Membaca Sejarah Tersembunyi Lewat Biografi  Politik M Jusuf

Oleh Hendrajit

Biografi Jenderal M Jusuf karya wartawan senior Atmadji sudah terbit sejak tahun 2006. Dua tahun setelah beliau wafat. Saya baru kali ini tergugah membacanya saat bertandang ke rumah bang El Akbar melihat lihat stok buku-buku lawasnya.

Sedianya saya cuma mau ambil buku pesanan saya biografi Jenderal Ibnu Sutowo. Entah kenapa saat melihat buku M Jusuf terbersit di benak siapa tahu dalam kisah hidupnya entah disadari oleh Pak Jusuf dan mas Atmadji atau tidak, ada sejarah tersembunyi di sana.

Benar saja. Saya melihat ada satu mata rantai yang sambung menyambung jadi satu. Hubungan Pak Jusuf dengan Jendral Yani sudah terbangun sejak pertengahan 1950an sama sama sekolah di Amerika.

Hubungan Pak Jusuf dengan Jenderal Nasution yang awalnya cukup akrab dan menyenangkan, namun tiba-tiba merenggang lantaran rasa kecewa Pak Jusup karena Pak Nas tidak membelanya saat ditegur Bung Karno.

Jigjaw puzzle makin menarik ketika Pak Jusuf jadi panglima kodam Hasanuddin pada 1956 harus menumpas pemberontakan Andi Selle dan Kahar Muzakar, meminta bantuan pasukan Siliwangi terutama pasukan Kujang. Sehingga Pak Jusuf cukup akrab dengan beberapa personil Siliwangi yang kelak jadi jenderal juga seperti Yogi S Memet, Solihin GP dan Sintong Panjaitan.

Lantas bagaimana hubungannya dengan Pak Harto. Konstruksi cerita yang dirajut Atmadji menarik dan menggugah saya buat menggali lebih dalam. Fakta bahwa Pak Jusuf lebih akrab dengan Jendral Yani di pucuk pimpinan Angkatan Darat, menyebabkan hubungannya dengan Pak Harto berjarak dan formil.

Namun pada 11 Maret 1966 yang menjadi momentum lahirnya Surat Perintah 11 Maret, Jusuf dan Suharto ibarat dua aliran sungai yang tiba tiba mesti menyatu menuju muara. Seperti sejarah sudah mencatat, pemicu keluarnya Supersemar ketika jenderal Jusuf, Jenderal Basuki Rahmat dan Jenderal Amir Machmud, menghadap Bung Karno di Istana Bogor.

Buat saya sebuah info baru bahwa yang mengusulkan ide konsep pelimpahan wewenang sebagai dasar penyusunan yang kelak populer dengan sebutan Supersemar itu, berasal dari Pak Jusuf. Pertimbangannya, kalau cuma mengamanatkan menurut beliau kurang kuat.

Atas fakta ini, saya mau ulas sekilas. Boleh jadi Pak Jusuf yang sejatinya perwira yang lurus, baik itikad namun cerdas dan lihai berdiplomasi dan bersiasat, merasa bung Karno enggan membubarkan PKI.

Dengan begitu perlu orang lain yang atas nama presiden diberi kewenangan membubarkan PKI. Fakta sejarah membuktikan bahwa Bung Karno setuju memberi wewenang Pak Harto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu. Dan Pak Harto sebagai Panglima Angkatan Darat menerjemahkan itu dengan membubarkan PKI.

Sampai sini urusan selesai. Namun dinamika politik nasional makin memanas ketika ada desakan agar diadakan Sidang Istimewa MPRS pada 1967. Yang mana ada dua agenda. Meminta pertanggungjawaban Bung Karno atas  Peristiwa G-30 S 1965.

Yang menarik minat saya tentu saja bukan pada hasil Sidang Istimewa  karena toh yang baca sejarah sudah pada  tahu semua. Pak Harto sebagai pengemban Supersemar  ditetapkan sebagai pejabat presiden dan bung Karno dilengserkan.

Namun dalam dinamika yang kemudian terjadi perang terselubung antara faksi Pak Harto dan faksi Pak Nas ternyata makin menajam. Bahkan setahun kemudian pada 1968, faksi Pak Nas di MPRS meminta Pak Harto mempertanggungjawabkan tugasnya selaku pejabat presiden dan jadwal pemilu.

