Menjadikan Anak Cerdas Secara Tepat, Bekal Menyongsong Masyarakat 5.0
JAKARTASATU.COM— Perubahan dalam Masyarakat: Industri 4.0 dapat menciptakan perubahan dalam cara orang bekerja dan berinteraksi di tempat kerja. Society 5.0 membawa konsep ini lebih jauh dengan mengubah dinamika sosial dan ekonomi secara keseluruhan
Pemerhati Sosial, Politik serta Kebijakan Publik Indra Charismiadji menyampaikan Masyarakat 5.0 atau Society 5.0 itu memang disampaikan seorang professor Jepang Marumi Fukuyama yang sekarang sudah menjadi referensi pemerintahan Jepang yang kemudian menjadi referensi dunia. Menurut Fukuyama masyarakat 5.0 itu adalah masyarakat cerdas smart Society.
Masyarakat 4.0 kenapa disebutkan persaingannya global sedangkan 5.0 bukan hanya global tetapi virtual. Nah jadi manusia akan banyak pekerjaan yang akan digantikan dengan robot, oleh mesin disebut kecerdasan buatan.
“Pekerjaan-pekerjaan yang tadinya dilakukan oleh manusia nantinya tidak lagi lakukan oleh manusia,” ujar Indra saat dihubungi Wartawan Jakartasatu, Kamis (22/5/2024).
“Saat saya hadir di sebuah seminar, dimana Key not speakernya Pak Jusuf Kalla yang sudah beberapa kali jadi wakil Presiden RI, menariknya beliau bercerita jaman beliau masih muda mengatakan untuk menulis surat, berkirim surat paling tidak membutuhkan 8 orang. 8 orang ini untuk mengkonsep, mengetik , yang membawa surat ke beliau , ada yang mengecek dulu bener apa ngga. Antara yang meng konsep,yang ngetik dan yang ngecek itu saja sudah 3 orang-orang hingga ke pengiran itu intinya ada 8 orang,” cerita Indra.
Tetapi kata Indra, sekarang di era digital cukup 1 orang dengan handphone mengirimnya pakai WA (What’s up). Jadi dengan kata lain hilang 7 orang, 7 pekerjaan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut
“Nah ini fenomena yang akan dihadapi oleh manusia. Perbedaannya antara manusia dengan teknologi. Manusia yang akan bekerja itu adalah manusia yang cerdas, manusia yang lebih pintar dari teknologi. Jadi kalau kita merasa lebih bodoh dari teknologi ya siap-siap aja kita akan kalah dari teknologi,” terangnya.
“Kayaknya berat banget ya teknologi pintar banget. Tetapi kita harus sadar bahwa teknologi itu penciptanya adalah manusia,” tandas Indra.
Memasuki kecerdasan dengan persiapan.
“Smart Society itu di dalamnya ada smart people tentunya smart kids. Smart people itu dari sini dipersiapkan yaitu smart kids, ” sebut Indra.
Untuk kaum ibu muda yang berhadapan dengan 5.0 Society dan AI tentunya harus ada persiapan menurut indra yang langkahnya tidak terlalu sulit bagaimana didorong dengan gizi makanan yang cukup, ini sudah merupakan hal yang mutlak.
Satu hal yang tidak atau belum menjadi kebiasaan orang Indonesia, masyarakat Indonesia adalah bagaimana mendorong anak itu untuk cerdas sesuai cerdas dalam faktanya, bukan cerdas dalam ilusi.
“Maksudnya adalah, masyarakat Indonesia lebih suka angka skor-nya, nilai angka nilai anak saya bagus, rangking anak saya bagus, rangking tinggi, punya gelar panjang banget SPd, M.Pd, PHD, dll,” jelas Indra.
Tapi belum tentu kompetensinya ada di sana , jadi ibaratnya lebih suka make up-nya. Outer beauty cantik dari luar dibanding cantik dari dalam inner beauty-nya.
Padahal kata Indra, kecerdasan itu sesuatu hal yang dari dalam. Ga bisa pakai make up-make up, ngga bisa pakai rekayasa. Bahkan kalau kita pakai skema yang sekarang menjadi bahan referensi yang orang sering menyebutnya hot higher order thinking skill itu bagaiman anak harus punya kemampuan untuk mencipta, inovasi.
