TAPERA, TABUNGAN PENDERITAAN RAKYAT
By Edi Junaidy
Tapera sebagai kebijakan terkesan terburu- buru, pemerintah sudah
menyiapkan segalanya termasuk struktur dan gaji pengelolanya. Sungguh rakyat
tidak berdaulat dan DPR tidak berfungsi.
Tapera bentuk pungutan terorganisir
dengan nawaitu memobilisir dana publik tanpa ada persetujuan sebelumnya.
Joko Widodo yang akan selesai dalam lima bulan lagi, ada motif apa membuat
kebijakan ini?
Dana Publik sebagai Bancaan
Kita sudah paham bahwa dana publik yang dikelola pemerintah digunakan dengan skema investasi dan utang/kewajiban domestik bagi pemerintah. Misbakhun sebagai anggota Komisi Keuangan pernah merilis “bocoran” dari utang atau kewajiban pemerintah dalam negeri yang mencapai Rp 6.000 triliun, tercatat kewajiban subsidi (listrik, BBM) dan bantuan sosial, serta penggunaan dana publik yang dikelola pemerintah seperti, Dana Haji (BPIH) yang berdampak kita tidak bisa memenuhi tambahan kuota 10.000 orang (2021) karena mendadak dana tidak tersedia.
Administrasi pulsa/internet (Bakti Telkom), BPJS, dan dana Taspen (Pensiun ASN, TNI/Polri) yang konon dibayar menggunakan APBN beberapa bulan ini, karena sudah digunakan secara “ugal-ugalan” oleh Joko Widodo yang senang berutang untuk ambisi infrastruktur.
Pelanggaran konstitusi dalam pengelolaan keuangan negara perlu diantisipasi oleh tim transisi Prabowo, jika tidak akan menjadi PR tersendiri. Tentu agak rumit karena penggunaannya tidak melalui mekanisme DPR. Secara akuntansi jelas penggunaan dana publik diragukan secara akuntansi. Pantaskah kita percaya lagi akan setiap dana publik yang dikelola pemerintah?
Tapera sebagai Tabungan untuk Perumahan
Seperti halnya kewajiban pemerintah terhadap kesehatan dan tenaga kerja
dengan BPJS yang akhirnya menjadi BUMN, baru bisa berjalan baik seperti
sekarang ini. Sangat berbeda dengan dana kesehatan karena setiap orang pasti tidak ingin sakit tapi jika itu menimpa seseorang, kehadiran BPJS sangat bermanfaat.
Tapera seharusnya berupa pilihan, bukan kewajiban warga produktif. Pilihan
bagi yang ingin memiliki rumah dan dioptimalkan untuk keluarga muda. Jadi jika diwajibkan, akan menjadi masalah. Hal kedua harus dibuat tata laksana
pengelolaan yang transparan, mengingat pemerintah dinilai tidak disiplin, disinyalir penggunaannya di luar mekanisme APBN. Akuntabilitas pengelolaan dana publik diragukan karena tidak transparan akuntabilitasnya selayaknya dana
publik.
Rakyat Harus Menolak
Kebijakan Tapera seyogyanya harus ditolak. Ditunggu saja pemerintahan baru
pada 20 Oktober 2024. Pemerintahan Prabowo harus melihat urgensinya,
manfaat dan teknis pengelolaan yang baik, sehingga benar-benar sebagai
kewajiban konstitusi pemerintah. Civil society harus menyatukan persepsi
karena kebijakan ini similar dengan kebijakan IKN (Ibu Kota Nusantara). Penting tapi tidak urgen, dan harus memulihkan lebih dulu ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap pengelolaan dana publik. Jika diteruskan, bisa saja diboikot tidak dibayar. Sudah waktunya ada perlawanan sosial terhadap budaya menentukan kebijakan publik yang merugikan rakyat.
Menjadi pertanyaan mendasar, kebijakan publik seperti manuver politik. Kita
pantas curiga, karena hampir semua kebijakan hanya untuk kepentingan
investor tapi abai dengan kedaulatan rakyat. tidak ingin sakit tapi jika itu menimpa seseorang, kehadiran BPJS sangat bermanfaat.
Penutup
Pemerintah yang seharusnya meringankan beban rakyat, namun saat ini harga sembako, dan pajak yang dibebankan sangat membebani rakyat. Bukankah semakin banyak yang rentan miskin karena situasi ini? Karena kebijakan ini justru membuat rakyat menjadi miskin.
Seharusnya Joko Widodo berkaca pada Soeharto yang di akhir jabatannya memaksa konglomerat dengan kebijakan CSR (Corporate Social Responsibility) sebesar 2,5% yang ditujukan untuk UMKM dan kesejahteraan rakyat (kesehatan, pendidikan, dan olahraga).
Joko Widodo di akhir jabatan, yang dipikirkan adalah menguras rakyat dengan berbagai pungutan dan pajak. Jika keuangan negara defisit, seharusnya lebih kreatif dalam hal fiskal misalnya, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari tambang yang tidak optimal selama ini. Dana publik lewat dana reboisasi sawit dan tambang dipungut, tetapi tidak jelas penggunaannya. Lingkungan rusak setelah tambang ditutup tapi tidak ada reboisasi terlihat. Terlihat di Sumatra khususnya Bangka, Kalimantan dan Sulawesi.
Pemerintah sebaiknya membatalkan pungutan perumahan, setelah pungutan pariwisata yang dikeluhkan turis domestik maupun mancanegara. Tapera hanya menambah buruk indeks kemiskinan dan rapor buruk pemerintahan Joko Widodo.