“Agenda Busuk tersembunyi dibalik amplifikasi isu Depresi dalam pendidikan Spesialis”

(Zainal Muttaqin, M.D., Ph.D. Pengampu pendidikan dokter dan dokter spesialis, Guru besar FK Undip) 

Menteri kita yang satu ini terus saja mengulang perilakunya yang tidak etis, baik sebagai seorang pejabat publik maupun sebagai seorang yang mengaku berpendidikan tinggi.

Dalam unggahan TikTok @drtonysetiobudi sekitar Mei 2023, berjudul ‘Pemerasan terselubung di dunia kedokteran’, menkes (yang bukan dokter) mempertanyakan mengapa harus ada STR dan SIP, kenapa tidak disatukan saja, kenapa perlu di revalidasi setiap 5 tahun.

Bahkan menkes ‘menuduh’ adanya pemerasan terselubung terkait jumlah dana yang besar (6 juta per 5 tahun untuk seorangspesialis, dikalikan 75 ribu orang, jumlahnya 450M).

Ini hoaks yang nyata, karena biaya pengurusan STR hanya 300 ribu setiap lima tahun, dan masukke kas negara sebagai PNBP.

Tapi sebagai anggota perhimpunan Spesialis Bedah Saraf, juga beberapa perhimpunan spesialis lain, ada kewajiban iuran bulanan sebesar 100 ribu, atau 1,2 juta setahun, jumlahnya jadi 6 juta setiap 5 tahun.

Besaran iuran adalah urusan internal organisasi kami, dan menkes tidak punya hak untuk masuk ke ranah ini. Terpisahnya STR dan SIP serta revalidasi setiap 5 tahun adalah perintah UU 29-2004, bukan kehendak IDI, apalagi pengurus IDI.

Tuduhan ‘pemerasan terselubung’ ini bisa menyesatkan banyak pihak yang tidak tahu tentang profesi dokter dan berbagai UU yang mengaturnya.

Belakangan baru terkuak lebar ‘udang di balik hoaks’ dan tuduhan tanpa bukti menkes tarsebut.

Kewajiban setiap dokter untuk selalu memperbaharui kompetensi dan keilmuannya melalui pelbagai kegiatan ilmiah (yang selama ini dikelola oleh Perhimpunan Spesialis dengan Kolegiumnya) terlihat sebagai ‘bisnis’ yang amat menggiurkan sampai membuat menetesnya air liur jajaran kemkes.

Maka dengan UU kesehatan Omnibus, menkes secara paksa mengambil alih semua proses tatakelola nakes dari hulu sampai hilir, termasuk kegiatan peningkatan dan penambahan kompetensi ini.

Sejak saat itu, dimulailah bisnis mencari cuan yang menyasar dokter dan nakes seperti contoh di bawah ini :
1. Radiofarmaka Kanker bagi Radiofarmasi di RS, tg 5-16/ 7/2023, biaya 20 juta/ peserta
2. Pelatihan Penatalaksanaan Pasien Kanker dengan Kemoterapi, tg 3-11/ 7/ 2023, biaya 8 juta
3. Pelatihan Penanganan Obat Kanker (Handling Cytotoxic), 7-16/ 8/2023, biaya 8 juta/ peserta
4. Pelatihan Manajemen Pelayanan Instalasi rawat jalan di RS, tg 21-24/ 8/2023, biaya 4,25 juta

Setelah isu bullying beberapa bulan lalu, narasi terbaru menkes di Kompas 15 April 2024,  menyatakan bahwa 22,4% mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) terdeteksi mengalami gejala depresi, 0,6% diantaranya gejala depresi berat.

Ini adalah hasil skrining terhadap 12.121 PPDS di 28 RS Vertikal, dengan kuesioner Patient Health Questionnaire (PHQ)-9.

Mari kita telaah ‘riset’ ini berdasarkan kaidah sains medis sederhana, agar kita tahu betapa tidak bermutunya ‘level of evidence’ temuan terkait depresi yang dipaparkan oleh menkes.

Pertama, dalam dunia medis dimanapun diajarkan bahwa diagnosa harus didasarkan atas keluhan pasien (gejala) dan hasil pemeriksaan.

