Sengkarut Penegakan Hukum Serta Problematik Hubungan Antar Lembaga Penegak Hukum

Oleh Eko S Dananjaya

Hidup di sebuah negara yang penegakan hukumnya tidak tegas, akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakatnya. Masyarakat boleh untuk tidak percaya pada lembaga hukum manapun. Karena lembaga penegak hukum dalam prakteknya tak mampu lagi mempersonifikasi kelembagaanya untuk dijadikan rujukan dan pegangan dalam menjaga marwah hukum. Sebagaimana perintah undang- undang dan tupoksi yang ada selama ini.

Aparat penegak hukum adalah alat negara yang terwadah pada institusi, sekaligus bertanggung jawab pada penegakan hukum sebagaimana perintah undang-undang. Lebih lanjut, aparat penegak hukum adalah mereka yang diberi kewenangan untuk melaksanakan proses peradilan, menangkap, memeriksa, mengawasi atau menjalankan perintah undang- undang pada bidangnya masing-masing.

Lembaga kepolisian sebagai garda depan yang berfungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Cakupan dan tugas lembaga kepolisian begitu luas. Dari memelihara keamanan, memberi perlindungan, mengayomi serta melayani masyarakat.

Kerja kepolisian cukup berat. Karena lembaga ini berada di garis depan dalam penegakan hukum. Begitu banyak beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Wajah dan postur penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, tidak lepas dari struktur sistem kehidupan masyarakatnya. Demikian ragam serta sedemikian kompleks persoalan hukum yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Dari masyarakat bawah sampai atas, tingkat pelanggaran hukumnya mempunyai kadar yang berbeda. Lembaga kepolisian tugasnya adalah mengeksplorasi hukum yang ada di tengah masyarakat. Segala macam pelanggaran hukum di masyarakat, dikerjakan dan ditangani oleh lembaga kepolisian. Dari kriminalitas ringan sampai berat, polisi dituntut cekatan untuk mengurus persoalan serta menyelesaikan masalah dengan baik. Harapan masyarakat, polisi agar tidak menambah beban persoalan yang menimpa masyarakat. Sehingga masyarakat berharap pada polisi agar mampu menjadi penetrasi sosial. Apa yang disandangnya sebagai penegak hukum di garda depan dapat menjadi tauladan dan diterima dengan elegan oleh masyarakat. Polisi harus menjadi contoh baik dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Apa yang dirasa dan diinginkan masyarakat menjadi aman dan nyaman itu bisa nyata. Oleh sebab itu, perilaku penegak hukum, akan di jadikan contoh oleh masyarakat. Itu sebab, wajah masyarakat dipengaruhi oleh produk hukum pemerintah. Hukum hadir di masyarakat ketika dibutuhkan. Ketika masyarakat aktif menjalankan aturan hukum sesuai prosedur, berarti hukum sudah berjalan dengan baik. Sehingga hukum atau peraturan hanya sebagai binding regulations. Disinilah fungsi dan tugas penegak hukum tudak lebih sebagai regulator dalam menjalankan undang- undang. Di negara yang sudah maju peradabannya, demokrasi dan hukum berjalan seirama. Tidak jomplang kanan kiri. Masyarakat yang hidup di negara maju demokrasinya, sadar serta taat menjalankan aturan. Demikian pula aparatnya, tidak banyak bekerja untuk mengurusi seperti kriminilitas, tetapi akan lebih banyak mengerjakan soal penyuluhan hukum saja. Karena, kesadaran hukum telah di praktekan dengan konsisten dan baik. Masyarakat maupun penegak hukum bersama – sama menjalankan peraturan dengan penuh tanggung jawab dan disiplin. ( wikipedia. https://id.wikepdia.org ) .

