Aendra Medita (kiri) dan Syahganda Nangiolan (kanan) saat dialog di Kawasan Menteng Jakarta Pusat/jaksat
Dialog Demokrasi
Pertemuan yang sangat berarti dengan senior aktivis terdepan saya dengan Bang
Dr. Syahganda Nainggolan, pemimpin Sabang Merauke Circle luar biasa. Bertemu di Menteng Jakarta Pusat (15/5/2024), kita makan siang bersama dan dialog ini sangat penting arah ke depan bangsa, yang dibicarakan seputar pemimpin dan akan bagaimana demokrasi bangsa ini. Demokrasi seperti apa saat ini yang pas bagi Indonesia.
 
Kita tahu bahwa demokrasi yang sebenarnya bentuk sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dipegang oleh rakyat atau warga negara secara langsung atau melalui perwakilan yang mereka pilih.
 
“Demokrasi” asal dari bahasa Yunani kuno, di mana “demos” berarti “rakyat” dan “kratos” berarti “kekuasaan” atau “pemerintahan”.
 
Sistem demokrasi, rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, baik melalui pemilihan umum, referendum, atau mekanisme partisipasi lainnya.
 
Prinsip dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat, di mana pemerintahan dijalankan sesuai dengan kehendak mayoritas dengan menghormati hak-hak minoritas.
 
Jika tulisan –Bang Ganda biasa saya panggil– bahwa saat ini yang akan pimpin Presiden kedepan Prabowo saya melihat tulisan itu tulisan cerdas dan keren selain punya narasi yang kuat dan jadi acuan penting. Judul tulisannya : Prabowo Subianto dan Diktatorship Kerakyatan silakan simak link
 
Saya kutip sedikit: Spontan rakyat Indonesia kaget dengan pernyataan politik terbaru Prabowo Subianto: “Bersama Saya atau Diam Menonton!”. Hal itu dinyatakan Prabowo kemarin pada pidatonya dalam Rakornas Pilkada PAN tentang kepemimpinan dia ke depan. Harian Jakarta Globe menurunkan berita dalam bahasa Inggris, “Either You Are With Us, Or Watch Us Working”. Ini beda-beda tipis dengan ” Either You Are With Us, or My Enemy!.
 
Dalam pesan itu, antara “bersama saya atau diam”, tidak ada lagi kata oposisi diantaranya. Padahal dalam demokrasi, sebagaimana SBY ketika awal presiden dulu, mendukung munculnya “civil society”, sebuah kekuatan kelas menengah yang di luar sistem kekuasaan.
Bersamaan dengan pernyataan ini, beberapa hari belakangan, Prabowo berencana membentuk kabinet 40-50 menteri, untuk menyerap semua kekuatan sosial yang eksis dalam kepemimpinannya. Ditambah pula Prabowo ingin seperti Sukarno, sebagai pemimpin milik semua golongan, bukan hanya klaim satu partai saja. Semua fenomena di atas menunjukkan bahwa akhirnya Prabowo menunjukkan dirinya seorang diktator.
 
Kediktatoran adalah sebuah konsep kepemimpinan yang tidak menyisakan suara oposisi terhadap dirinya. Sukarno misalnya atas nama cita-cita revolusi yang belum selesai mengembangkan sistem diktatorship dengan kosa kata “demokrasi terpimpin”. Suharto begitu pula, atas nama stabilitas dan pembangunan, mengembangkan diktatorship dengan kosa kata Bapak Pembangunan (Politik No, Pembangunan Yes!). Keduanya berhasil mengkonsolidasikan kepemimpinan dalam sebuah rencana kerja pembangunan. Berbeda dengan SBY, di mana demokrasi diletakkan sebagai fundamental dalam mengorganisasikan rencana pembangunannya. Bahkan, di era SBY, terjadi “heavy parlement”, di mana kekuasaan DPR mendominasi kontrol.
 
Pembicaraan saya dengan Bang Ganda jelas bahwa jika nanti Prabowo presiden harusnya terhindar dari Kediktatoran. Dan bagusanya lagi pembicaraan itu disimpulkan Prabowo harus menghindari Oligarky yang saat ini kuat merongrong.
 
Saya sebagai orang media melihat analisa Syahganda adalah pisau bedah yang tajam.
Hal ini membangun wilayah bahwa semua untuk Indonesia tak boleh membunuh demokrasi karena kematian demokrasi Indonesia akan rugi dan babak belur.
Dan selain daya pikir cerdas harusnya dibangun dengan rakyat yang tak bodoh dan dibodahi. Tabik…!!!
Aendra Medita Kartadipura