Omnivor
Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis
Celaka betul kesedihan kalau dilimpahkan ke tubuh sendiri, bukan begitu kawan. Alamak, janganlah melengos kawan. Debat tak bertuan takkan selesai. Bagaimana mungkin teror politik bisa jadi boneka tikus di kaki lima. Mungkin sebab trapesium berbanding mirang berkacamata kuda di balik adigang adigung.
Apa ada rujukan keseimbangan tetap pemikiran makhkuk hidup. Apakah makhluk hidup berketetapan sama sebanding sepadan. Bisa jadi demikian, bisa jadi tidak. Kata berulang bersifat jamak repetitif membosankan-menggelikan sekaligus terbelakang. Hah! Oportunis berhidung bola merah dadu.
Ketentuan setara terpuruk malih rupa situs gambar karikatural kritis abong-abong sontoloyo; tampil mirip juragan parkiran politis. Jargon arogan manis baru nongol kalau disuruh menabuh genderang perang. Hihihi, peperangan alai pistol air komedi intrik pelintiran. Berkedok kelinci berhati pengerat.
Teror hipokrit protagonis berbikini-bertelur teoritis ala filosofis miris, semakin geblek, tak akal pula mengaku diri komedi bangsawan. Padahal komedi rendahan plagiat pula. Bersikeras peranannya amat penting di kancah asosial politis hahaha serupa makan rujak cabe secobek. Huhh! Hahh! Pedas meneror diri sendiri.”
Nah, karma bagi hipokrit oportunis, berani mengaku sosok peran pengganti dalam satu perhelatan amat penting. Wajah berdebu serupa politik abal-abal tak mampu membaca partitur musik seremonial. Merayakan ketidak mampuan komunikasi antar warna sebab di kanvaskan pesona lebay.
Nilai seolah-olah mahal senantiasa mendongak ke atas enggan menunduk anonim pemerhati strata asosial. Dus! Distabilitas sosial antar lembaga bucin imun obat sakit kepala. Lagi-lagi pengulangan bentuk dari ide menjadi non-ide alias malas mikir disebabkan tak ada cara menyerong sana-sini dalam gelap.
Waduh! Tralala sorak-sorai hura! Paham atau tidak bodok amat. Bahasa visualnya memang begitu, tak mampu mencari alternatif lebih keren. Sekalipun demi proses penyadaran agar musim kepinding kala sinonim perompak versus bramacorah mengguncang tata kelola perilaku terbalik muncul penggandaan absurd.
Kalau konteks cerita kongkalikong manipulatif memang mboseni. Sebab artikel kritik polusi patgulipat berani menjitak tuyul koplo. Hebat amat kompanyon antar mereka.; Emangnye negeri milik moyang lu coy. Hihi tuyul icu buaya darat berkelamin ganda. Sebagai oknum siluman malih wujud di area terang-temarang tak punya muka.
Hidup ini tak sekadar bilangan angka, bertambah nol perseribu kali lipat hua la la loncat-loncat ada kucing kencing dalam karung-bersura anjing berperilaku serigala. Makhluk dalam karung bergulingan. Suara menghardik meninju menendang memaki seraya meludahi. All in one perilaku buruk tumpah di situ.
Perbuatan tak peduli pada suap ha hi hu penyebab menyandang gelar suit-suit seiring pernyataan kultural edukatif bergulir dari menara tertinggi hasil mencuri logam tanah adat. Tak serupa menara gading, akan tetapi tidak terbuat dari gading gajah mati; dibunuh satu persatu setara keji-hal itu perbuatan bangsat sontoloyo.
***
Jakartasatu, Juli 02, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.