Anak Petinggi BIN Korupsi Timah – Stalker Oknum Densus 88 Ditangkap Intel Kejagung dan Perspektif Unlawful Killing KM.50

JAKARTASATU.COM— Sekertaris Dewan Kehormatan Kongres Advokat Indonesia, Damai Hari Lubis menyatakan benarkah intrik-intrik yang berkembang melalui beberapa media, bahwa Muhammad Herviano Widyatama, putra Kepala BIN, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan/ BG. berbisnis pertambangan timah di Pangkalpinang, dalam bentuk modal total Rp 10 miliar kepada PT Sumber Jaya Indah, perusahaan pertambangan dan pengolahan timah di Pangkalpinang, Bangka Belitung.

Dinyatakan dalam rilis media warta, terdapat isu adanya temuan dugaan dokumen dari hasil penyelidikan Bareskrim/ Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri terdapat transaksi tak wajar “Herviano yang mengucurkan dana Rp 10 miliar itu pada 23 Mei 2007 dan 18 Desember 2007 melalui perusahaan PT Mitra Abadi Berkat Indo. Di perusahaan ini Herviano merupakan salah satu dari empat orang komisaris, ” Kata Hari Lubis dalam rilis tertulis kepada wartawan, Kamis (30/5/2024).

Damai Hari Lubis menuturkan Dari sisi pendekatan hukum, berdasarkan teori dan asas-asas hukum pidana segala temuan yang menjadi “narasi berita media terkait Korupsi ini” jika berkesesuaian dengan perolehan data dan fakta Jo. perkara a quo in casu korupsi timah, tentu dapat menjadi bagian daripada data formal untuk pemenuhan unsur-unsur presumsi objektif, atau subjektivitas objektif  yang menjadi domain tupoksi pihak penyidik polri. Dan proses temuan ini, mesti disertakan SOP yang merujuk perkapolri tentang manajemen penyidikan Jo. KUHAP. sehingga searah pola penyidikan dengan konsep hukum yang due of process, yakni Polri yang mandiri dan objektif, semata hanya atas dasar profesionalitas, proporsionalitas. Sehingga terjadi sinkronisasi antara pelaksanaan SOP dengan produk penyidikan yang presisi serta berkualitas hukum.

Selanjutnya kata Hari Lubis, terhadap peristiwa temuan perilaku korupsi terhadap hasil tambang timah ini, pada prinsip-nya dinyatakan sesuai  pendekatan atau perspektif hukum, sebagai PURE PERISTIWA HUKUM, dan tentunya “sementara” wajib di- split dari embel-ember segala macam praktik politik fragmatis.

Maka, seluruh data formal dari penyidik ini, akan memudahkan JPU. dalam merumuskan pasal-pasal dakwaan demi membuktikan keabsahan tuntutannya, dan memudahkan para hakim dipersidangan untuk mengungkap peristiwa hukum sebenarnya, serta membuat dasar pertimbangan-pertimbangan hukum, agar vonis terhadap para pelaku atau para terdakwa berkesesuaian dengan kebenaran materil (materiele waarheid) demi didapatkan hakekat keadilan (gerechtigheid).

Kasus murni hukum ini bisa berbeda atau berbelok arah, jika ditunggangi oleh isu politik, berdasarkan data empirik penegakan hukum di tanah air, khususnya dalam kurun waktu 10 tahun, era kepemimpinan Presiden Jokowi, kemudian ditarik benang merah seorang BG. eks wakapolri, yang dari sisi politis ditandai jatidiri individu yang dilatarbelakangi bio data kedekatan kinerja dengan tokoh besar bangsa ini, Ketua Umum PDIP. Megawati. Track record BG. Jendral Purn Polisi tercatat sebagai eks ajudan Megawati saat menjabat RI.1 ke- 5 (lima),” ungkapnya.

Lalu Megawati, yang kini sudah mengumbar statemen politiknya bakal oposan terhadap pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran RR. bin Joko Widodo, yang akan dilantik menjadi RI.1 dan RI. 2 pada Oktober 2024.

Menurut Hari Lubis dari sisi perspektif politik  yang bakal sulit terlepas dari kepentingan pengusaha dan penguasa (oligarkis) yang kerap berada disekitar tampuk kekuasaan, dihubungkan dengan Prabowo selaku RI.1. yang membutuhkan pandangan sama dengan para tokoh bangsa dan dukungan koalisi partai partai. Hal ini diperkuat dari sudut cermin politik yang pernah disampaikan oleh Prabowo, “jangan coba-coba mengganggu pemerintahannya”. Oleh karenanya tentu bentuk oposisi Megawati, “dengan segala dokumentasi A.1 yang dimiliki BG”, akan menjadi sandungan politik bagi Prabowo dan para rekan tokoh serta koalisi yang sudah terbentuk.