Gejala serangan jantung adalah nyeri dada kiri, apakah setiap orang dengan nyeri dada kiri berarti mengalami serangan jantung ?

Tentu tidak demikian, perlu bukti-bukti lain dari pemeriksaan EKG, hasil Laboratorium, dll. untuk memastikan diagnosa serangan jantung, karena gejala yang sama bisa terjadi pada pasien dengan penyakit lain, misalnya asam lambung yang naik ke atas atau GERD.

Temuan menkes hanya didasarkanatas kuesioner PHQ-9 yang berisi 10 pertanyaan, dengan pilihan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’.

Kalau saya jawab ‘ya’ pada pertanyaan 1, 2, dan 3, otomatis saya akan termasuk dalam depresi berat, betapa naif dan lemahnya PHQ-9 sebagai alat skrining.

Kedua, menurut aturan resmi BPJS, beberapa jenis penyakit diagnosa dan pengobatannya hanya bisa dilakukan dokter dengan kompetensi tertentu.

Diagnosa dan pengobatan kanker hanya bisa diberikan oleh dokter Onkologi atau Bedah Onkologi.

Demikian pula gangguan jiwa dan depresi, diagnosa dan pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh dokter spesialis Kesehatan Jiwa.

Presiden sekalipun, apalagi menkes yang bukan dokter, tidak berhak untuk mendiagnosa, apalagi menyatakan “yang depresi berat kalau tidak ditangani bisa fatal” dan meminta agar PPDS yang depresi berat segera dirawat.

Sekali lagi, hanya klinisi (dokter) yang bisa menentukan apakah seorang pasien perlu perawatan RS atau cukup rawat jalan, bukan pejabat dan politisi.

Ketiga, telaah kritis terhadap alat skrining yang dipergunakan (PHQ-9) tertuang dalam sebuah Systematic Review oleh Prof. Allen F. Shaughnessy (Am.Fam.Physician 2022;105(3):321-322).

Dinyatakan bahwa hasil positif pada skrining dengan PHQ-9 sebagian besar (77%) adalah positif palsu (false positive).

Artinya, dari 18 pasien yang terdeteksi sebagai depresi, hanya 4 orang yang benar-benar depresi, dan dari 4 orang ini hanya sebagian kecil yang depresi tingkat sedang-berat yang memerlukan pengobatan.

Sebagai tindak lanjut temuan ini, otoritas kesehatan di Inggris dan Kanada telah melarang (tidak menganjurkan) penggunaan PHQ-9 untuk skrining depresi.

Keempat, dinyatakan oleh Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI (merdeka.com/peristiwa/meng…) tentang perlunya data pembanding dengan metoda yang sama pada peserta program pendidikan lain seperti STPDN (atau Akmil, atau ITB).

Jadi kita akan tahu apakah temuan ini hanya di pendidikan kedokteran atau pada program pendidikan lainnya.

Selain itu perlu juga data dari masyarakat umum, bisa jadi angka depresi juga meningkat secara umum akibat tekanan ekonomi dan sosial.

Terkait dengan analisa datanya tidak boleh hanya deskriptif, tapi perlu analisa kualitatif terkait faktor-faktor penyebab yang paling berpengaruh.

Tanpa analisa kualitatif yang rinci, maka temuan ini belum bisa menjadi ‘evidence based’.

Jangan-jangan depresi juga terjadi pada semua program pendidikan dengan tingkat yang hampir sama, bahkan di masyarakat umum.

Data dari China dan USA (statnews.com/2015/12/08/dep…) memperlihatkan bahwa depresi dan kelelahan (burnout) saat pendidikan PPDS terjadi di semua negara dan bidang spesialisasi apapun.

Meta analisa pada 54 riset di 16 negara menunjukkan bahwa angka depresi naik 5 (lima) kali lipat mencapai 25-30% PPDS tahun pertama.

Riset lain (Lithong Chen et al; Scientific Reports, 2022, 12: 8170) melibatkan lebih dari 1000 PPDS dari 2 universitas besar di Shanghai dan Peking serta lebih dari 7000 PPDS dari 100 RS Pendidikan di USA (dievaluasi sebelum masuk PPDS dan setiap 3 bulan selama PPDS tahun pertama).

