Jumhur Hidayat dan Anies Rasyid Baswedan/ist

Anies Rhasyid Baswedan dan Jumhur Hidayat dalam perhelatan Pilkada DKI JAKARTA

Oleh Eko S Dananjaya

Baru-baru ini beredar info bahwa Anies Rasyid Baswedan akan di calonkan kembali menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta. Wakil ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menyatakan. DPW PKS Jakarta telah mengusulkan Anies Rasyid Baswedan untuk menjadi calon gubernur. Ketua PKS Jakarta telah menyampaikan ke DPP PKS, jika Koalisi partai Nasdem, PKS, PKB berpotensi mengusulkan Anies maju kembali pada konstestasi untuk bertarung di Jakarta.(Antara politik 28 Mei 2024 ).

Menarik untuk di kalkulasi secara matematika politik. Untung rugi dan kans untuk menang. Dari beberapa balon Gubernur DKI, nama Anies berada di deretan paling atas. Itu disebabkan karena pertama : Anies pernah sukses menjalankan program- program pembangunan di wilayah DKI.

Selama menjabat Gubernur, Anies dipastikan tidak pernah memiliki cacat politik maupun moral. Selain itu, masyarakat Jakarta telah merasakan hasil pembangunan Anies selama lima tahun. Jakarta pun bersolek dan ramah lingkungan disaat Anies menjabat. Jakarta bukan saja sebagai kota metropolis, yang mampu menghipnotis sekian juta penduduknya untuk hidup mewah maupun yang berhimpitan. Itulah Jakarta, kota yang terlanjur menjadi ikon peradaban masa depan ekonomi, budaya, teknologi dan sosial. Jakarta juga menjadi jujugan orang- orang pengadu nasib.

Bermodal nekat dengan selembar ijasah. Bahkan tidak sedikit yang tidak bermodal sama sekali, tapi berhasil dan sukses. Dari gedung pencakar langit sepanjang jln Thamrin, Sudirman hingga rumah reyot di pinggir kali ciliwung. Sebuah pemandangan kontras, tapi bisa hidup rukun bersama. Jakarta ibarat kota aquarium yang dapat dilihat dari luar sebagai kota yang memiliki kekuatan magnet besar, yang mampu mempengaruhi pikiran manusia untuk berimajinasi apa saja.

Jakarta juga dilengkapi tata ruang yang baik dari segi transportasi terpadu hingga menjaga ekosistem antara manusia dengan lingkungan.
Hasil yang ditinggalkan Anies ketika menjabat Gubenur dapat menjadi modal untuk maju dalam kontestasi pemilihan Gubenur tgl 27 Nopember 2024 nanti. Legacy yang dibangun Anies akan mudah digunakan dan tidak akan sulit untuk meraih kemenangan. Peninggalan Anies saat menjabat Gubenur akan dapat dijadikan contoh sekaligus sebagai tabungan politik.

Kedua: untuk merawat stamina politik menuju pilpres 2029, Anies tetap perlu memiliki pegangan politik. Jabatan Gubernur DKI dianggap paling strategis untuk menghidupkan terus lentera politik supaya pamor tetap terjaga dan tidak redup. DKI menjadi tempat atau kantong strategis step stone untuk menuju kekuasaan paling puncak. Sebab barometer politik nasional bukan di daerah tapi ada di Jakarta.

Ketiga: Jika Anies dapat meraih kekuasaan untuk memimpin DKI, maka laju hegemoni pemindahan Ibu Kota Indonesia di Kalimantan sedikit banyak dapat dikalkulasi ulang. Mengapa? Karena interaksi pemerintahan pusat dengan pemda DKI sementara ini sulit untuk dipisahkan. Selain itu masih terkait erat dan belum dapat disapih hubungan antar lembaga negara baik Pemda dengan program- program Nasional. Tentu saja program keberlanjutan pemindahan ibu kota secara teknis akan mengalami troubel baru. Kekhawatiran ini telah di baca oleh lawan Anies. Sehingga tidak menutup kemungkinan Kaesang dipasang dengan Budisatrio Djiwandono atau tokoh lain yang sebisa mungkin dapat mengganjal Anies untuk tidak dapat meraih kursi Gubenur.

Tentu saja, presiden yang baru nanti juga belum dapat di raba apakah segera mau menjalankan pemerintahan dan bertempat tinggal langsung di ibu kota baru ( IKN ). Walau presiden Jokowi gembar gembor dan bernafsu agar di akhir kekuasaannya, IKN sudah dapat di gunakan secara gradual untuk menjalankan roda pemerintahan. Tapi tampaknya, kesan untuk memaksakan diri itu lebih kuat dibanding kesiapan IKN sebagai kantor Ibu Kota negara.

Bisa saja presiden Prabowo akan menekan biaya dengan tidak menambah beban anggaran negara yang dikeluarkan. Dengan sementara, Prabowo tetap bertahan di Istana Negara Jakarta. Karena pembangunan yang disiapkan oleh pemerintah Jokowi secara nyata belum dapat dijadikan tolok ukur landasan infrastuktur kinerja di awal- awal pemerintahan Presiden Prabowo.

