Resensi buku sebagai Catatan Peradaban dan Kebangsaan
Buya Syafi’i Ma’arif Sang Guru Bangsa
Eddy Junaidi (Yayasan Kalimasadha Nusantara)
Buku tentang Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif; Cahaya Keteladanan Umat dan Bangsa adalah bunga rampai perspektif banyak tokoh. Buku sebanyak 379 halaman menggambarkan ketokohan Buya dalam kancah nasional, dan sebagai cendikiawan Islam dunia.
Buku bunga rampai seringkali terjebak menuliskan hal yang sama karena
testimoni dari penulis, sehingga sering terjadi pengulangan oleh beberapa tokoh
tentang Buya Syafi’i Ma’arif. Nyaris tidak ada yang terlewat dari pemikiran, sikap, dan tindakan cendikiawan Islam ini, yang menjadi teladan umat dalam sudut pandang seorang Buya yang humanis dan egaliter.
Tidak berlebihan jika Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif dikategorikan sebagai salah satu
Guru Bangsa. Beliau pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah periode
1998–2005, menggantikan sejawatnya Prof. Amien Rais. Sejak lahir beliau sudah
Muhammadiyah. Beliau menyadari bahwa seorang cendikiawan cenderung
sering disalah pahami pemikiran, sikap, dan tindakannya. Setiap cendikiawan
besar cenderung cara berpikirnya meloncat ke depan. Sejatinya orientasi mereka pada sistem nilai peradaban.
Basis pemikirannya Islam, walau untuk tingkat Doktoral beliau menamatkan di
Universitas Chicago bersama dengan sahabatnya, Amien Rais dan Nurcholis
Madjid (Cak Nur). Trio pemikir dan tokoh penggerak Islam Indonesia ini, adalah
cendikiawan Islam terdepan dalam modernisasi pemikiran perspektif Islam. Cak Nur membangun pengajian modern dan Perguruan Tinggi (Universitas
Paramadina). Amien Rais sebagai tokoh reformasi 1998 dan pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), kehidupannya pasca reformasi sangat politis, dan
menjadi Ketua MPR pada tahun 1999. Buya Syafi’i setelah menjadi Ketua Umum
Muhammadiyah konsisten dalam politik kebangsaan, dengan mendirikan Ma’arif Institute.
Pada Mei 1998, Amien Rais sebagai tokoh terdepan Reformasi akan
berdemonstrasi besar-besaran di Monas, dan akan mengerahkan 1 juta pendukung, setelah Gedung MPR/DPR diduduki oleh mahasiswa. ABRI (TNI) memberi ultimatum bahwa jika hal itu terjadi, akan ditindak secara tegas. Malam harinya Amien Rais dan Buya Syafi’i Ma’arif, serta berapa tokoh lainnya berkumpul di Kantor Pusat Muhammadiyah. Di sana Amien Rais diingatkan oleh para sahabat terutama Buya Syafi’i Ma’arif, agar membatalkan melakukan demonstrasi di Monas, karena berisiko konflik berdarah. Amien Rais akhirnya mengurungkan niatnya, dan peristiwa berdarah pun urung terjadi.
Sistem budaya dan peradaban menjadi nilai yang sering diusung oleh Buya Syafi’i
Ma’arif, khususnya Pancasila. Untuk itu dia terpilih menjadi salah satu Penasehat
di BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) bersama Megawati Soekarnoputri.
Pancasila menjadi falsafah bagi dirinya sehingga beliau merupakan tokoh yang
menjunjung tinggi toleransi beragama dan ukhuwah umat seperti rekannya Gus
Dur (Abdurrahman Wahid) dan KH. Hasyim Muzadi (NU). Baginya pluralisme
melekat dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Berkat pemikiran tentang kebangsaan dan peradaban, pemerintah Filipina
memberi anugerah; Ramon Magsaysay Award 2008 kepada beliau. Sebagai
tokoh pluralisme Buya keluar dari area, hanya sebagai tokoh Muhammadiyah
saja, tapi menjadi tokoh bangsa semua umat. Sebagai trio Chicago mereka murid
dari Profesor Fazlur Rahman Guru Besar Studi Islam Universitas Chicago yang
dikenal dengan ajaran ‘Membumikan Islam’, sebagai agama yang “Rahmatan Lil‘Alamin”. Pendalaman teks dan konteks menua di basis cara berpikir Buya sebagai pimpinan umat Islam.
Harmoni hidup bagi Buya berazaskan keadilan. Keadilan tidak cukup hanya
dalam pikiran, Pancasila dan Islam satu kesatuan dalam satu tarikan nafas.
Buya Syafi’i Ma’arif adalah salah satu tokoh yang tidak silau dengan gemerlap
dunia. Beliau sering ditawari jabatan tapi dengan halus ditolaknya. Sebagai tokoh
Islam, beliau sudah tingkat dunia, pernah menjadi President of World Conference of Religions for Peace (WCRP). Beliau ingin menjadi muslim sejati, maka lebih senang dipanggil Buya (sebutan Ustad bagi orang Minang). Sudah lebih dari 2 tahun beliau berpulang kepada Sang Khalik, tetapi jejak pemikirannya masih terasa.
Eddy Junaidi (Yayasan Kalimasadha Nusantara)