Menyesuaikan Hukum dengan Kebutuhan 

OLEH JAYA SUPRANA

JAYA SUPRANA, Tokoh Bangsa & Budayawan/jaksat

PADA masa Orba, sahabat merangkap mahaguru hukum saya, almarhum Prof. DR, Satjipto Rahardjo sempat menyadarkan bahwa hukum dibuat sebagai upaya mencegah jangan sampai manusia berbuat kejahatan.

Berdasar kesadaran tersebut, maka muncul logika kesimpulan bahwa pada hakikatnya hukum selalu tertinggal minimal satu langkah di belakang kenyataan. Kejahatan terjadi terlebih dahulu baru hukum menyusul dibuat demi menanggulangi kejahatan di masa depan.

Sayang, sejarah peradaban membuktikan bahwa niscaya muncul aneka ragam kejahatan jenis baru. Misal genosida yang terstruktur, sistematis, dan masif dilakukan Nazi Jerman terhadap kaum Yahudi.

Atau Kesultanan Ottoman terhadap warga Armenia atau Pengawal Merah Revolusi Kebudayaan Mao terhadap rakyat Republik Rakyat China sendiri atau penggusuran masyarakat adat dan rakyat miskin atas nama pembangunan infrastruktur. Maka secara tertatih-tatih sambil terseok-seok sehingga tertinggal di belakang kenyataan para legislator sibuk menyusun dan hukum-hukum baru demi menanggulangi para kejahatan-kejahatan jenis baru.

Namun tampaknya peribahasa tak lari gunung dikejar tidak berlaku bagi kejahatan yang dikejar hukum. Ternyata para pelanggar hukum justru tetap lebih gesit kencang berlari di depan hukum yang pontang-panting berusaha mengejar mereka. Legislator diajak kerja sama oleh para calon pelanggar hukum dalam menyusun dan membentuk hukum baru yang mampu membebaskan para pelanggar hukum dari ancaman hukuman berdasar hukum yang telah lentur direkayasa sehingga sesuai kebutuhan.

Hukum justru dipola sesuai kebutuhan untuk melindungi para pelaku kejahatan melakukan kejahatan terhadap manusia maupun lingkungan hidup.

Sapu-jagad Omnibus Law memungkinkan para investor potensial menanamkan modal secara mantap di persada Nusantara tanpa khawatir melanggar hukum. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang sebenarnya berwenang yudikatif tak segan berperan legislatif dalam menyesuaikan hukum dengan kebutuhan penanam modal mengamankan penanaman modal mereka.

Memprihatinkan bahwa ajaran Prof Satjipto Rahardjo pada masa Orde Baru bahwa hukum tertinggal oleh kenyataan pada hakikatnya kini pada masa Orde Reformasi sudah bersifat anakronistik alias ketinggalan zaman.

Ternyata di masa kini hukum malah alih-alih berjalan di belakang justru berlenggang-kangkung di depan kenyataan. Di masa kini hukum bisa fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan para pemesan yang membutuhkan modifikasi hukum.

Mohon dimaafkan demi menghindari suasana kurang senonoh, naskah sederhana ini tidak seperti biasa saya tutup dengan pekik merdeka, namun sunyi sepi belaka.***