“Dan itu yang tidak bisa dilakukan oleh teknologi-teknologi sehebat apapun teknologi. Mentok-mentok cuma bisa copy paste. Artinya membuat sesuatu yang sudah dibuat dan itu presisi banget, bisa detail banget tapi itu cuma bisa meniru. Mereka ngga bisa punya kemampuan untuk menciptakan karena memang tidak didesign untuk punya kemampuan berfikir, tidak punya otak yang menciptakan,” terangnya.
Kalau hal itu bisa terjadi mengerikan, artinya udah kiamat, bisa saja yaitu terjadi suatu saat . Kalau levelnya manusia itu sudah habis. Tapi saat ini manusia kan manusia itu diciptakan sesuai dengan Citra Allah. Jadi Allah menciptakan manusia, manusia mampu menciptakan dengan kreasi atas sesuatu yang kita ciptakan.
“Nah untuk anak-anak cara mereka untuk menjadi cerdas bukan dibimble-kan, bukan kemudian juga didrillingkan,” tegasnya.
Indra kemukakan ada satu hal yang justru malah jadi keliru di Indonesia. Begini, orang tua itu kepingin anaknya belum sekolah, masih play grup malah dibawah olah grup kalau sudah bisa baca, bisa berhitung, bisa matematika. Ortu bangga banget.
Ia mengungkapkan, belum sekolah aja sudah dibimble-kan karena orang tua ingin kelihatan anaknya pintar. Tapi ternyata riset dari banyak perguruan tinggi di tingkat internasional yang saya bacakan dari Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research , justru malah membuat anak didorong untuk supaya bisa baca sebelum usianya 7 tahun, sebelum masuk SD itu justru dampaknya buruk.
Kenapa? Karena mereka belum terbentuk yang namanya kemampuan temporal. Temporal itu kemampuan otak menangkap informasi secara cepat.
Indra berikan contoh kemampuan mendengar, meski cepat tapi tidak ada tulisannya. Beda dengan membaca yang ada tulisannya. Membaca tulisan, otak betul-betul lebih banyak bekerjanya. Jadi lebih berat.
Ia menambahkan, walaupun tidak cepat, anak-anak harus dididik dulu untuk menangkap informasi secara cepat, maka yang tepat di usia 7 tahun. Setelah mampu menangkap dengan cepat baru kita beralih dari temporal ke spasial.
Belajar mendengar sejak bayi dalam kandungan ibunya
Indra menuturkan untuk menjadi anak cerdas itu dari bayi mulai dari ada di dalam kandungan , orang tua harus membiasakan membacakan cerita. Ini sangat simple. Hal ini banyak dilakukan di luar negeri. Kenapa tidak dilakukan oleh banyak masyarakat tradisi ini karena pertama tidak membiasakan menjadikan budaya. Kedua, karena banyak yang tidak tahu bahwa hal ini cara ini ada manfaatnya.
Jadi kata Indra, bayi dalam kandungan akan menyerap cerita yang dibacakan, selain bayi terhibur juga menumbuhkan kecintaan kebaca pada saat nantinya setelah lahir.
“Nah kalau di Indonesia anak-anak yang belum waktunya mencerap informasi tadi disebutkan diatas, anak dipaksa untuk bisa membaca dari kecil maka jadinya membenci buku dan menjauhinya,” terangnya.
Indra menjelaskan bahwa bayi dalam kandungan itu menyerap tidak dengan tulisan maka akan terdevelope / terbangun kemampuan temporal. Informasi yang mereka tangkap maka muncul imajinasi itu inovasi logic. Bisa dibayangkan jika selama bayi dalam kandungan hingga lahir sampai usia 7 tahun mendapatkan informasi tanpa bacaan maka digaransi anak akan cerdas.
“Kalau anak di usia sebelum 7 tahun dipaksakan malah dibimble-kan maka yang terjadi anak memiliki literasi yang buruk, kemapuan menangkap informasinya pendek sehingga cara bacanyapun pendek – pendek,” jelasnya. (Yoss)