Hendrajt: Melarang Investigasi  Sama Dengan Militer Dilarang Bersiap Untuk Perang

JAKARTASATU.COM– Kebebasan pers di ujung pemerintahan Jokowi memburuk. Teranyar, revisi UU Penyiaran mengancam keberadaan jurnalisme investigasi.

Pemerintahan Jokowi justru kembali menyodorkan revisi undang-undang yang substansinya mengekang kebebasan pers di Indonesia yaitu revisi undang-undang penyiaran yang salah satunya penyiaran penayangan secara eklusif jurnalisme investigasi.

Sebagian analis dan insan pers terhadap pasal 50 B yang termuat dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran harus ditolak karena membungkam kebebasan berekspresi. Menurut dia, keberadaan pasal tersebut mengebiri kebebasan pers.

Wartawan senior yang juga merupakan peneliti The Global Review turut menyoroti hal tersebut.

“Investigasi itu nyawanya liputan jurnalisme,” kata Hendrajt kepada wartawan, Jakarta, Rabu (15/5/2024)

“Melarang investigasi  Itu kan sama saja militer dilarang bersiap untuk perang. Dan tidak boleh pegang senjata isi peluru,” tandasnya.

Dikemukakannya bahwa justru hasrat lakukan liputan investigatif dari pengelola media  itu yang  sekarang lagi langka.

“Yang diutamakan adalah liputan cepat saji atau berita opini,” ujarnya.

Ia menegaskan tanpa liputan investigasi memang berita tetap ada. Tapi jangan harap akan muncul ide untuk menelisik ke jantungnya berita.

“Untuk menyingkap apa yang sesungguhnya berlangsung  dibalik berita,” jelasnya.

Diketahui, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan bahwa draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sesuai dengan kode etik jurnalistik.

“Jadi, itu yang diatur di RUU Penyiaran dalam konteks jurnalistik, sesuai dengan yang diatur dalam kode etik jurnalistik,” kata Bobby dalam keterangan (Antaranews, Senin 13 Mei 2024)

Bobby mengemukakan hal itu ketika merespons anggapan beberapa pasal dalam draf revisi UU Penyiaran yang dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia.

“Ini sama halnya dengan diskursus substansi dalam revisi UU ITE, hal lisan dan tulisan sudah diatur dalam KUHP sehubungan dengan hate speech dan lain-lain, hanya diperluas dalam format digital,” katanya.

Ia menegaskan tidak ada perubahan dalam norma maupun aturan kode etik jurnalistik.

“Tidak ada perubahan norma yang diatur dalam kode etik jurnalistik dalam format mass media, diteruskan dalam format siaran,” ujarnya.

Ditegaskan pula bahwa kegiatan siar di frekuensi siaran masuk ranah kode etik jurnalistik. Namun, frekuensi giat siaran di frekuensi telekomunikasi over the top (OTT) “dikecualikan”.

“Jangan sampai ada upaya ‘pengecualian’, kegiatan jurnalistik dalam OTT yang ingin dibedakan alias tanpa kode etik jurnalistik. Kalau kegiatan siar di frekuensi siaran, masuk ranah kode etik jurnalistik. Akan tetapi, kalau giat siaran di frekuensi telekomunikasi (OTT), ‘dikecualikan’,” tuturnya.

Bobby memastikan publik akan ikut dilibatkan dalam proses pembahasan draf revisi UU Penyiaran untuk memastikan sejalan dengan prinsip kemerdekaan pers.

“Publik pasti dilibatkan, hal-hal di atas ada yang ‘keluar’ dari kode etik jurnalistik, aspirasi ini harus dipenuhi karena semangatnya kami ingin masyarakat mendapatkan hal positif dari kegiatan penyiaran, dan melindungi dari hal yang kontraproduktif, spekulatif yang mengarah pada hal-hal negatif,” kata dia. (Yoss)