Maka kerisauan dan pesimistis publik, menjadi hal yang wajar jika memperhatikan dan menyimak karakter Jokowi yang _”unik, dalam artian sarat dengan kebohongan janji politik (vide du social contra’t teori JJ. Rosseau” sehingga jauh dari etika moral dan amat tidak menunjukan role model seorang pemimpin, selain melenceng daripada TAP MPR. RI Nomor 6 Tahun 2001 Tentang etika Kehidupan berbangsa, Jokowi juga melanggar asas netralitas Jo. melanggar asas-asas Good Governance, karena riil cawe-cawe (nepotism) saat pencapresan demi memenangkan pembantu di kabinetnya Prabowo Subianto dan Gibran RR  Bin Jokowi  yang menjelang pilpres 2024. Dan Jokowi kerap membuat diskresi hukum dengan tipikal politik ala suka-suka atau diskriminatif, pola cenderung aneh “atau berkesan politik abnormal”.

“Sehingga kekhawatiran publik tidak mustahil berbuah kenyataan, Prabowo menjadi shadow politik hukum dengan karakteristik kepemimpinan Jokowi, mengingat selain Jokowi cawe-cawe, Prabowo merupakan pembantu setia Jokowi selama 5 tahun dan tercatat Prabowo pernah berucap, “akan melanjutkan langkah politik dan pola leadership Jokowi”,” jelas Sekretaris DPP. DK. KAI ini.

Namun lanjut Hari Lubis, “presumsi negatif (‘pesimistis) publik’ harus dibuktikan lebih dulu, apakah Prabowo akan mengkloning pola leadership Jokowi yang “hobi bargaining politik, dengan wujud ‘merangkul dan menjerat’ kandidat lawan politiknya yang terendus aroma terpapar korupsi”, sehingga tak berkutik, lalu nunut” dalam barisan kabinetnya. Sebuah metode politik hukum Jokowi yang inkonstitusional serta kontras dengan sistim rule of law.

“Kausalitas wujud politik  Prabowo, jika identik “berkelanjutan” dari sistim karakter politik seniornya Jokowi, posisi PDIP yang berjanji oposisi akan berubah menjadi koalisi kah ? Apakah BG. Sebagai “orang dekat” Megawati bakal dirangkul sebagai tokoh koalisi ? Atau malah ikut duduk dalam kabinet Prabowo/ RI.1 ?, ” tukasnya.

Oleh karenanya, pada era kepemimpinan Prabowo yang tentunya lebih cerdas jauh diatas Jokowi dari sisi intelektualitasnya, namun jika karakteristiknya melanjutkan tipikal Jokowi, yang hobi ingkar janji dan melabrak rambu-rambu hukum, serius bangsa ini menghadapi big red sign, tanda merah besar. Oleh karenanya, implementasi fungsi sosial kontrol dalam bentuk kritik dan saran dan masukan masyarakat terhadap kepastian keberlakuan sistem dan faktor penegaknya (rules and behavior) sebagai representatif peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (Jo. PP. Nomor 43 Tahun 2018.), terhadap atau kepada semua kalangan penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) harus lebih ditingkatkan dan lebih konsisten, maka tentunya monitoring publik, atau social control sebagai peran serta segenap bangsa dan negara ini secara general, pada prinsipnya amat dibutuhkan, selain memang perintah hukum, (hukum positif). Dan hendaknya peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi ini dimulai dari sejak saat ini, mulai sekarang pra lengsernya Jokowi atau pra pelantikan Prabowo sebagai RI. 1. termasuk peran serta melalui sumbangsih hukum atau legal opinion public terhadap proses perkara korupsi hasil tambang timah yang ditengarai libatkan putra petinggi BIN.

Kepentingan bangsa ini, terhadap opini dari masyarakat hukum, yang terdiri dari ahli/ akademisi hukum, profesi dan aktivis pemerhati hukum, hal yang serius, utamanya opini dalam bentuk amicus curiae atau sahabat pengadilan (friends of court), terhadap bakal penerapan proses hukum perkara Hervianto Widyatama Bin Budi Gunawan, agar penangangan proses hukum kasus extra ordinary crime (korupsi) yang estimasi kerugian perekonomian negara, sementara ini mencapai 721 triliun rupiah, sehingga perkara tidak melenceng, atau proses hukum tidak stagnasi atau kasus “menguap drastis tanpa kejelasan hukum” tanpa indahkan sistim hukum UU. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tentu, tidak lama lagi dari sisi tempo penanganan hukum, terkait perkara korupsi hasil timah ini, jika ada orang yang terlibat namun belum dinyatakan berstatus tersangka atau lolos sensor,  kelak pada momentum yang diprediksikan Prabowo sudah menjabat sebagai Presiden RI. Semoga Prabowo dan para subjek penegak hukum di kabinetnya, akan mengejar siapapun para pelaku, tanpa pandang bulu, yang  terindikasi kuat, turut serta selaku pelaku korupsi, maka secara equal serta berkepastian hukum, termasuk para stakeholder perusahaan yang berhubungan dengan korupsi hasil timah dan kroni.

