Jokowi Harus Bertangungjawab Kinerjanya Pada 16 Agustus 2024. Kesempatan Terakhir Legislatif Amanah Sebagai Wakil Rakyat
Damai Hari Lubis (Aktivis Hukum)
Pendahuluan
Sesuai format demokrasi dalam sistem metodelogi ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 atau diganti menjadi UUD. 2002 terkait sistem pertanggungjawaban Presiden, baik secara substansial maupun secara prosedural.
Secara substansial perubahan atas sistem pertanggungjawaban Presiden didasarkan atas pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945, berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Namun, apabila kita berbicara pemerintahan secara umum, maka pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada pundak Presiden saja, karena penyelenggaraan pemerintahan, walau bukan suatu hal yang mutlak di tangan Presiden, oleh sebab semua tindakan Presiden merupakan pelaksanaan dari kesepakatan antar DPR dan Presiden, seperti apa yang dinyatakan oleh konstitusi, namun siapa yang berkewajiban dalam praktik dan pemenuhan perihal subtansial pelaksanaan undang-undang tersebut pada 16 Agustus 2024 kepada MPR RI ? JAWABANNYA ADALAH, NISCAYA PRESIDEN !
Lalu tehnis prosedural TERKAIT BEBAN PENGAWASANNYA oleh MPR.RI. Tepatkah waktunya pada tanggal 16 Agustus 2024 Jawabnya TENTU TEPAT, JIKA TIDAK MAU KAPAN LAGI ? mengingat dari sisi konstitusi agenda konsitusi terkait pertangungjawaban presiden dalam lima tahun sekali tersebut terdapat historis hukum detik-detik bakal menjelang habis masa waktu jabatan presiden.
Serta sidang layaknya sidang umum karena dihadiri oleh semua para wakil rakyat MPR RI yang terdiri dari seluruh anggota DPR RI dan termasuk DPD RI. Ini perspektif sesuai logika berpikir yang sehat tentunya, terlebih laporan memuat pertanggungjawaban dari seorang presiden terhadap segala tindakannya yang menyentuh semua sisi kehidupan bangsa ini serta banyak kandungan geliat perilaku dan kebijakan dengan aroma kental “cacat hukum”.
Namun, tentang pertanggungjawaban hukum apakah bakal langsung ditegakkan atau dilaksanakan jika ditemukan perilaku politik dan pelanggaran hukum serta pertanggungjawaban Politik ekonomi sosial dan budaya, pertanggungjawaban yang dihantarkan dihadapan “sidang umum” paripurna MPR RI-DPR RI dan DPD RI.
Maka proses inilah yang disebut factor prosedural. Tentu hal DILUAR KAJIAN HUKUM dari materi narasi yang simple (artikel) ini. Karena DPR RI tentu jika dari sisi kajian hukum dengan makna materiele warhead (Kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran), isi parlemen harus turut mempertanggungjawabkannya !
Namun analisa hukum merupakan bagian dari ilmu pengetahuan, sedangkan absolut ilmu pengetahuan tak boleh bohong, karena embrionya akan menjadi CACAT HISTORIS, sehingga faktor objektifitas mesti teratas, maka disampaikan ada faktor pembelaannya bagi DPR RI.
Tentunya atas dasar proporsional dan objektivitas dimaksud, Penulis akan berusaha tidak sekedar men-judge (subjektivitas). Bahwa, sistim-sistim hukum yang lahir oleh mekanisme politik adalah mengikat secara legalitas/rechtmatigheid atau berkepastian hukum (ius konstitum), termasuk dari sisi fiksi hukum. Selebihnya kita bangsa ini mayoritas yang tahu dan melihat serta merasakannya, secara kolektif dan kolegial kepada pola tingkah laku anggota parlemen, namun diam atau dalam batasan sekedar aktif, tidak pro aktif, jauh dari progresif, sehingga turut serta dalam pembiaran (disobedience secara subtanstif), kita rakyat hanya pandai berteriak vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), serta sok tahu tentang filosofi hukum, “salus populi supreme lex esto” atau hukum yang tertinggi adalah keadilan bagi rakyatnya, faktanya tidak ingin menggunakan “kedaulatan yang ada ditangan rakyat”, emoh gunakan TURUN RAME- RAME yang halal demi hukum, karena di semua undang-undang ada amanah tentang Peran Serta Masyarakat dan UU. Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tanpa batasan jumlah, sesuai payung hukum UU. RI. Nomor 9 Tahun 1998.
