Manuver Politik SMI Berdampak Gejolak USD
Oleh Eddy Junaidi
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang menolak kenaikan target rasio penerimaan pajak hingga 23 persen terhadap PDB, telah berdampak pada gejolak USD. “Kita tidak secara spesifik (menargetkan) apalagi sampai angka 23 persen. Jadi kami mohon di-drop saja karena saya takut menimbulkan suatu signaling yang salah,” kata SMI dalam rapat kerja bersama Komisi XI.
Ditambahkan SMI, bahwa dalam 5 tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, rasio utang akan bertambah 50 persen. Seketika, JP Morgan melalui lembaga ratingnya menurunkan peringkat utang Indonesia menjadi underweight (memburuk dari saham rata-rata dan berisiko). Apa motivasi SMI merilis hal tersebut dengan hanya melihat visi dan misi Prabowo Subianto sewaktu kampanye? Tanpa menjelaskan secara teknis latar belakangnya? Dengan begitu pasti investor salah tafsir. Padahal rasio pajak kita tahun ini hanya 10,12 persen. Sementara yang akan digenjot adalah Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan meninjau kembali realisasi bagi hasil dalam perjanjian tambang dan migas. Vietnam juga sudah merealisasikan 21 persen rasio pajaknya. Negara- negara maju banyak yang di atas 40 persen aman saja jika fundamental ekonominya sudah mapan. Tanpa penjelasan dan argumentasi dari tim ekonomi Prabowo Subianto, jelas pernyataan SMI adalah bumerang dan menjadi manuver politik.
Fundamental Ekonomi Kita Lemah di Era Joko Widodo
Kita harus mengakui bahwa fundamental ekonomi 10 tahun ini sangat lemah sehingga ketika ada faktor pemicu sedikit terjadi gejolak. Kita memahami gejolak USD dan IHSG di BEJ minggu lalu menembus angka psikologis dari Rp 16.200-an menjadi Rp 16.400-an. Padahal asumsi APBN 2024 hanya hanya Rp 15.000.
Apakah pernyataan SMI tentang cicilan utang dari Rp 500 triliun (2024) menjadi Rp 800 triliun di tahun 2025 naik 50 persen. Beberapa hari sebelumnya SMI mengatakan bahwa tim Prabowo Subianto meminta asumsi rasio pajak 23 persen dari PDB (dari 10,12 persen) di tahun 2024, sungguh tidak masuk akal. Hari berikutnya kita tahu JP Morgan menyatakan rating utang Indonesia underweight. Jelas, langsung terjadi gejolak USD dan berapa nilai valas lainnya. Kita memahami bahwa fundamental kita melemah. Tapi kita juga memahami bahwa SMI bermasalah dengan Prabowo Subianto, dan dipastikan Menteri Keuangan pada kabinet Prabowo Subianto bukanlah SMI. Maka pantas saja kita curiga terhadap perilaku SMI karena tim transisi Prabowo Subianto yang dipimpin Sufmi Dasco Ahmad, sudah bertemu dengan SMI untuk mengatur cut off pada Oktober 2024.
Pengelolaan Keuangan Negara yang Ugal-ugalan.
Semua memahami bahwa pengelolaan keuangan negara oleh SMI di era Joko Widodo sangat ugal-ugalan, dan bukan tidak mungkin sering melanggar konstitusi. Jumlah utang yang dirilis hampir mencapai Rp 9.000
triliun. Utang luar negeri mayoritas lewat SUN dan obligasi, padahal utang pemerintah jika memasukan utang dan kewajiban domestik telah mencapai Rp 4.500 triliun.
Sementara utang BUMN telah mencapai Rp 8.350 triliun. Utang Pertamina saja sudah Rp 800 triliun, utang PLN Rp 500 triliun, belum lagi utang BUMN PUPR (Waskita Karya, Hutama Karya, PP dan Jasa Marga) yang dibantah Jokowi sebagai tanggung jawab-nya karena menurut UU PT menjadi tanggung jawab direksi perseroan. Padahal kita tahu, Asuransi Jiwasraya, Merpati, PTDI yang pailit tetap menjadi tanggung jawab negara sesuai aktuaris dalam akutansi sebagai contiquency debt.
Jadi, total utang dan kewajiban negara yang menjadi tanggung jawab Joko Widodo mencapai lebih dari Rp 21.000 triliun, hampir 10 kali utang era Presiden SBY yang hanya sebesar Rp 2.500 triliun saja. Padahal separuh jalan Menteri Keuangannya juga SMI, di mana pada periode kedua digantikan oleh Chatib Basri.
Sampai dengan tahun 2024 cicilan bunga utang baru mencapai Rp 500 triliun, kok bisa SMI merilis bahwa Prabowo Subianto pada APBN ini akan mencicil utang Rp 800 triliun sebulan? Kreativitas fiskal apa yang menjadi senjatanya? Apa benar menaikan rasio pajak 23 persen dan rasio utang 50 persen seperti yang disampaikan SMI benar adanya? Kok rasanya Prabowo Subianto tidak sekonyol itu dan perlu adanya klarifikasi. Karena dengan begitu artinya sama saja Joko Widodo dan Prabowo Subianto “bunuh diri” dan ujung-ujungnya yang hancur adalah perekonomian negara.
Prabowo Subianto seharusnya mengoreksi atau mengklarifikasi bahwa rasio pajak 23 persen dan peningkatan rasio utang di 5 tahun pemerintahannya ke depan mencapai 50 persen adalah benar kebijakannya atau bukan?
Apakah hal ini berasal dari program makan siang gratis? Kok dipaksakan? Padahal tidak ada kreativitas fiskal yang make sense secara bisnis. Lalu apa bedanya dengan infrastruktur yang dipaksakan Joko Widodo? Kalau ingin menyiapkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai target Indonesia maju dari 8-9 persen per tahun hingga 11 persen, apa tidak sebaiknya menyiapkan program untuk mengantisipasi bonus demografi? Di tahun 2030 dunia akan mengalami bonus demografi yang berdampak pada ancaman food and energy security. Selain itu, karena energi fosil akan menipis di tahun tersebut, maka harus beralih ke energi baru dan terbarukan. Jika pilihan otomotif dunia pada baterai berbasis nikel tentu kita akan kaya raya. Namun sayangnya tambang ini (nikel) sekarang dimonopoli Cina. Dunia pun mengantisipasi untuk electric car dari baterai non nikel (Eropa), dan Jepang (Toyota) sementara memilih hidrogen.
Program solusi ekonomi Prabowo Subianto menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh investor. Menjadi dilema baginya untuk meninggalkan oligarki (taipan/investor) karena jika kembali pada ekonomi berbasis Pasal 33 UUD 1945 sudah pasti oligarki tidak happy dan akan terjadi capital exit.
Mengenai rasio pajak yang ingin diperbesar Prabowo Subianto adalah Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP), kita tahu bahwa pembagian hasil tambang selama ini tidak fair karena mengutamakan kepentingan investor. Selama priode itu akan dikoreksi sehingga angka 23 persen menjadi rasional. Kemampuan membayar utang menjadi lebih terbuka karena ruang fiskal melebar. Namun memang berisiko ditentang oligarki. Jadi, manuver SMI sejalan dengan kepentingan oligarki dan bertentangan dengan kepentingan bangsa dan negara. Prabowo Subianto harus lebih berhati-hati dalam proses transisi keuangan negara dengan SMI.***