Hasilnya membuktikan bahwa angka depresi naik 4 (empat) kali lipat dari 9% menjadi 35,1% di China dan 34,9% di USA pada peserta didik PPDS tahun pertama.

Jelas terlihat angka depresi di pendidikan PPDS Indonesia sebesar 22,4% ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara lainnya.

Pertanyaannya, mengapa menkes menjual isu depresi dari hasil riset murahan yang tidak berkualitas ini (kuesioner-nya setara dengan ‘riset kepuasan pelanggan’ yang banyak beredar dimana-mana), lalu mengamplifikasi hasilnya melalui banyak buzzer/ staf khusus teknis komunikasi atu apapun sebutannya?

Adakah agenda busuk lain di balik isu depresi sebagaimana isu ‘pemerasan terselubung’ sebagai upaya mendiskreditkan Organisasi Profesi Dokter dan Nakes, yang berujung pada akuisisi pelbagai kegiatan nakes demi berburu cuan?

Sesuai dengan UU 29-2004 Pasal 1 butir 13, Kolegium adalah badan otonom yang dibentuk oleh Organisasi Profesi (OP) untuk masing-masing cabang disiplin ilmu, yang bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut.

Kolegium memiliki tugas utama untuk menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis.

Keanggotaan kolegium adalah para Guru Besar Bidang Ilmu dan para pengelola pendidikan yang terdiri atas Ketua Program Studi dan ketua Departemen/Institusi Pendidikan Dokter Spesialis terkait.

Keberadaan kolegium juga mengacu pada UU No. 20-2013 tentang Pendidikan Kedokteran, yang menyebut Fakultas Kedokteran sebagai penyelenggara program pendidikan bersama dengan Rumah Sakit Pendidikan berkoordinasi dengan Kolegium sebagai bagian dari Organisasi Profesi.

Akan tetapi, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU 17-2023, Pasal 733 menyatakan bahwa Kolegium bertanggung jawab kepada Menkes melalui Konsil.

Pasal 734 butir 1 menyatakan bahwa Kolegium diangkat dan diberhentikan oleh Menkes, dan pada butir 3 disebutkan keanggotaan kolegium dipilih melalui seleksi oleh panitia seleksi yang ditunjuk oleh Menkes.

Saat ini dalam wadah MKKI setidaknya ada 38 Kolegium Bidang Ilmu yang semua anggotanya adalah orang-orang yang terpilih dari setiap perhimpunan dokter spesialis, yang dianggap paling mampu dan credible dalam mengampu pendidikan spesialis.

Dan UU No. 17-2023 serta RPP nya pasal 733 dan 734 hendak menggantikan mereka, para putra terbaik bangsa dalam setiap bidang spesialis tersebut, dengan para petugas menkes yang bekerja dan bertanggung-jawab kepada menkes, dengan kriteria yang tidak jelas.

Rasanya tidak mungkin dibantah bahwa kelompok Guru Besar Bidang Ilmu inilah yang paling pantas mengampu dan mengelola pendidikan spesialis, tidak mungkin digantikan bahkan oleh Presiden sekalipun, apalagi seorang Menkes yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran.

Dan sepertinya, amplifikasi isu bullying beberapa saat lalu, dilanjutkan dengan isu depresi pada peserta didik PPDS adalah bagian dari agenda busuk terstruktur yang sungguh tidak etis seorang menkes untuk mendiskreditkan peran penting para guru besar bidang ilmu yang tergabung dalam Kolegium.

Bisa jadi inilah kedunguan terbesar seorang pejabat publik yang bisa menjadi awal kemunduran dan porak-porandanya sistem pendidikan dokter spesialis yang sudah baik saat ini kembali ke model Home Schooling (m.mediaindonesia.com/opini/628479/p…) seperti yang pernah kita alami 50-60 tahun yang lalu.

Tentu saja langkah dungu ini akhirnya akan mengorbankan hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas dan terjangkau.

Semoga Tuhan melindungi bangsa inidari berbagai tipu muslihat dan niat busuk banyak pihak, politisi, pejabat publik, atau siapapun yang berdalih seolah berbuat baik bak pahlawan kesiangan.