Mayoritas masyarakat hanya semodel pejabat negara yang koor, ” PANCA SILA HARGA MATI.” Atau pinjam istilah Menag Yakut, sekedar “mirip kumpulan anjing yang menggonggong serentak”, …namun faktanya tak menggigit. Selain selebihnya melalu banyak yang praktiknya memusuhi politik identitas, identitas yang lahir dari cikal bakal Sila Pertama Panca Sila dan pastinya Panca Sila, nomenklatur yang tak kenal atau menolak rasisme sesuai amanah sumpah pemuda yang mengaku, toleran kepada semua agama, maupun golongan dan suku, serta adat, dan adab budaya dari manapun negeri atau bangsa asalnya.
Pembahasan
Sangsi subtansial moralitas hukum (moral tanpa hukum adalah sia-sia atau hukum tanpa moral adalah bukan hukum) terhadap pemerintahan atau eksekutif (Presiden eksekutif tertinggi), dapat kita lihat dalam Pasal 17 tentang kedudukan menteri-menteri sebagai pembantu ( badan pekerja untuk Presiden) yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam bidang legislasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat (1), dimana Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan atau kepentingan yang bersifat memaksa.
Selanjutnya dalam bidang yudikatif terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) tentang kewenangan Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA dan memberikan abolisi dan amnesty dengan pertimbangan DPR. Dam deponir sebuah perkara oleh Jaksa Agung, yang tentunya berkonsultasi dengan presiden.
Sehingga hubungan hukumnya terhadap sektor tindak pidana jika ada kekeliruan atau delik dalam pelaksanannya kinerja (tupoksi), tentunya personal-personal pelaku delik/pelaku tindak pidana yang mesti mempertanggungjawabkan hukumnya. Namun jika delik tersebut ternyata ada kausalitas dengan perintah presiden atau faktor pembiaran yang tidak terlepas dari asas fiksi hukum ( presumptio iures de iur). Tentunya masti disepakati perspektif hukumnya Jokowi merupakan subjek hukum yang masuk kriteria fiksi hukum, turut serta atau delneming. Selain Jokowi seorang presiden yang sehat fisik maupun jiwanya ? seorang yang bukan imun, sehingga ekual terhadap sanski hukum, jika merujuk pada teori asas tentang PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM, vide Jo. hukum pasal 44 (orang tidak waras atau cacat jiwa, aidiot, embisil atau debil) Jo. Pasal 45 KUHP. (Anak balita, orang pikun) Atau apakah Jokowi dalam membuat kekeliruan oleh sebab overmacht atau noodwer (48 JO. 49 KUHP/ UU. RI Nomor 1 Tahun 1946. Karena UU. KUHP Nomor 1 Tahun 2023 belum berlaku), dan tidak daluwarsa dari sudut kajian hukum Jo. Pasal 78 KUHP. (Jokowi belum pernah dilaporkan secara pidana sampai saat ini).
Sehingga oleh karenanya sesuai pendapat Jimly Asshiddiqie, eks ketua MK, “hanya gertak sambal mana cukup waktunya”, pada saat adanya perspektif hukum dari kalangan masyarakat hukum tentang wacana hak angket dan ber-kebetulan mendapat sambutan dari kalangan politis, diantaranya dari politisi fraksi PDIP diantaranya Masinton Pasaribu, yang akan “mensponsori” menggalang kekuatan politik tentang hak angket pra pemilu pilpres 2024 yang akan digulirkan oleh DPR RI yang isu politiknya akan menjurus kepada proses impeachment oleh sebab kenyataan yang diawali statemen inkonstitusional, “pengakuan Jokowi akan cawe-cawe” kepada salah seorang pasangan Pilpres 2024 Jo. Putusan MKMK (Kasus Ketua MK. Anwar Usman Ipar Jokowi) dan tentunya bisa saja secara politik hak angket akan dikaitkan dengan dusta-dusta ( du contra`t Social Jo. JJ. Roessau ) dan diskresi politik Jokowi baik politik ekonomi dan politik hukum dan pelanggaran hukum vide UUD. 45 Pasal 7B Jo. TAP. MPR. RI Nomor 6 Tahun 2001 Jo. UU. MD.3. Walau menyimpang dari konsitusi karena impeachment atau pemakzulan presiden itu tehnisnya adalah urusan legislatif ? Sedangkan dalam sistim hukum NRI. Versi UUD. 2002 Jo. UUD.1945 tidak ada satu pun dinyatakan tentang batasan pema’zulan, namun pendapat Jimly yang nampak keberatan hak angket menjadi pema’zulan Jokowi, tidak menggunakan asas legalitas, melainkan pakai perspektif pribadi atau berdasarkan estimasi tempo/ durasi perasaan belaka.
Amat disesali eks pendapat hukum Ketua Mahkamah Konstitusi/ MK. yang bersedia duduk sebagai anggota legislatif, juga sebagai anggota yudikatif (DPD RI dan Anggota Dewan Kehormatan MK). Lucu, jatidiri prof. pakar hukum yang semestinya role model dalam bidangnya !?
