Panas Dingin Demokrasi dan Presiden
JAKARTASATU.COM— Akademi Jakarta gelar diskusi publik betajuk “Kursi Panas Dingin” (Melacak Sejarah Kepemimpinan Antara Kenyataan, Tradisi, dan Mitos), menghadirkan narasumber:
Dr A Setyo Wibowo, SJ (dosen STF Driyarkara), Prof Susi Dwi Harjanti, SH, LLM, PhD – (Guru Besar FH Unpad), diskusi dimoderatori Prof Dr. Sulistyowati Irianto (Guru Besar Antropologi Hukum UI) di Taman Ismail Marzuki, Senin 24/6/2024.
Memudarnya demokrasi menuju legalisme otokratis
Dr. Setyo Wibowo dalam paparannya mengutip Moises Naim dalam bukunya The Revenge of Power, dikemukakannya bahwa saat ini demokrasi cenderung menuju legalisme otokratis. Sejak 1990-an di negara-negara demokratis muncul figur-figur populis yang “aneh-aneh.” Puncaknya di tahun 2010 ke atas, demokrasi makin melemah.
Lanjut Setyo, menurut Moises Naim, hal ini terjadi di negara-negara yang secara tradisional demokratis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Italia. Maupun di negara-negara “muda dalam demokrasi” yang disebutkannya antara lain Indonesia, India, Filipina, Hongaria, Brazil. Kekuasaan yang intinya ingin mengekalkan dirinya sendiri saat ini meruyak memukuli dan melemahkan demokrasi.
Dikemukakan Setyo, pada situasi demokrasi yang di seluruh dunia semakin memburuk ini terjadi yang disebut sebagai 3 P yaitu Polarisasi, Populisme, dan Pasca kebenaran (post truth). Polarisasi merupakan pemecah belahan masyarakat secara hitam putih dan tanpa kompromi. Orang bisa saling benci, saling hujat, hanya karena beda pilihan politik. Doktrin inti populisme adalah pembelahan antara kami (us) versus mereka (them) yaitu musuh yang harus dihabisi. Sedang pasca kebenaran menggambarkan situasi dimana kebenaran tidak relevan lagi. Di era pasca kebenaran orang memeluk kebenaran berdasarkan preferensi emosional, dan bukan pertimbangan rasional.
“Supaya 3P ini mulus berjalan di dalam demokrasi, mengingat demokrasi adalah rezim yang didasarkan pada hukum, maka 3P ini tampak pada gejala legalisme otokratis. Di banyak negara demokratis, para presiden menggunakan ragam taktik untuk membuat hukum menjadi sekedar alat untuk melayani kepentingannya sendiri,” kata Setyo.
Lanjutnya, menurut Moises Nairn, sejak tahun 2000-an sekitar 1/3 presiden dari negara-negara demokrasi ingin memperpanjang kekuasaannya. Kekuasaan menampilkan wajah lamanya: kehendak untuk berkuasa untuk selama-lamanya. Berdasarkan legalisme otokratis, dua pilar pokok demokrasi yaitu, pemilu secara regular dan konstitusi ber-HAM tetap berjalan, tapi berjalan dengan “aneh”.
Menurut Setyo Wibowo, apa yang dialami di Indonesia mirip dengan penyakit yang menggerogoti demokrasi di seluruh dunia yang dikemukakan Moises Nairn. Selepas pemilu 2024, banyak orang merasa bahwa hukum di Indonesia gampang diubah-ubah sesuai dengan kebutuhan politik.
“Revisi UU KPK yang akhirnya melumpuhkan KPK serta meperbesar kekuasaan Presiden menjadi gamblang manakala banyak pimpinan parpol “tidak berdaya” dan harus mengikuti kehendak Presiden. Kemudian munculnya putusan MK no. 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Wapres terpilih saat ini,” jelasnya.
“Populisme melenyapkan diskusi politik yang rasional digantikan dengan argumen-argumen sederhana seperti pokoknya percaya saja sama niat baik. Kemudian pasca kebenaran dimana terjadi narasi pembalikan terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi di masa lalu,” pungkas Setyo.
Perlunya Kenegarawanan Presiden
Dr. Susi Dwi Harjanti dalam ulasannya menegaskan bahwa negarawan dapat berbeda dengan pemimpin. Mengutip Jeffrey K Tulis dikemukakan bahwa kenegarawanan merupakan bentuk ideal seorang pejabat konstitusi (statesmanship is an idealized form of a constitutional officer).
“Kenegarawanan versus kepemimpinan tidak dapat dibedakan dengan melakukan kategorisasi terhadap serangkaian keterampilan, taktik, atau teknik politik yang digunakan. Melainkan seseorang dapat dikatakan sebagai negarawan atau bukan dengan menilai penjelasan tentang tujuan dan akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukannya,” kata Susi.
Kemudian lanjut Susi, umumnya standar yang digunakan berangkat dari teori tentang keadilan dan kebaikan bersama (common good). Masih mengutip dari Jeffrey K. Tulis, seorang demagog dapat saja menjadi pemimpin, namun sudah pasti bukan seorang negarawan. Para demagog kadang didefinisikan sebagai pemimpin yang memanipulasi keinginan masyarakat dibandingkan memenuhi tuntutan nalar dan pertimbangan kolektif.
Pada pembahasannya Susi Dwi Harjanti memfokuskan pada jabatan Presiden mengingat pentingnya fungsi Presiden yang mewujud dalam tugas, wewenang, hak serta kewajiban dalam sistem presidensial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam sistem presidensial, Presiden memiliki kedudukan yang sangat kuat.
“Perubahan kewenangan Presiden sebagai akibat perubahan UUD 1945 diargumentasikan lebih membatasi presiden. Namum dalam kenyataannya, Presiden justru menjadi lebih kuat, terutama terasa 10 tahun belakangan. Salah satu penyebab utama adalah tidak berjalannya mekanisme checks and balances yang dijalankan oleh lembaga negara lainnya,” papar Susi.
“DPR seakan-akan kembali menjadi “rubber stamp” dalam proses pembentukan UU, terutama jika inisiatif berasal dari Pemerintah karena acapkali mengikuti kehendak Pemerintah. UU Cipta Kerja adalah salah satu contoh paling nyata,” tandasnya.
Guru Besar Fakultas Hukum Unpad ini mengutip Bung Hatta disampaikan, Indonesia Merdeka haruslah suatu Republik, yang bersendikan pemerintahan rakyat ……… dan pemerintahan ini senantiasa takluk pada kemauan rakyat. Ditandaskannya, imaji Hatta tentang Indonesia merdeka adalah republikanisme sebagai identitas politik baru yang menjadi penanda bagi segenap orang yang menghendaki sistem yang egaliter.
Dikemukakan Dr. Susi Dwi Harjanti menuju satu abad Indonesia Merdeka, pertanyaan paling mendasar adalah kesungguhan bernegara yang bertumpu pada kesadaran berbangsa yang ditunjukkan oleh para penyelenggara negara dan pemerintah, dan para elit politik. Dan di antara penyelenggara negara dan pemerintahan, Presiden merupakan pelaku utama yang memegang peran penting. Ditegaskan pula tentang perlunya UU Kepresidenan.
Pada diskusi berlangsung pembahasan saling melengkapi. Setya Wibowo mengemukakan mengenai analisis apa yang terjadi. Sedang Susi Dwi Harjanti menekankan mengenai apa yang seharusnya sebagai bentuk yang ideal. (Yoss)