Otonomi Khusus Jawa Barat, Mengapa Tidak?!
Oleh Imam Wahyudi (iW)
TATAR Pasundan (Tanah Sunda -pen) menjadi provinsi dengan status Otonomi Khusus (Otsus) Menuju kemandirian, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Mungkinkah? Mengapa tidak?!
Coretan Rizal Fadilah yang ingin mengusik kepemimpinan daerah masa depan. Utamanya Jawa Barat. Tak semata Pilkada yang sebatas beradu figur kandidat. Sebuah pemikiran serbalintas yang perlu bedah telaah.
Dalam hal Tatar Sunda, sejumlah literatur menyebutkan sebagai daerah geobudaya di bagian barat Pulau Jawa. Di daerah itu, budaya Sunda dikembangkan (oleh Suku Sunda). Kisah Kerajaan Salakanagara (130-M) sebagai awal mula Suku Sunda hingga kemajuannya, dengan raja pertama Dewawarman I. Kerajaan tertua di nusantara.
Sejumlah kerajaan hadir meliputi daerah Tatar Sunda. Antara lain Bogor, Sumedang, Subang, Galuh (Ciamis) hingga Pandeglang. Kerajaan Pajajaran dengan raja pertama Prabu Siliwangi. Dikenal sebagai masa penuh perdamaian dan kemakmuran. Prabu Siliwangi juga memimpin Kerajaan Sunda dan Galuh. Periode Kerajaan Sunda-Galuh inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai masa Kerajaan Pajajaran.
Raja-raja Sunda yang memerintah di Pakuan Pajajaran (Bogor -pen): Sri Baduga Maharaja, Surawisesa, Ratu Dewata, Ratu Sakti, Ratu Nilakendra dan Raga Mulya (Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang). Itu serbalintas, tak hendak berlanjut rinci.
Jawa Barat (dan Banten) larut dalam posisi penyangga ibukota Jakarta. Sebelum 04 Oktober 2000, Banten menjadi bagian Jawa Barat. Dengan rentang sejarah kerajaan Sunda. Pemisahan menjadi provinsi tersendiri atasnama percepatan kesejahteraan kawasan.
Berlanjut sebagai daerah penyangga ibukota. Terkesan mandeg, tak berkesudahan. Penyangga dalam aspek apa? Tak berkelanjutan jawabnya. Semata kewilayahan. Hanya itu. Seharusnya saling menyangga. Tak semata penyangga ibukota Jakarta.
Pendekatan penyangga yang faktual lebih pada pengembangan kota satelit di lingkar luar Jakarta. Berimplikasi pada tercecernya kawasan timur Jawa Barat. Alih-alih pertumbuhan ekonomi kawasan yang kian hari kadung pas-pasan. Tak cukup geliat, bahkan cenderung tertinggal. Bahkan dongkrak pembangunan infrastruktur bandara Kertajati dan jalan tol Cisumdawu, pun faktual terbilang gagal. Tak setara ingin instan.
Daerah penyangga, hendaknya bersifat menyeluruh Jawa Barat. Dengan begitu, kiranya bisa meramu pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh pula. Jawaban pada kesempatan pertama adalah menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi dengan status Otonomi Khusus.
Mungkin saja tak cukup populer, bila hanya dibandingkan dengan Pilgub 2024. Hanya ditempatkan semata ornamen yang selanjutnya cuma “numpang lewat”. Kontestasi pilkada tak lagi menarik dengan semata pencitraan figur. Bahkan dengan slogan berkemajuan dan sejenisnya. Lantas rakyat pemilih terseret dan tersesat pada hanya pilihan figur.
Sejarah hendaknya tak semata tapak langkah. Perlu pemahaman lebih jauh dan dalam. Ya, tak semudah membalikkan telapak tangan atau tak semudah mengatakan. Sepakat dan tak sepakat, haruslah ada yang digulirkan. Tak melulu pada pilihan kepala daerah dengan segala puja-puji. Pesan kemajuan substantif apa yang bisa dicapai Jawa Barat kali ini?!***
– jurnalis senior di bandung