Hendrajit : Menghalangi Investigasi Jurnalisme Artinya Membiarkan Kejahatan Makin Marak
JAKARTASATU.COM— Wartawan Senior yang juga merupakan peneliti The Global Review mengatakan operasi intelijen yang bersifat manipulatif biasanya menggunakan metode atas dasar prinsip: sang pelaku aksi atau penyebab peristiwa bisa saja menunggangi seseorang yang punya pengaruh dan berpotensi mendukung dilancarkannya sebuah operasi.
“Sehingga tertanam kesan yang punya pengaruh berarti sang penyebab peristiwa. Yang punya motif pastilah pelakunya,” ujarnya kepada wartawan Jakartasatu, Kamis (16/5/2024).
Lanjut Hendrajit padahal dalam sebuah operasi intelijen maupun modus kejahatan, sang penyebab atau pelakulah yang menunggangi yang punya motif. Sehingga kecurigaan masuk akal mengarah pada orang yang punya motif. Akibatnya, sosok yang menunggangi orang yang bermotif tetap anonim.
“Di sinilah liputan investigasi memang harus akurat, perlu cek and recek dan pemeriksaan silang. Sehingga dalam investigasi kalau perlu memunculkan dua versi alur cerita. Sehingga pembaca lah yang memutuskan mana yang benar dari dua versi cerita,” terang Hendrajit.
Hendrajit menyampaikan wartawan investigasi Nashin Masha
“Jadi seperti disampaikan kawan lama saya wartawan senior Nasihin Masha yang pernah pemred Republika, dalam liputan investigatif tak cukup cuma cover both side. Tapi wajib melakukan verifikasi data. Kalau dalam liputan investigatif saya mau menyingkap fakta bahwa anda itu maling, maka saya tidak cukup minta hak jawab anda, ngomong -ngomong benar tidak sih anda itu maling? Verifikasi berarti memeriksa gimana ceritanya kok sampai ada info anda itu maling,” tuturnya.
Sebagai contoh kata Hendrajit pada Ben Bredle, pemred Washington Post, ketika membaca liputan Bob Woodward dan Carl Berstein ihwal indikasi Presiden Nixon terlibat skandal penyadapan markas tim pemenangan rivalnya dari Partai Demokrat, mencoret 5 dari 7 paragraf hasil liputan dua wartawan yang kelak meleganda itu.
Kenapa? Ben Bredley yang secara pribadi dekat dengan John Kennedy yang pernah mengalahkan Nixon dalam pilpres, secara subyektif ia lah yang paling ingin reputasi Nixon hancur lebur. Tapi sebagai wartawan yang waktu itu Ben dipercaya sebagai orang nomor satu Washington Post, Nixon harus jatuh melalui tersingkapnya kebenaran. Bukan karena spekulasi atau gosip. Jadi untuk menjatuhkan Nixon, harus atas dasar fakta. Ibarat menempa rantai demi rantai menyatu sebagai sebuah mata rantai.
Hendrajit menegaskan, jadi dalam liputan investigatif, tidak ada tempat buat gosip:, kabar burung, dengar-dengar apalagi katanya-katanya. Sebuah data atau informasi pun layak ditimbang dan ditakar ibarat kita memegang emas. Benarkah ini emas atau cuma loyang? Benarkah informasi ini layak berita atau jangan jangan cuma fabrikasi berita?.
Maka kata Hendrajit kalau kita tahu sebuah berita itu hoax karena data yang digunakan tidak masuk akal, itu tidak bahaya.
“Yang bahaya ketika kita menyangka dan yakin yang hoax itu berita faktual,” tandasnya.
Lanjutnya, bisa saja RUU Penyiaran yang lagi digodok di DPR dan ramai belakangan ini, didorong oleh adanya perilaku seolah-olah liputan investigatif padahal fabrikasi berita dari beberapa ragam media audio dan visual.
Ia tekankan, namun melarang keberadaan tren semacam itu dengan menggunakan istilah investigasi, sama saja dengan membunuh tikus lantas membakar rumah seisinya sampai jadi abu.
“Investigasi adalah jantung dari sebuah kisah. Namun bagi sang jurnalis sebagai juru kisah, investigasi adalah nyawanya. Seperti seorang tentara memegang bedil berpeluru, bukan cuma atribut seperti seragam tentara, tapi merupakan bagian yang menyatu dengan dirinya pribadi,” tegas Hendrajit. (Yoss)