“Maka publik bangsa ini berharap pada masa Prabowo RI.1 kasus putra dari Budi Ketua BIN ini dapat menjadi parameter atau sebagai test case penilaian publik pemerhati penegakan hukum dan keadilan, apakah Prabowo akan serius dalam law enforcement atau sebaliknya Prabowo sosok RI 1 akan setia merepresentasikan sinyal keberlanjutan sistim dengan menerapkan ” hukum dan diskresi politik ala ‘suka-suka’ (diskriminatif), pola “attitude abnormal” dari master politik-nya”, Mr. Jokowi,” tandas Hari Lubis.

Selebihnya, seiring dugaan perilaku temuan  peristiwa korupsi yang melibatkan anak pembesar ini, mencuat warta peristiwa hukum yang menghebohkan dan booming,  terkait proses penangkapan terhadap seorang anggota densus 88, oleh pihak intel dari Kejagung RI. Karena sang oknum diduga melakukan delik stalking, vide pasal 493 KUHP. Yakni mengikuti orang lain secara mengganggu, atau melanggar keamanan umum, bagi orang atau barang dan kesehatan.

“Hal tindak pidana stalking atau model physical surveillance ini, ditandai adanya modus operandi pelaku “menguntit” jaksa muda bidang pidana khusus (jampidsus) yang sedang makan di sebuah restoran di wilayah Jakarta Selatan, dan infonya, pejabat Jampidsus ini sedang menangani perkara korupsi timah atau bertalian dengan aroma perkara korupsi a quo putra BG,” ungkap Hari Lubis.

Sisi positifnya lanjut Hari Lubis, terhadap Jampidsus Febry Adriansyah  oknum densus 88, pelaku terhadap terduga pelaku delik stalking atau physical surveillance, telah tertangkap, sehingga tidak terjadi unlawful killing, sebuah peristiwa tragedi hukum pembantaian terhadap 6 nyawa anak manusia, pada tahun 2020 di jalan tol Cikampek KM. 50 Jawa Barat, peristiwa biadab dan memalukan ini, telah terekam menjadi historis atau catatan cacatan hitam abadi pembunuhan, yang secara hakiki, merupakan “peristiwa kejahatan” yang memalukan bagi eksistensi kepolisian/ Polri kelak selama lembaga ini berdiri, dikarenakan implementasi proses dan penegakan hukumnya, masih dirasakan belum memuaskan publik dan utamanya oleh para keluarga ke 6 (enam) korban, karena nyata para pelaku unlawful killing, mendapat vonis onslag, atau bebas dikarenakan faktor berat lawan atau overmacht atau noodwer Jo. Pasal 48 Jo. Pasal 49 KUHP. UU. RI. Nomor 1 Tahun 1946 DENGAN KATEGORI PEMAHAMAN HUKUM, DELIK ADA TERBUKTI, NAMUN DILAKUKAN OLEH PELAKU AKIBAT KONDISI KETERPAKSAAN ATAU PEMBELAAN DIRI.

Sehingga atas vonis hukum yang ada aquo in casu KM. 50,  oleh berbagai kalangan publik, termasuk kelompok masyarakat hukum, meyakini proses hukum dan vonis tidak mencapai tujuan dan hakekat fungsi hukum, yakni kepastian hukum, manfaat hukum dan keadilan, serta proses dan pelaku-pelaku tidak atau belum menyentuh seluruh peserta delik (delneming) atau seluruh medelpleger (para pelaku), serta belum sama sekali menyentuh doenpleger atau intelektual dader/ otak pelaku, yang menjadi faktor utama subtansial unlawful killing untuk mempertanggungjawabkan sesuai ketentuan keberlakuan sistem administrasi hukum terhadap anggota polisi republik Indonesia/ Anggota Polri Jo. UU. POLRI. Dan terhadap para doenplager ( karena logika berpikir para Pelaku adalah sebuah lembaga) semoga Prabowo sedia oleh sebab fungsi dan jabatannya sebagai pucuk tertinggi RI.1 akan mudah memerintahkan aparatur fungsional dibawahnya untuk melakukan dan mendapatkan konkrit kepastian hukum serta menyentuh rasa keadilan.

Akhirnya, akan muncul pertanyaan publik, “adakah hubungan kausalitas antara Kepala BIN Budi Gunawan – Dan putranya Herviano Widyatama bin Budi Gunawan serta terduga oknum pengintai (stalker) pejabat Jampidsus Kejagung RI  Febry Gunawan serta perspektif pelaku unlawful killing KM.50”.

“Tentunya pertanyaan ini, hal yang sulit terjawab secara berkepastian hukum, kecuali sekedar sebatas kriteria dalam kerangka perspektif logika hukum, sebatas kebebasan menyampaikan/pendapat tanpa pernyataan atau keterangan bohong dan tidak merupakan laster (fitnah),” pungkasnya. (Yoss)