Bisa jadi Anies akan mendapat jalan lapang ketika dirinya dapat mengambil tiket menuju DKI satu. Sejarah membuktikan, bahwa Anies pernah didukung oleh Prabowo dan partai Gerindra untuk menjadi Gubernur DKI. Hal itu tidak dipungkiri ketika Anies hendak berpartisipasi mengikuti kontestasi pilgub 2017 lalu.

Tak ada gading yang tak retak, tak ada harimau mati yang tidak meninggalkan belang. Ini sebuah pemeo dimana kerja- kerja politik tak selamanya berhenti karena perbedaan pilihan. Tapi sebaliknya, dalam keyakinan politik tidak sedikit yang mengatakan bahwa tak ada kawan sejati dan tak ada musuh abadi. Bisa saja Anies dan pak Prabowo dapat saling menguatkan dalam pemerintahan di masa mendatang.

Perhelatan pilgub DKI tahun ini tidak kalah seru dengan pilgub beberapa tahun lalu. Disinyalir Anies akan mendapat pesaing kuat. Baik finansial maupun ketokohannya. Bursa pilgub DKI sejak sekarang sudah ramai diperbincangkan dan kasak kusuk. .

Rumornya Jendral Dudung Abdulrahman akan di usung oleh salah satu partai. Demikian pula Jendral Pur Andika Perkasa telah digadang- gadang oleh PDIP untuk ikut meramaikan perebutan kursi DKI. Yang tidak kalah santer yakni promosi seorang tokoh buruh dan ketenagakerjaan Jumhur Hidayat. Dalam pemberitaan di media masa maupun media sosial, Jumhur Hidayat tampaknya juga masuk radar untuk ikut tampil dalam kontestasi nanti, walau masih di timbang- timbang. Baik Anies maupun Jumhur, dua tokoh ini memiliki kapasitas kepemimpinan yang luar biasa. Selain humanis, mereka mempunyai program kerja yang jelas. Jumhur Hidayat lahir sebagai aktivis mahasiswa yang memiliki jiwa korsa kemanusian tinggi. Pembelaannya pada rakyat tertindas maupun buruh tidak kita sangsikan. Selain itu, ia telah malang melintang dalam kancah politik nasional. Memiliki jiwa ketokohan, tegas tapi fleksibel. Jumhur didekati oleh Partai Kebangkitan Bangsa DKI untuk ikut maju dalam perhelatan pemilihan Gubernur. Selain intelektualnya baik, Jumhur juga seorang petarung politik yang tangguh. Ia memiliki prinsip- prinsip politik yang tidak mudah goyah. Modal dasar ini yang dapat menguatkan dirinya dalam meraih elektabilitas untuk meramaikan percaturan politik ibu kota.

Baik Anies maupun Jumhur, mereka sudah terlatih sebagai pemimpin sejak mahasiswa. Mereka bukan tipe pemimpin odong- odong. Terlatih dalam situasi apapun. Jika Jumhur mendapat tiket menuju DKI satu, maka Anies akan menemukan lawan politik yang sepadan dan tangguh.

Partai politik

Kita tahu bagaimana partai politik sekarang ini sedang mengalami krisis kader kepemimpinan. Beberapa partai politik yang tidak memiliki tokoh yang kuat dan hebat. Itu disebabkan karena gagalnya sistem pengkaderan dalam partai. Akibatnya, partai harus merental pemimpin diluar partai. Fenomena serius yang ada di dalam partai yakni bagaimana partai dapat mencetak para pemimpin yang memiliki leadership yang kuat dan baik. Pemimpin yang kemampuannya diatas rata – rata.

Dari sekian partai yang ada, hanya beberapa partai saja yang mampu menyodorkan calon kadernya. Seperti PDIP, yang baru saja ikut konstetasi Pilpres. Ganjar Pranowo di gadang dan diusung PDIP sebagai kader terbaiknya. Ada juga Andika perkasa. Demikian pula Partai Gerindra desas desusnya akan berduet dengan PSI yang telah menyiapkan ketuanya untuk menjadi wakil. Sampai- sampai Mahkamah Agung ( MA ) menyiapkan karpet merah mengabulkan gugatan yang diajukan ketum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan kawan-kawan terhadap pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU no 9 thn 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur-Gubernur, bupati dan wakil Bupati dan/ atau Walikota dan sakit walikota.

MA mengabulkan usia paling rendah untuk jabatan Gubernur dan wakil Gubernur 30 tahun dan 25 tahun untuk Bupati dan wakil Bupati dan atau Walikota dan wakil walikota. Dari sinilah dikemudian hati akan terjadi persoalan hukum kembali karena Mahkamah Agung merubah pasal dan aturan tersebut bukan karena
bersifat mendesak melainkan karena disinyalir untuk menyiapkan Kaesang ikut pilkada DKI.