Sebaliknya, jangan ada kesan pada masyarakat, jika masyarakat mengadu ke kantor polisi karena kehilangan ayam seperti merasa kehilangan kambing. Kesan yang melekat ini harus segera dihapus. Ada kesan takut dan enggan selama ini, jika seseorang mengadu ke kantor polisi. Sebab terkesan “nantinya akan berujung mengeluarkan ongkos besar”. Bagaimana sebisa mungkin kesan tersebut dapat hilang? Yakni dengan cara membangun kesadaran dan praktek hukum yang kuat pada personal kepolisian. Bahwa hukum adalah aturan yang sama- sama harus ditaati dan dijalankan bukan saja oleh masyarakat, tapi juga oleh penegak hukum itu sendiri.

Menghilangkan citra polisi yang terkesan buruk tidak mudah. Hanya dengan menjalankan peraturan hukum dengan sebaik- baiknya. Presisi dan bekerja secara profesional dari tingkat Jendral sampai pangkat paling rendah.

Demikian pula kejaksaan. Lembaga penegakan hukum yang tugasnya berdasar pasal 30 undang- undang no 16 tahun 2004 kejaksaan Republik Indonesia, berikut tugas dan wewenang kejaksaan.
– Melakukan penuntutan
– Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
– Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat.
-Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
– Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu melakukan pemeriksaaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (infografis kejaksaan).

Diatasnya ada Lembaga Kejaksaan Agung. Kejagung kinerjanya lebih luas. Lembaga ini memiliki kekuasaan penuntutan skala nasional. Institusi tertinggi di kejaksaan yakni Kejaksaan Agung Yang wilayah kerjanya dapat menghandel kasus- kasus besar. Yakni mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kejaksaan Agung hirarki nya bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Demikian pula Kepolisian.

Lembaga- lembaga penegak hukum itu sudah mempunyai protap dan tupoksi masing- masing. Baik lembaga Kepolisian, Kejaksaan atau Kejaksaan Agung maupun Kehakiman atau Mahkamah Agung. Mereka telah memiliki wilayah kerja dan wewenang masing-masing.

Demikian jika lembaga penegak hukum tersebut bisa saling menghormati dan menjalankan kerjanya masing-masing sesuai perintah undang-undang. Maka tumpang tindih job description tidak akan terjadi. Pelajaran yang dapat kita rasakan setelah reformasi. Beberapa kejadian tumpang tindih dan saling sikut antara lembaga penegak hukum. Hal itu terjadi karena penegak hukum tidak sadar melewati ambang demarkasi fungsi lembaga. Sehingga mengakibatkan terjadinya ketegangan dan terkesan berebut kewenangan. Mengapa bisa demikian? Karena batas- batas kewenangan tersebut dipahami sebagai innapropriate regulations (peraturan yang tidak semestinya).

Peraturan yang tidak semestinya itu bisa jadi karena ada persoalan besar dalam kasus yang ditangani. Ada “pembesar yang merasa terlibat atau tersandra kasus”. Bisa juga perintah tersebut datang dari Presiden yang intervensi pada lembaga penegak hukum, baik pada lembaga kepolisan, kejaksaan, kehakiman atau KPK. Hal itu bisa terjadi manakala kepala negara menduga melihat ada salah satu pimpinan lembaga penegak hukum pada instansi yang ikut terlibat pada kasus korupsi yang sifatnya dapat memberi dampak besar pada politik, Atau pimpinan lembaga penegak hukum disinyalir memback up kasus kriminalitas atau penambangan berskala besar, yang berakibat negara dirugikan. Sehingga dengan demikian, kepala negara memerintah untuk diadakan penyelidikan dan penyidikan secara tertutup.

Tentu saja dari sini akan muncul masalah baru dan akan menimbulkan gesekan kepentingan, karena pembesar ingin aman. Selain mencari aman, pembesar juga tidak mau terjerat hukum. Karena dugaan terlibat kasus yang berdampak pada negara dirugikan. Tidak mungkin satu institusi memeriksa pimpinannya yang diindikasi terlibat korupsi atau backing pengelolaan tambang ilegal. Jika korupsi itu di lakukan oleh pimpinan lembaga tersebut. Ini sama saja jeruk makan jeruk.

