Kasus Dugaan Rudapaksa Thaher Hanubun Memasuki Babak Baru
JAKARTASATU.COM— Indonesia darurat kekerasan seksual mulai dari rakyat biasa, tokoh masyarakat, tokoh agama bahkan pejabat publik banyak yang tersandung masalah ini.
Seperti halnya kasus yang pernah menjerat salah satu kepala daerah di Maluku tepatnya Bupati Maluku Tenggara Muhamad Thaher Hanubun (MTH)Yang dilaporkan oleh seorang wanita yang belakangan diketahui adalah karyawan cafe milik Thaher Hanubun yang berlokasi di kota Ambon.
Kasus yang ditangani Polda Maluku ini seperti diskenariokan pihak-pihak tertentu untuk membebaskan Hanubun dari jeratan hukum.
“Persoalannya ada pada mekanisme penerapan keadilan restoratif yang mana telah diatur dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang disusul dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021 tentang Penangangan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang selalu menjadi pedoman aparat kepolisian, ini persoalannya,” ungkap Adhy Fadhly Aktivis Hak Asasi Manusia dan anti-korupsi asal Maluku, kepada wartawan, Rabu (10/7/2024)
Dia melanjutkan, festorative justice seharusnya ada pengecualian khususnya terhadap tindak pidana kekerasan seksual terlebih dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)sebab pada prinsipnya tidak ada secara tegas mengatur istilah perdamaian antara korban dan pelaku.
“Artinya mekanisme yang diatur dalam Perkapolri 6/2019 dan 8/2021 itu bertolak belakang dan tidak berlandaskan pada apa yang diatur dalam ketentuan KUHAP,” tandas Direktur Executive Voxpol Network Indonesia.
Dalam kasus dugaan pelecehan yang diduga dilakukan oleh mantan Bupati Maluku Tenggara, Adhy berpendapat aparat kepolisian polda Maluku harus tetap memproses dugaan kasus tersebut walaupun saat ini beredar informasi bahwa Hanubun telah menikahi korbannya. Namun kasus pidananya harus tetap berjalan sebab penyelesaian perdata tidak menggugurkan asas pidananya,atau bisa dikatakan itu merupakan pertanggung jawaban moral yang bersangkutan terhadap korban belum pertanggungjawaban secara hukum.
Lebih lanjut Adhy Fadhly mengatakan, saat ini banyak interpretasi negatif publik yang mempertanyakan komitmen dan konsistensi aparat hukum dalam mengimplementasikan amanat Undang Undang Tindak Pidana kekerasan seksual (TPKS) yang secara tegas menyatakan bahwa kasus kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan jelas diataur dalam UU no 12 tahun 2021 pada pasal 23.
“Entah Hanubun bersikap cepat dan kuat ataukah para penyidik yang merupakan anak buah Jenderal Sigit Prabowo yang bersikap lambat dan lemah,” cetus adhy.
Dia menyayangkan tidak ditetapkannya tersangka dalam kasus ini padahal menurut dia, saat ada laporan polisi dibuat dan ada penyerahan bukti rekaman dari telepon seluler milik korban terkait percakapan pelaku, maka seharusnya sudah dilakukan penetapan tersangka bahkan informasi yang beredar Hanubun tidak pernah dipanggil untuk diperiksa terkait kasus rudapksa ini.
Menurut aktivis HAM dan Anti-korupsi ini, Jika penyidik kesulitan dalam aspek pelecehan fisik dan mengabaikan keterangan korban maka bukti rekaman suara yang diserahkan korban sudah cukup untuk menjerat pelaku. Dalam UU TPKS Pasal 4 ayat (1) ada 9 jenis tindak pidana pelecehan seksual. Salah satunya adalah pelecehan seksual non-fisik yang diatur pada Pasal 5 UU TPKS. Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh,keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya,dipidana karena pelecehan seksual nonfisik dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Menurutnya, pihak kepolisian Polda Maluku yang menangani masalah ini arusnya melakukan proses penyelidikan lanjutan terkait informasi mahar Rp1 miliar tersebut,apakah ada unsur paksaan juga apakah pernikahan tersebut terdaftar secara sah di mata hukum, semua itu penting guna menjamin hak-hak korban ke depannya.
“Namun Ada informasi yang kami dapat kasus rudapksa tersebut segera memasuki babak baru,” kata Adhy Fadhly
Saat disinggung soal langkah Thaher Hanubun untuk kembali maju sebagai calon bupati Maluku Tenggara pada kontestasi pilkada November mendatang, Adhy mengatakan itu hak setiap warga negara yang dijamin dalam konstitusi. Jadi tidak ada persoalan ,kembali kepada etika dan prinsip partai politik dalam memberikan rekomendasi. Sebab akan menjadi bencana politik bagi partai politik yang merekomendasikan figur yang terindikasi terlibat dalam perbuatan perbuatan melawan hukum.
“Tentunya semua partai politik akan memberikan kepercayaan terhadap figur-figur yang memang layak dan bermoral serta tidak memiliki catatan buruk dalam perjalanan politiknya, misalnya tersangkut kasus korupsi, tindakan asusila dan lain sebagainya, sebab itu akan menjadi bahan pertimbangan mendasar selain faktor elektabilitas dalam mengeluarkan surat rekomendasi,” ungkapnya.
Akhirnya dia berpandangam bahwa kasus dugaan Rudapksa Thaher Hanubun harus tetap berjalan,jika para aparat penegak hukum tunduk dan patuh terhadap hukum itu sendiri,sebagaimana pada Amanat UU TPKS nomor 12 tahun 2021.
“Segala kasus tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan,” pungkas Pegiat HAM asal Maluku ini. (Yoss)