Prabowo Akan Kirim TNI ke Palestina
(Mengingatkan Kita Pada Heroisme Soekarno)
Oleh: Eddy Junaidi
(Yayasan Kalimasadha Nusantara)
Pernyataan Prabowo Subianto, menyejukkan dan mendirikan bulu roma jika terusik kondisi warga Palestina yang dibantai. Terasa Bung Karno lahir kembali
atas heroisme dari dunia ketiga pasca Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.
Terukir dalam sejarah dunia bahwa Konferensi Asia Afrika memunculkan
Gerakan Non Blok yang menjadi inspirasi banyak negara merdeka saat itu.
Perilaku Israel sudah keterlaluan. Apakah kita termasuk yang terusik dan merasa
prihatin, serta menghujat keras pembantaian Israel di Gaza?
Israel Yahudi (elit global) sebagai oligarki global
Jika dilihat dari sejarah berjayanya ras Yahudi, bermula ketika Amerika Serkat
(AS) bangkrut secara ekonomi pada awal abad 19. Adalah trio Yahudi; Rockefeller
(raja minyak), Rothschild (industri; perdagangan senjata), dan JP Morgan
(keuangan dan perbankan) bersatu mendirikan bank sentral (The Fed – Federal Reserve System) sebagai bank sentral AS, dan memulai sistem perbankan dan moneter dunia. Melalui konsep ini berdirilah berbagai bank sentral di Eropa dan banyak negara di dunia. Pengaruhnya di AS menjadikan oligarki AS. Nyaris tidak ada Presiden AS tanpa endorsement dari pengaruh oligarki ini. Ambisi kekuasaannya meluas ke skala dunia dengan inisiatif mendirikan United Nations (PBB).
Implikasi bisnis mereka lengkapi organ bisnis, dengan alasan untuk stabilitas
moneter dunia, mereka mendirikan IMF (International Monetary Fund/Dana
Moneter Internasional) dan World Bank (Bank Dunia), sesungguhnya adalah
untuk mengendalikan sistem keuangan dan perbankan dunia, khususnya untuk
negara berkembang. Namun negara-negara pasien IMF dan WB relatif tidak ada yang sejahtera tetapi justru terjebak utang (debt trap), termasuk Indonesia dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) 1998 (reformasi). Jelas trio elit global ini ingin seluruh negara dunia masuk ke sistem kapitalisme.
Cina sebagai negara Komunis pun maju setelah mengadopsi, dan masuk ke
sistem pasar bebas. Namun Cina menggunakan dua sistem Kapitalisme dan Komunis. Secara ekonomi kapitalis, tetapi secara politik komunis. Ekonomi
dikendalikan secara politik, negara tetap dominan. Dalam 15 tahun Cina menjadi
Nomor 1 dalam perdagangan dunia.
Kembali kepada trio elit global, keluarga Rockefeller menguasai Timur Tengah;
Indonesia (Caltex) pada 1970-an (kita mempunyai cadangan minyak No.2 setelah Arab Saudi); Venezuela tidak lepas dari cengkeraman korporasi Rockefeller.
JP Morgan mengendalikan bank besar di AS dan negara-negara Eropa, serta dunia. Rothschild menjadi raksasa industri konglomerasi. Walau tidak pernah tercatat sebagai orang terkaya dunia, karena sahamnya tidak lagi atas nama keluarga. Kekayaan Bill Gates, Warren Buffett, dan Elon Musk (Tesla) tidak ada apa-apanya. Begitulah oligarki yang harus menjalankan bisnis ala kartel.
Jadi AS yang menjadi “kiblat” demokrasi dunia adalah “omong kosong”.
Kapitalisme adalah implikasi dan anak kandung demokrasi. Demokrasi adalah
“alat” bagi AS untuk menguasai negara-negara dunia. AS demokratis untuk warganya, tetapi tidak demokratis (dzolim) terhadap warga dunia, khususnya negara Islam. Jadi terjawab, kenapa AS selalu dukung Israel, karena merekalah pemegang saham kekayaan AS.
Prabowo Subianto juga harus menghadapi Oligarki Domestik
Oligarki di Indonesia hanya satu etnis juga, tapi etnis Cina. Kekuasaan oligarki
mencapai puncaknya pada 10 tahun terakhir ini, ketika berhasil menjadikan Joko Widodo sebagai Presiden (boneka). Tangan dan cengkeramannya memperoleh peluang ketika kita mengadopsi demokrasi liberal (one man one vote) yang membuahkan demokrasi prosedural, yang mencerabut kedaulatan rakyat. Modal (uang) menjadi segala-galanya, sehingga pemilik modal menjadi ‘bohir’. Tidak ada makan siang yang gratis, yang mempunyai bohir harus balas budi ketika menjabat. Singkatnya, demokrasi yang transaksional berekses oligarki menguasai parpol (DPR/Legislatif) dan pemerintah. Berikutnya tentu TNI/Polri dan penegak hukum (Yudikatif). Lengkap sudah penguasaan infrastruktur politik. Seterusnya instrumen kebijakan, lahirlah Undang-Undang dan regulasi yang
semuanya merupakan “karpet merah” untuk investor. Rakyat makin tercerabut
akses ekonominya, terbukti dengan melorotnya kinerja UMKM pada 10 tahun
terakhir.