Munculnya ketegangan antara Jampidsus Kejagung dengan Kepolisian beberapa hari lalu. Menunjukkan ada ketertutupan dalam penanganan kasus korupsi penambangan timah ilegal di pulau Bangka. Atau penyidikan dan penyelidikan kasus korupsi jumbo ini tidak diwenangkan ke Lembaga kepolisian tapi malah ke Kejaksaan Agung.

Sinyalemen korupsi ini diduga melibatkan seorang pensiunan jenderal bintang empat yang memback up penambangan ilegal tersebut. Wal hasil, saling teror antar Lembaga penegak hukum terjadi. Muara masalah ini tidak lain berujung pada politik. Penanganannya tidak sekedar melibatkan pasal- pasal hukum yang nanti akan di kenakan. Tapi, nuansa politik lebih dominan karena pengumpulan dana sebesar itu pastinya melibatkan banyak orang besar atau pejabat tinggi. Jika di usut akan menjadi berita besar. Dan membutuhkan biaya politik yang tidak sedikit.

Hukum kadang dikalahkan dengan keputusan politik. Padahal, jika negara mau baik dan sehat demokrasi dan hak asazi nya , hukum diletakkan sebagai mercusuar keadilan bagi bangsa Indonesia. Tapi apa yang terjadi selama ini? Wajah hukum kita Bopeng dan robek gara- gara politik mengintervensi penegakan hukum.

Masyarakat kecewa tapi tidak bisa protes karena hegemoni negara lebih kuat. Semua unsur penegakan hukum dikendalikan oleh kepala negara. Walau tidak kasat mata, tapi bisa dirasa. Perseteruan antar Lembaga penegak hukum bukan kali ini saja.

Cicak lawan buaya juga pernah terjadi. KPK versus Kepolisian, yang pada akhirnya penyelesaian itu berada di Istana Negara. Korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha penambangan (IUP) PT Timah Tbk 2015-2022. Nilai korupsi berikut kerusakan lingkungan diduga mencapai 271 Trilyun rupiah.

Sungguh sangat fantastis. Korupsi yang ugal- ugalan dengan mengeruk hasil tambang dan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Dan anehnya berjalan lancar dan terjadi pembiayaran dengan dilandasi secarik katabelece dari Jakarta dengan bungkus peraturan. Peraturan itu untuk melegitimasi penambangan dan bekerjasama dengan pejabat daerah.

Apa yang di dapat masyarakat dari geger korupsi jumbo ini?

Sejarah mengatakan. Dari jaman cow boy texas Amerika menguasai dan menjadi centeng penambangan emas. Sampai cow boy Indonesia yang menguras bermacam tambang di Indonesia. Institusi, pemodal akan bekerjasama dengan aparat keamanan. Aparat keamanan bukan lagi menjadi centeng tapi sudah ikut bermain di dalam pertambangan. Bukan saja Timah, tapi juga batubara, nikel, emas, pasir besi dll. Inilah bukti bahwa telah terjadi eskalasi besar penjarahan Sumber Daya Alam dengan secarik katabelece dengan casing aturan yang dilegalkan pemerintah atau anggota dewan bekerjasama dengan para pejabat daerah untuk menumpuk harta karun. Sedang fungsi masyarakat setempat hanya menjadi penonton atau pelengkap penderita. Masyarakat tetap saja miskin dan tidak beranjak pada kelas sosial yang hidupnya akan lebih baik. Hanya segelintir orang yang menikmati hasil tambang karena ia sedang menjabat atau dibacking oleh orang Jakarta yang punya kedudukan kuat dalam instansi penegakan hukum atau lembaga politik. Dalam hal ini, maka tidak menutup mata jika perseteruan antar lembaga penegak hukum saling cakar dan saling teror karena oknum pejabat atau pimpinannya tersangkut urusan hukum. Dan ending penyelesaiannya bukan di meja hijau tapi di meja perundingan, karena satu sama lain akan saling membuka aib dan membongkar kelemahan masing- masing.

Penulis adalah aktivis mahasiswa 80- an
Pemerhati masalah demokrasi dan hak asasi.