Di sini, dalam perang terselubung antara Pak Harto dan Pak Nas, Pak Yusuf ada di pihak Pak Harto. Menurut penuturan Pak Jusuf, titik temu dengan Pak Harto saat itu karena dipersatukan oleh Sejarah. Lantaran saling membutuhkan. Begitu salah satu atau keduanya tak lagi saling membutuhkan, hubungan kembali bersifat resmi.

Itu versi Pak Jusuf. Tapi saya dalam menyimak episode ini sontak teringat kembali merenggangnya hubungan Pak Jusuf dengan pak Nas tempo hari. Mungkinkah kecenderungan Pak Jusuf memihak Pak Harto juga dipicu rasa kecewa dan tak respek Yusuf terhadap Nas?

Yang buat saya paling mengundang tanda tanya adalah hubungan pak Jusuf dengan BJ Habibie yang meski sama sama satu daerah tapi seperti penuturan pak Jusuf, kemudian merasa patah arang. Sayangnya, pak Jusuf enggan bercerita apa yang memicu akhirnya patah arang. Pak Jusuf cuma bilang hal itu terjadi saat sebagai Ketua  BPK bertemu Habibie di Jerman.

Bagi pembaca umumnya mungkin nggak penting. Namun seperti juga halnya dalam konflik memanas antara pak Harto dan pak Nas, pak Jusuf ada di piihak pak Harto, halnya dengan Habibie yang tidak harmonis, saya kira ikut mewarnai konfigurasi politik 1998 meski secara tidak langsung lantaran pak Jusuf sudah di luar pentas politik.

Nah di sini sampailah kita pada pola hubungan pak Jusuf dengan Jusuf kalla. Juga satu kampung halaman. Malah bukan akrab lagi. Pak JK sudah dianggap asisten khusus untuk menangani masalah masalah krusial yang mana Pak Jusuf enggan menyuruh asisten-asisten resminya.

Kalau saya boleh tafsirkan, pak JK dipercaya pak Jusuf menangani tugas-tugas yang bersifat rahasia.

Latarbelakang seperti ini sangat penting membaca konfigurasi politik apalagi formasi politik pada 1998 dan sesudahnya. Apalagi Habibie dan JK saat itu dan sesudahnya pun, selalu dalam posisi berseberangan. Sehingga meski serumpun dan sama sama di Golkar, punya klik politiknya sendiri sendiri.

Selebihnya teman teman bisa berkesimpulan sendiri.

Adapun di lingkar inti para perwira asli Bugis di ring satu  bung Karno juga menarik. Wakil Komandan Cakrabirawa dan Detasemen Kawal Presiden, adalah Maulwi Saelan. Adik perempuan Maulwi Saelan, Elly Saelan, kelak jadi istri pak Jusuf.

Adapun saat Jusuf masih mayor dan menjadi komandan batalyon di Tentara Teritorium Sulawesi  Selatan, mayor Jusuf berada di bawah komando letkol Andi Mattalata, sahabat karib Maulwi Saelan.

Bisa dimengerti kalau pak Harto segan namun sekaligus juga  khawatir dengan pak Jusuf. Bukan saja lantaran bisa ada matahari kembar. Sosok anomali Yusuf yang kerap tindakannya tak terduga, pastilah dirasa sebagai ancaman. Meskipun tidak kasatmata.

Terbukti saat masih menhankam-pangab, pak Yusuf diminta datang ke Cendana dalam pertemuan  lengkap para pejabat tinggi tiga angkatan dan polri. Plus Kopkamtib Sudomo dan BAKIN. Untuk diminta klarifikasi Jusuf apa benar mau menyaingi pak Harto. Pak Harto pun hadir saat itu.

Begitu pertanyaan itu meluncur dari mulut Sudomo, di luar dugaan, pak Jusuf tiba tiba gebrak meja. “Bohong. Itu bohong semua.”

Semua terdiam kaget. Pak Harto langsung menutup pertemuan. Dan mengantar Pak Jusuf  ke luar ruangan. Sejak itu hubungan Jusuf-Harto mendingin. Bukan cuma sebatas formal saja.

Cukup dulu untuk saat ini.