun praktisi politik dari berbagai angkatan. Dari 74, 78, 80, 90 sampai 2000 an. Komplit serta beragam, penuh kekocakan, sinisme, panas dan kerap saling ejek antar pendukung Pilpres ANIES, Prabowo dan Ganjar. Kadang anggota grup ini serius tapi juga tidak sedikit pula slengekan. Semua berperan membersamai perbedaan dalam memilih para kandidat presiden. Tapi kini sudah usai dan kembali pada habitat masing- masing.
Gambaran dinamika cerita diatas itu semua tidak lain hanya exercise. Yang mana keriuhan para aktivis tidak lebih sebagai perdebatan pikiran atau adu konsep dan wacana. Yang tidak ujug- ujug begitu saja kimiawi pertemanannya itu terbentuk. Tapi perjalanan sejarah kawan- kawan tersebut sudah lama terbangun sejak sama- sama melawan penindasan tirani Orde Baru. Budaya aktivis yang tak mengenal takut dan terbiasa ceplas ceplos, kritik sana sini kepada siapapun penguasanya. Tanpa tedeng aling- aling. Sejauh ini beban pikiran itu dapat ditumpahkan ke dalam ekspresi kegundahan dan kejengkelan terhadap rejim yang dianggap telah menyeleweng dari cita- cita reformasi ( rejim Jokowi).
Dengan langgam dan irama yang berbeda. Setiap personal aktivis memiliki ciri khas performance dalam menumpahkan kejengkelannya, dari yang halus sampai yang kasar maupun keras. Kritik kepada rejim Jokowi yang tidak memiliki adab dan moral, menjadi sarapan pagi dan makan malamnya aktivis yang tentu saja menginginkan perubahan total.
Itulah senyatanya kehidupan aktivis, yang orang awam sulit menterjemahkan ke dalam kosa kata kamus peradaban masyarakat biasa. Wal hasil, salah satu aktivis sekaligus seorang seniman Jumaali. Memilih dan menempuh jalan berkesenian daripada berpolitik yang jauh dari gemerlapnya pembangunan ekonomi rejim ini. Dengan karya dalam rupa wayang wolak walik (W3) . Ia dapat bertahan dalam menuju eksistensi irama pikirannya dengan melahirkan paradigma terbalik, ketika mensikapi serta melihat kekuasaan yang gamang dan kacau balau seperti sekarang ini. Dengan riang gembira dan selalu optimis, Jumaali tegak berdiri digaris kesenian dan kebudayaan.
Sebagai dalang wayang wolak walik, Jumaali pintar memainkan peran wayang sebagai instrumen kritik sosial. Wayang yang dibuat sendiri itu dipentaskan oleh Jumaali bukan saja sekedar sebagai dalang ansik. Tapi ia juga merangkap sebagai sutradara, pembuat katalog cerita, sekaligus pemain monolog. Jumaali berhasil mempesona diri di hadapan hadirin maupun dipanggung serta merta memperkenalkan
ciptaan karya dalam bentuk wayang yang memiliki rupa, bentuk dan cerita yang berbeda. Jauh dari pakem dengan wayang kulit gagrak tradisi lama.
Selain itu, Jumaali juga mahir menyambungkan gagasan dengan prolog cerita wayang wolak waliknya. Yakni menggunakan topeng sebagai media eksistensi karya besar seninya. Anak-anak kecil dikumpulkan menjadi market idea, sekaligus audiensi dengan dongeng sebagai media komunikasi antara dalang, wayang , penonton dan pencinta kesenian. Dengan dibumbui gaya kocak, serta di awali uluk salam, ” Assalamu’alaikum yang tidak pernah lupa”.sebagai pembuka acara. Ucapan seorang seniman sekaligus budayawan sebagaimana kultur umat Islam atau Nahdliyin. Ciri khas Jumaali saat tampil dihadapan penanggap. Dengan memakai sarung dan pakaian yang ngejreng dan peci yang selalu melekat di kepalanya. Menyandang rebana atau hadroh sebagai alat musik keprak. Ditambah klinting krincing yang di pasang di kaki kanannya, sehingga tampak seperti raja Minak Jingga dari Blambangan. Di gedrug dan dikecrek – kecrek sehingga menimbulkan suara merona ditelingga. Disitulah Jumaali memiliki ke khasan sendiri dengan memadukan rebana, kecrek dan suluk. Sehingga menambah suasana magis dan tentu saja irama hadroh plus krincing dapat membangkitkan perpaduan estetika suara dan gerak teatralikalnya.
Jumaali mampu membuat gelak ketawa anak- anak. Jumaali juga mahir membuat terpingkal penontonya. Dalam penyampaian karyanya, Jumaali tampak tak punya beban dalam berkesenian. Jebolan fakultas Teater Institut Seni Indonesia ini baru beberapa hari lalu berkomunikasi dengan Brotoseno yang mengabarkan rencana ia akan ke Yogyakarta.
Demikian juga apa yang disampaikan Jumaali kepada Sosiawan Leyak, sahabat dekatnya itu, sehari sebelum meninggal. Bahwa menjadi aktivis harus dapat mandiri secara ekonomi. Jumaali menguatkan statemen bang Hariman Siregar bahwa aktivis harus memiliki kemandirian. Jika tidak, maka aktivis akan mudah terpolusi dan tidak memiliki integritas dalam menyampaikan gagasan dan perjuangannya.
Jumaali adalah tokoh pergerakan mahasiswa 80- an. Popularitasnya justru di dunia kesenian. Selain menciptakan wayang wolak walik, ia juga membuat topeng untuk diperankan di pentas dan panggung kesenian. Jumaali tampaknya ingin keluar dan bebas dari kepakeman wayang yang sudah ada. Ia membuat terobosan wayang kontemporer dengan wolak waliknya. Jumaali selain seniman, ia juga menambah khasanah sekaligus melengkapi literasi kebudayaan dalam berkesenian. Menggangsir dan melahirkan literasi dalam paradigma moderen, dengan wayang wolak walik sebagai instrumen eksistensi dalam berkesenian.
Terakhir kabarnya, ia akan pentas di Pasar Seni Ancol Jakarta. Tapi sebelumnya Jumaali pernah pentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan di hadiri Taufik Rahzen yang concern terhadap seni kontemporer dan seni kerakyatan. Kemanapun pergi Jumaali tidak lepas dengan wayang dan topengnya. Ia hendak melekatkan diri bahwa wayang wolak walik serta namanya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun, waktu tidak bisa menunggu lama karena Jumaali pergi bersama wayang wolak waliknya ke syurga nirwana untuk selamanya. Yang barangkali itu adalah bagian dari lengkapnya literasi cerita panjang untuk terakhir kalinya.
Penulis pengagas Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Yogyakarta.