ig@indra.charismiadji
[email protected]
JAKARTASATU.COM– Pemerhati Pendidikan Indra Charismiadji mengatakan di Indonesia setiap ganti menteri pendidikan, mengganti kurikulumnya, juga ganti programnya dimana ada sekolah-sekolah yang jumlahnya sedikit. Sekolah yang dibantu oleh pemerintah pusat secara besar-besaran baik dananya, programnya,  sarana-prasarananya.
Indra menuturkan sekarang kita mengenal Sekolah Penggerak. Dulu ada Sekolah Rujukan,  Sekolah Rintisan bertaraf International. Sebelumnya ada Sekolah Inti yang pada dasarnya hanya sebagian kecil dari sekolah yang sudah baik ditambahi lagi program dan anggarannya menjadi lebih baik.
“Tetapi secara keseluruhan ini hanya diulang-ulang terus programnya sama, namanya digonta ganti. Ternyata secara akademis hal ini sudah dipublikasikan dalam sebuah jurnal Internatioanl di Inggris diterbitkan oleh sebuah lembaga yang namanya Center For Education Economics yang membahas kenapa pendidikan di Indonesia selama puluhan tahun tidak ada perkembangan, tidak ada peningkatan,” papar Indra saat dihubungi wartawan Jakartasatu.com, Kamis 9/5/2024.
“Problemnya adalah program-program pemerintah, yang bahasa mereka sebut BAU WMN Bisness as usual with more money. Artinya programnya sama itu-itu aja, tapi digonta-ganti namanya dan anggarannya ditingkatkan terus,” tambah Indra.
Indra mencontohkan  misalnya,  sekarang  kita punya yang namanya asesmen nasional anggarannya 500 miliar. Sebelumnya ada ujian nasional anggarannya 200 miliar. Sebelumnya lagi namanya EBTANAS. Sebelumnya ada yang namanya Ujian Negara.
“Pada dasarnya adalah sebuah bentuk alat ukur buat anak-anak didik di Indonesia. Tapi tidak ada perubahan  yang signifikan. Hanya sebuah alat ukur, anggarannya ditingkatkan terus,” jelasnya.
Menurut Indra Ini yang harus diperbaiki,  membangun manusia tidak beda dengan membangun rumah, membangun gedung dan kita harus punya blue print-cetak biru. Sehingga kita tahu anggaran yang akan kita keluarkan.
Indra berikan contoh semisal membangun gedung 70 lantai yang anggarannya 665 Triliun apakah memang  wujudnya jadi gedung 70 lantai atau ternyata hanya jadi dua lantai saja dengan anggaran yang sama. Hari Ini kita tidak bisa mengevaluasi hal itu karena kita tidak pernah punya cetak biru/blue print.
Maka dari itu lanjutnya, di pemerintahan yang baru saya merekomendasikan blue print pendidikan Indonesia. Ini sangat penting selain supaya anggaran uang rakyat tidak terbuang sia-sia, kita betul-betul mengawasi proses. Karena bedanya dengan mebangun rumah atau membangun jembatan,  kalau kita salah membangunnya,  misalnya membangun jembatan bisa kita rubuhkan. Kita membangun kembali dengan waktu yang singkat.
Indra kemukakan kalau membangun, kalau manusia Indonesia salah cara mendidiknya, kita tidak bisa hancurkan lalu bangun kembali,  kita akan kehilangan satu generasi. Apakah itu resiko yang akan kita ambil? Apalagi dalam menghadapi tantangan masa depan Indonesia Emas.
“Mari kita berpikir kritis, mari kita berfikir cerdas,” tutupnya. (Yoss)