Walau nyatanya, asumsi Jimly benar, hanya ajang GERTAK SAMBAL, entah alasan apa PDIP kehilangan taring, yang ditunggu publik untuk serius menjadi trigger hak angket di DPR RI dan mengingat hubungan Tokoh Bangsa Ketua Umum PDIP. versus Jokowi petugas partai yang terang benderang nekat ‘coup d`tat internal”, khianati Megawati Sang Tokoh Bangsa, Ketua Umum PDIP dan seluruh kader PDIP. Pengkhianatan yang Ia, Jokowi mulai pada tahun 2023. Soal apakah Megawati dan Hasto Kristiyanto atas nama partai, sudah definitive memecat Jokowi selaku anggota atau petugas partai, hal ini tentu urusan serta hak internal partai, hal yang tidak dapat di intervensi oleh eksternal, dan pastinya bukan materi narsum dalam artikel a quo yang spesial membahas tentang pertangungjawaban pelaksanaan tupoksi Jokowi sebagai presiden RI ke 7 ( tujuh ) pada 16 Agustus 2024 dihadapan MPR RI.
Adapun pola pertanggungjawaban presiden pada tanggal 16 agustus 2024 jika dimaknai dengan pertanggung jawaban substantif Jo. Pasal 7A tersebut sudah tepat, namun secara prosedur sampai dengan kebenaran materilnya, tentu jika harus mengikuti sistim hukum yang mesti melalui DPR RI lalu ke MK. Kemudian putusan MK kembali lagi ke DPR RI baru kemudian dilimpahkan ke MPR. Selain waktu yang mepet, atau durasi politik yang tak masuk akal (sesuai argumentasi Prof. Jimly yang tanpa asas legalitas), namun bukan diartikan penulis ambigu atau tidak konsisten terkait asal legalitas yang mesti menjadi rujukan terhadap makna dan pemahaman prinsip negara hukum, yang segala sesuatunya tindakan pejabat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) mesti berpola pikir, berkata dan berbuat sesuai adab dan moral terlebih tentunya seorang atau para pakar hukum, wajib mengacu pada dalil atau asas hukum. Karena tidak hukum harus dipatuhi sebelum ada norma yang mengaturnya (makna asas legalitas). Namun disebabkan oleh kecendrungan dari gejala sikap perilaku kepemimpinan ( leadership behavior attitude ) seorang sosok Jokowi, hal yang nyata ada dan terjadi sesuai banyak temuan publik, terkait peran serta masyarakat Jo. UU. Pers Jo.profesi jurnalis, Jo. UU. Keterbukaan informasi publik ( hukum yang mengatur antara publik dan pejabat publik) dan kelak jika terbukti (due process of law), hal atas hak yang mesti didahului setelah melewati ranah proses politik, atau setelah memasuki dan selesai berikut kesimpulan penting dari ruang besar di Gedung “Senayan Tanah Abang” ATAU kesimpulan atas temuan politik dihubungkan dengan hukumnya bakal berujung di meja hijau, selain menyentuh harkat dan martabat coreng moreng seluruh historis bangsa ini ke depan, namun sebuah pertanggungjawaban moral bukan terhadap individu seorang Joko Widodo Bin ? Namun termasuk beban moral masyarakat yang hidup saat ini (termasuk para tokoh bangsa dan tentunya para pemimpinnya) dimata anak dan cucu bangsa ini, mau pun negatif, karena bakal melahirkan faktor “bad legal history” dimata dunia internasional, seorang bertipikal atau karakter Jokowi kok bisa menjadi pemimpin bangsa besar ini, bagaimana prosesnya ? Hal yang mengherankan, muskil terjadi di jaman atau abad modern di negara Indonesia yang banyak orang pandai serta bernyali baja dan tangguh sesuai sejarah perjuangan bangsa hingga mengusir para kolonialis.
Pertanyaannya, adakah sistim politik ketatanegaraan yang salah yang kita gunakan ? Tentu ini butuh kajian dalam narasi dilain kesempatan.
Kembali terkait narasi hukum ini, hal ini pun jika MPR. RI sepakat dengan suara terbanyak dari anggota MPR yang hadir menyetujui menolak pertanggungjawaban hukum Jokowi, lalu dapat disimpulkan telah memenuhi hak dan hal impeachment terhadap Jokowi selaku Presiden sesuaI sistim konstitusi, akibat hasil temuan absolut catatan CACATAN hukum oleh MPR RI ( dan DPR RI-DPD RI ) yang konklusinya Jokowi melanggar konstitusi, dan memenuhi pasal 7A Jo. 7B. UUD. 1945 Jo. TAP MPR RI nomor 6 Tahun 2001. Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan temuan ini tidak mustahil bisa saja didapati (dengan seabreg-abreg data empirik) bukan apriori, pada tanggal sidang setahun sekali namun sidang (umum) MPR RI ini adalah terakhir menuju pelepasan Jokowi selaku presiden pada 20 Oktober 2024.
