Prabowo Subianto dan Diktatorship Kerakyatan

(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)

Spontan rakyat Indonesia kaget dengan pernyataan politik terbaru Prabowo Subianto: “Bersama Saya atau Diam Menonton!”. Hal itu dinyatakan Prabowo kemarin pada pidatonya dalam Rakornas Pilkada PAN tentang kepemimpinan dia ke depan. Harian Jakarta Globe menurunkan berita dalam bahasa Inggris, “Either You Are With Us, Or Watch Us Working”. Ini beda-beda tipis dengan ” Either You Are With Us, or My Enemy!.

Dalam pesan itu, antara “bersama saya atau diam”, tidak ada lagi kata oposisi diantaranya. Padahal dalam demokrasi, sebagaimana SBY ketika awal presiden dulu, mendukung munculnya “civil society”, sebuah kekuatan kelas menengah yang di luar sistem kekuasaan.

Bersamaan dengan pernyataan ini, beberapa hari belakangan, Prabowo berencana membentuk kabinet 40-50 menteri, untuk menyerap semua kekuatan sosial yang eksis dalam kepemimpinannya. Ditambah pula Prabowo ingin seperti Sukarno, sebagai pemimpin milik semua golongan, bukan hanya klaim satu partai saja. Semua fenomena di atas menunjukkan bahwa akhirnya Prabowo menunjukkan dirinya seorang diktator.

Kediktatoran adalah sebuah konsep kepemimpinan yang tidak menyisakan suara oposisi terhadap dirinya. Sukarno misalnya atas nama cita-cita revolusi yang belum selesai mengembangkan sistem diktatorship dengan kosa kata “demokrasi terpimpin”. Suharto begitu pula, atas nama stabilitas dan pembangunan, mengembangkan diktatorship dengan kosa kata Bapak Pembangunan (Politik No, Pembangunan Yes!). Keduanya berhasil mengkonsolidasikan kepemimpinan dalam sebuah rencana kerja pembangunan. Berbeda dengan SBY, di mana demokrasi diletakkan sebagai fundamental dalam mengorganisasikan rencana pembangunannya. Bahkan, di era SBY, terjadi “heavy parlement”, di mana kekuasaan DPR mendominasi kontrol.

Kediktatoran biasanya bertumpu pada leadership seorang leader. Sebaliknya, totalitarian adalah konsep anti demokrasi yang bertumpu pada rezim, seperti era Jokowi. Jokowi yang lemah, khususnya di awal kepresidenan, membangun rezim bersama parpol pendukung dan tokoh-tokoh “garis keras” didalam kekuasaannya membangun oligarki politik. Oligarki ini menguasasi semua institusi, baik DPR, intelijen, kepolisian, militer, institusi hukum dalam sebuah pengkooptasian negara.

Meskipun sama-sama anti demokrasi, bedanya dengan diktatorship, sistem diktatorship berimpit dengan karakter sang presiden itu sendiri. Jika presidennya berjuang untuk rakyat, maka sebuah bangsa yang dipimpin dapat menjadi bangsa maju dan besar, misalnya di Turki.

Era Suharto sendiri, yang berkembang dalam sistem diktatorship, berhasil membangun Indonesia keluar dari krisis politik dan ekonomi era sebelumnya. Meskipun, kesenjangan sosial dan demokrasi merupakan barang langka di era Suharto.

Prabowo Diktator Kerakyatan

Pidato politik Prabowo selanjutnya, di PAN kemarin, yang penting adalah dia akan membuat seluruh rakyat bebas dari kemiskinan dan kelaparan dalam 3-4 tahun. Menurutnya, dengan kepemimpinan yang kuat dia akan mengendalikan semua kekayaan alam dan isinya untuk mensejahterakan rakyat. Ini artinya sebuah politik kerakyatan. Sebuah pekerjaan kembali pada Pancasila dan pasal 33 UUD 1945, di mana seluruh bentuk perekonomian bersifat usaha bersama untuk kemakmuran bersama.

Orientasi politik kerakyatan Prabowo mensejahterakan rakyat membuat Prabowo seperti Erdogan di Turki dan Anwar Ibrahim di Malaysia. Seorang Diktator kerakyatan.

Filsuf agung Plato, dalam pikirannya tentang pemerintahan juga kurang percaya pada demokrasi. Menurutnya kepemimpinan harus bersandar pada individu yang kuat, yang baik hati. Meskipun Plato merujuk pada istilah filosof yang agung. Filosof agung adalah sosok cerdas, kuat dan yang cinta rakyat.

Kematian Demokrasi

Setelah 26 tahun paska Suharto, kita melihat demokrasi babak belur di Indonesia. Menurut berbagai kalangan yang terafiliasi dengan Prabowo, seperti Babe Haikal Hasan dan Dr. Margarito Kamis, dalam sebuah acara di INewsTV, beberapa waktu lalu, secara terbuka mengatakan Prabowo akan kembali ke UUD 45 asli, di mana model demokrasi liberal yang sedang berlangsung saat ini (paska amandemen UUD ’45) tidak bermoral.

Model kepemimpinan ala UUD ’45 asli memang menghasilkan kepemimpinan yang kuat dan pembangunan akan terarah. Persoalannya apakah bangsa kita ingin kembali lagi ke era Sukarno dan Suharto?

Pernyataan Prabowo tentang “ikut saya atau nonton di pinggiran” kemarin merupakan penegasan bahwa oposisi dan demokrasi akan ditinggalkan. Namun, tantangan terbesar adalah 1) kesadaran politik kelas menengah kita, baik kalangan kampus maupun profesional, telah terbiasa dengan dialog, bukan monolog. 2) Pilkada serentak bulan November dapat mendelegitimasi konsolidasi Prabowo, jika di provinsi-provinsi besar, kandidat gubernur dukungan Prabowo kalah. 3) Jika parpol ideologis seperti PDIP dan PKS secara terbuka menolak kembali pada model kepemimpinan tanpa demokrasi.

Situasi ini masih akan kita lihat beberapa bulan ke depan. Belum lagi penggembosan “kebaikan hati” atau istilah Rocky Gerung “Ketulusan Hati” Prabowo itu dilakukan oleh gerombolan “toxic”, yang ada di kelompoknya kini. Apa yang akan terjadi? Pastinya rakyat akan membenci Prabowo jika janji kesejahteraan cuma tinggal janji.

Penutup

Sebagaimana tesis saya di Bravos Radio Channel YOUTUBE bahwa Prabowo adalah diktator yang baik hati, mulai terlihat. Kemarin kediktatoran itu mulai berkumandang dengan pidato di PAN bahwa Prabowo ingin tidak ada oposisi: ikut saya atau kalian cuma penonton. Namun, dalam pidato itu prabowo menambahkan bahwa dirinya ingin konsolidasi total selama 3-4 tahun menghapuskan kemiskinan di Indonesia.

Persoalannya apakah kita siap menghadapi kediktatoran meskipun tujuannya kesejahteraan rakyat? Apalagi sudah 26 tahun kita terbiasa dengan iklim demokrasi, meskipun sebagiannya demokrasi semu.

Waktu akan terus berjalan. Tinggal rakyat memilih nantinya.