JAKARTASATU.COM– 2nd Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF 2024), mengangkat tema “Menguatkan Sinergi Kajian dan Aktivisme Feminisme Indonesia di Tengah Politik Oligarki Nasional dan Fasisme Global”.

Menurut Farid Muttaqin, selaku Conference Chair KCIF 2024, mengungkap alasan penentuan tema di atas.

“empertimbangkan situasi sosial-politik, baik lokal, nasional, hingga global yang tidak selalu mendukung, bahkan bertentangan dengan, agenda-agenda feminisme,” ungkapnya, dalam keterangan yanh diterima media, Senin (24/6/2024).

“Krisis kemanusiaan di Palestina, Ukraina, Rohingya, Uighur, Afghanistan, dengan korban terbanyak kelompok yang direntankan, seperti perempuan, anak, people with disability (warga disabilitas), minoritas gender dan seksual, dan kelas sosial-ekonomi bawah, menegaskan agenda feminisme untuk keadilan dan HAM yang tak pernah usai,” pengungkapan selanjutnya.

Di sisi lain, “politik feminisme” kontemporer menyebabkan gerakan feminisme bukan saja semakin memiliki banyak rupa, tapi memunculkan kontestasi dan konflik atas nama ideologi, sejarah, dan kepentingan politik, di kalangan feminisme sendiri. Akibatnya, untuk tragedi kemanusiaan paling tragis seperti Palestina, feminisme belum menampakkan satu visi dan misi yang solid, untuk melawan kolonialisme, rasisme, dan genosida.

“Kita menyaksikan dan mengalami menguatnya oligarki nasional dan fasisme global yang menjadi ancaman kontemporer bagi kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan,” katanya.

Perkembangan politik tersebut menurut dia tidak mengarah pada tercapainya atau menguatnya tujuan yang diinginkan gerakan feminisme, seperti keadilan gender, kebebasan mengekspresikan identitas gender dan mengartikulasikan seksualitas, dan memperjuangkan ide-ide feminisme.

Agenda-agenda “tradisional” feminisme, seperti hak asasi manusia, keadilan gender, inklusivitas pada keragaman gender, keragaman seksual, dan queer, keadilan reproduksi, keadilan iklim, jika tidak mendapatkan resistansi dan tantangan, maka kata dia tidak menjadi agenda populer bahkan sekadar menjadi subjek yang “nyaman” untuk disuarakan tanpa khawatir dibully (mengalami perundungan).

“Konservatisme agama dan budaya, ekstremisme politik, hinga depolitisasi digital politics menjadi sumber-sumber baru fenomena sosial-politik yang kontraproduktif dengan agenda feminisme,” katanya lagi.

Dalam politik global, Farid menambahkan, atas nama gerakan anti-Woke, kelompok politik ekstrem Sayap Kanan (Right-Wing) dan Kanan Jauh (Far-Right) melakukan propaganda anti-transgender dan bahkan anti-gender.

Pada Pemilu 2024 lalu, HAM, keadilan gender, keadilan reproduksi, keadilan iklim, dan agenda feminis lainnya contohnya, sama sekali tidak menjadi faktor krusial dan determinan untuk memengaruhi proses pemilu agar menjadi proyek membangun ulang negara-bangsa yang lebih menghormati HAM dan memiliki political will kuat pada agenda-agenda feminisme.

“Sebaliknya, HAM dan agenda-agenda feminisme justru menjadi faktor marginal bahkan ‘menyusutkan’ elektabilitas,” jelasnya.

“Kami berkeinginan mengajak kita semua untuk berkontribusi membangun dunia yang lebih waras (sane), yang menekankan pada empati dan solidaritas,” katanya lagi.

Menurut dia, politik elitisme berbasis oligarki dan fasisme menjadi ancaman gerakan feminisme dalam memperjuangkan keadilan di segala aspek kehidupan.

“Ketika para oligarkh, fasis, dan elit-feodal yang anti-feminisme go low dengan berbagai aksi diskriminatif, opresif, ofensif, rasis, seksis, homofobik, transfobik, queerfobik, misoginis, kita berusaha terus untuk go high dengan menebarkan empati, toleransi, inklusivitas, solidaritas, dan anti-kekerasan,” kata Farid Muttaqin.

2nd Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF 2024) merupakan penyelenggaraan konferensi feminis Indonesia yang kedua kalinya, setelah KCIF pertama pada tahun 2023.

KCIF adalah ruang pertemuan pemikiran tentang feminisme yang diadakan setiap tahunnya untuk bertukar pengetahuan hasil riset dan kajian berbagai tema feminisme Indonesia, berbagi pengalaman advokasi, juga refleksi personal. (RIS)