Apakah Prabowo Subianto serius memberantas korupsi, menegakkan aturan dan penegakkan hukum, serta masuk kembali pada ekonomi kerakyatan berbasis pasal 33 UUD 1945. Keseriusan dalam hal ini kita harus bersabar pasca Oktober 2024.
Semua gebrakan pasti mendapat tentangan oligarki. Mulai dari DPR, kita lihat parpol besar yang belum bergabung ke pemerintahan Prabowo Subianto. Saat
ini pasti PDI Perjuangan dirayu dan diprovokasi untuk menjadi oposisi agar
Prabowo Subianto ada pengimbang. Ada kekhawatiran oligarki tentang rasa
Nasionalisme Prabowo Subianto yang kental. Se-pragmatis apa pun dia ketika
Pilpres untuk menang, tapi dasar sikap nasionalismenya oligarki paham, maka
tidak terpilih sejak 2009–2019.
Sikap pragmatisme pasca 2019 bisa dipahami walau bagi pendukungnya (Islam) dianggap khianat ketika Prabowo Subianto bergabung ke pemerintahan Joko Widodo. Intrik politik Indonesia tercermin dari sejarah kekuasaan Mataram yang penuh intrik.
Jika PDI Perjuangan bergabung ke Prabowo Subianto, selesai oligarki dan semua rencananya untuk konsolidasi akselerasi pertumbuhan ekonomi nyaris tidak ada gangguan, seperti kemauannya. Pengendalian TNI/Polri tentu hal mudah
baginya karena bagi TNI dia adalah salah satu “hero”.Jika legislatif dan aparat keamanan dalam kendali penuhnya tentu perlu pendisiplinan aparat hukum untuk penegakan hukum dan moral aparat yang
dekadensi.
Prabowo Subianto perlu Kebijakan Ekonomi yang Inklusif
Ketimpangan ekonomi saat ini antara pribumi dan non-pribumi hanya bisa
diatasi dengan kebijakan berpihak, dimana peran negara kembali dominan
dalam mengendalikan stabilitas ekonomi-pangan (Bulog), subsidi dan perhatian pada sektor pertanian dan industri olahan pangan, serta perhatian khusus (insentif) untuk UMKM dan Koperasi. Jiwa korporatif yang mematikan semangat koperasi yang berubah wujud menjadi BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) adalah biang keladi hancurnya koperasi dan UMKM, serta ekonomi desa. Kebijakan ekonomi dengan skema khusus seperti program “Benteng” yang dibuat oleh ayahanda Soemitro Djojohadikoesoemo (1951), yang diadopsi oleh Mahathir Mohamad (Malaysia tahun 1970-an/The Malay Dilemma) adalah
program yang berhasil mengatasi ketimpangan ekonomi di negaranya.
Kebetulan sama-sama antar Non-Pribumi (Cina) dan Pribumi (Melayu).
Prabowo Subianto jangan khawatir jika dikecam SARA dan tidak adil. Apakah
sekarang adil secara ekonomi? Keyakinan dan ditunjang rasa nasionalisme adalah “ada” seluruh rakyat Indonesia. Adalah sangat tidak adil jika 1% etnis Cina
sama kekayaannya dengan 55% rakyat Indonesia. Apakah adil jika uang BLBI
sebanyak Rp 670 triliun yang sebagian besar dinikmati etnis Cina tetapi dibayar
oleh rakyat Indonesia? Apakah adil ada satu taipan yang menguasai jutaan
hektar hutan Indonesia? Hampir semua yang melakukan kejahatan korupsi
diatas Rp 1 triliun adalah etnis Cina. Aneh jika korupsi yang domainnya “aparat
penguasa”, tetapi nilai utamanya diperoleh para taipan juga.
Kita tunggu kiprah Prabowo Subianto setelah resmi mejadi Presiden Republik
Indonesia secara dejure. Saat ini setidaknya pantas kita mengharap asa, karena Prabowo Subianto memberi sinyal bahwa IKN (Ibu Kota Nusantara) menjadi
proyek mangkrak. Prabowo Subianto tidak mendukung kenaikan UKT (Uang
Kuliah Tunggal) mahasiswa, menentang revisi Undang-Undang Penyiaran
tentang Pelarangan Jurnalistik Investigasi, dan terakhir Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang merupakan akal-akal Joko Widodo yang juga bisa dipersepsikan “jebakan Batman” (blunder) buat Prabowo Subianto. Kita tunggu!!