Inilah yang disebut krisis multidimensi. Tidak sembodo kebutuhan untuk menyiapkan pemimpin yang tangguh dan baik dengan cara menabrak dan merusak sendi- sendi hukum yang sudah baku. Dan terkesan partai yang ada tidaklah signifikan untuk menyiapkan kadernya menjadi pemimpin politik yang tangguh secara nasional. Selepas reformasi, tokoh- tokoh politik banyak lahir dari produk rekayasa. Maka hasilnya dapat kita duga dan ketahui tidak maksimal. Dan ketika menjabat jadi pemimpin, maka kita nilai bahwa pemimpin tersebut adalah hasil olahan atau karbitan. Oleh sebab itu, sangat rasional jika partai berkolaborasi dengan tokoh- tokoh diluar partai guna melakukan penyegaran dan mengisi kekosongan ruang politik yang selama ini menjadi problematika di dalam tubuh partai itu sendiri.

Partai hendaknya jangan memaksakan diri untuk memajukan calon internal yang ketokohannya tidak kredibel dan acceptable. Sebab sekali pilih maka resiko yang akan diterima pada bangsa ini akan lebih besar. Bangsa ini harus belajar banyak tentang kepeloporan para pemimpin terdahulu. Yang hebat dan tangguh menghadapi politisi- politisi tingkat dunia. Memiliki wawasan kenegaraan yang baik. Mempunyai mental yang kuat dan menjiwai kesejajaran sebagai pemimpin dunia.

Melawan Hegemoni dan Dinasti Jokowi

Salah seorang fungsionaris partai Gerindra memasang gambar Budisatrio Djiwandono bersama Kaesang pangarep untuk dipasangkan sebagai calon Gubernur dan wakil gubernur DKI. Walau ini belum final sebagai keputusan partai, tapi sinyal partai Gerindra duet dengan ketua partai PSI telah dirasa. Selain akan di pasangkan dengan Budisatrio, Kaesang juga di promosikan menjadi calon wakil walikota Surabaya. Puluhan baleho yang terpasang di kota surabaya tersebut diprakarsai oleh BAMAS: Barisan Motor Arek Surabaya.

Sekian tahun lalu ketika anak- anak Jokowi menyatakan tidak minat untuk terjun ke dunia politik ternyata hanya isapan jempol. Nyatanya, setelah berbagai usaha bisnis anak- anak Jokowi kandas dan mengalami kebangkrutan. Kemudian mereka banting setir untuk terjun ke dunia politik. Memang politik ibarat ekstasi, yang semakin kesana semakin asyik untuk dinikmati. Dengan catatan berpolitik ada backing, ada suporting, ada modal. Anak- anak Jokowi tidak punya modal seperti kebanyakan orang. Mereka bisa menjadi walikota karena disokong oleh ayahnya yang kebetulan menjadi Presiden. Oleh karena itu untuk berkiprah di dunia politik ada kemudahan dari ayahnya dan tentu saja fasilitas yang telah tersedia. Inilah yang kemudian tradisi berpolitik di Indonesia menjadi kacau balau. Hukum dijungkirbalikkan, politik dirusak, sehingga hukum tata negara menjadi tumpang tindih akibat lembaga hukum ikut bermain bukan atas dasar kebenaran tapi atas dasar kepentingan dan keberpihakan pada penguasa.

Demikian khawatirnya penguasa hari ini menghadang Anies dengan segala macam cara. Agar Anies, Jumhur dan lainnya yang tidak sejalan dengan pemerintah dapat di patahkan di tengah jalan. Perhelatan ini akan saling mengambil pengaruh untuk dapat menang dipemilihan Gubenur DKI. Akan lebih taktis jika Anies dipasangkan dengan kader PDIP. Ini akan seru karena Istana Negara akan berpikir keras untuk menjegalnya. PDIP memiliki sejarah tua dimana PDIP pernah memerahkan DKI kala awal reformasi. Jika PDIP merasa kuat dan akan berjalan sendiri bisa jadi akan terhempas. Sebab PDIP harus membayar mahal biaya politik atas kerusakan yang di bikin oleh Jokowi. Nama Jokowi masih belum bisa dilepas dengan embel- embel sebagai kader petugas partai PDIP. Walaupun di tengah jalan perpecahan kongsi antara Megawati dengan Jokowi nyata. Tapi di tingkat elemen bawah Jokowi adalah kader terbaik PDIP.

Sinyalemen ini yang saya kira perlu dipertimbangkan. Boleh jadi perdebatan idiologi sekarang sudah tidak lagi relevan dan penting. Karena masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan paradigma dari ideologis menjadi pragmatis. Kaum muda milineal jauh dari gagasan yang berbau idiologi. Mesin politik yang tidak diperbaharui sudah tidak lagi bisa hidup. Oleh sebab itu, untuk melawan hegemoni kekuasaan Jokowi yang sudah mapan dengan mengusung Budisatrio ( keluarga Prabowo) dan Kaesang ( Anak Jokowi) . Tidak ada cara lain, yakni dengan memasang Anies Baswedan dengan orang yang dianggap mampu menjadi wakilnya.

Penulis adalah Sahabat Anies Rasyid Baswedan dan Jumhur Hidayat.