Sehingga eksistensi agenda dan materi sidang umum MPR RI 16 agustus 2024 bukan hal yang biasa-biasa saja. Perlu utamakan konsep atau metodelogi “ prudential principle “, karena mengingat karakter Jokowi yang siap sebelumnya menabrak UUD.45 demi “wacana” memperpanjang periode presiden RI. Sehingga dalam tenggang jelang kearah 20 Oktober 2024. Bangsa ini butuh kewaspadaan dari sisi hukum ketatanegaraan (asas legalitas ) bukan hanya subjektifitas juga dari sudut pandang karakteristik tentunya (sejarah kepribadian/ attitude leadership) seorang Jokowi sang Presiden RI ke- 7.
Justru momentum agenda 16 Agustus 2024 ideal dan berkesesuaian dengan NRI yang mengakuI didalam konstitusi dasar UUD. 1945 sebagai negara hukum/ rechtstaat bukan machstaat, namun realitasnya pola kepemimpinan dibawah seorang Jokowi, mirip otoritarian, karena nampak beberapa kebijakan politik, ekonomi terlebih di bidang pembangunan dan sektor penegakan hukum, sungguh transparansi kacau balau, dengan pola bad politics attitude (mirip oligarki). Contoh, beberapa individu yang “terpapar korupsi justru dijadikan menteri dan beberapa menteri bukan ahli di bidangnya (tidak profesional dan tidak proporsional)”. Sehingga gaya kepemimpinan ala suka-suka Jokowi mirip politik kekuasaan. Bentuk politik pembeda antara otoritarian dengan sistim presidential, yang sesuatunya setiap WNI siapapun juga, apapun jabatannya ekualitas atau sama dimata hukum, dikarenakan segala sesuatu ucapan tindakan atau perbuatan setiap orang semata bersandarkan rule of law. Serta harus sesuai proporsional, sehingga semua ketentuan dan penegakan hukum tidak overlapping. Termasuk regulasi yang sekedar cita-cita atau mudah- mudahan belaku (ius konstituendum) tidak digunakan seolah ius konstitum/ hukum yang harus belaku, juga dalam makna hukum dan praktek penerapan sanksi hukum, mesti due process of law, sanksi yang harus denda mesti berbayar dengan uang bukan mimikris menjadi sanksi penjara. Dan sanksi penjara pelanggaran, tidak boleh diatas tuntutan atau vonis terhadap koruptor ( extra ordinary crime).
Namun sebagai negara hukum yang cinta perdamaian, sebisanya atau idealnya negara ini melalui MPR. RI kelak mengingat waktu dan dampak dari seorang Jokowi yang “cenderung otoritarian” TIDAK PERLU MENGGUNAKAN ASAS ATAU TEORI HUKUM FORCE MEJEUR atau negara dalam keadaan darurat dari sisi pandang jika ada temuan hukum oleh anggota DPR RI saat pertanggung jawaban presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2024, hal apapun andai ada temuan hukum negative dimaksud terkait kebijakan politik khianat, makar terhadap negara maupun KKN oleh Jokowi dan kroni, melainkan CUKUP CATATAN HUKUM PENTING untuk bekal bakal rekomendasi Politik-Hukum-ekonomi, wajar jika menjadi tugas penegakan hukum penguasa sah pemerintahan setelah Jokowi ( Prabowo Subianto), karena yang ada semua para oknum pejabat tinggi, kans besar masih terpapar dan terikat benang merah dan sistim Jokowi .
Dan diskresi politik ekonomi dan hukum pola kepemimpinan Jokowi bisa jadi hal temuan negative yang cukup spektakuler dan ekstrim dari sisi kacamata politik dan hukum, dan bukan hal yang mustahil. Contoh diskresi program IKN dan anggaran IKN ratusan triliun, yang juga terkait HGB/ HGB 170 tahun sampai 190 tahun di IKN dapat dimiliki atau dikuasai oleh pihak asing/ China Komunis, melalui korporasi berikut tenaga kerja bangsa asing.
Politik ini bisa memicu kerugian perekonomian dan persaingan usaha antara pengusaha domestic/ daerah dan nasional, dan sudah menjadi bahasan umum publik, para tokoh aktivis pemerhati penegakan hukum tanah air, dan para akademisi lintas ilmu/ berbagai bidang, bahkan sudah ada beberapa narasi artikel para tokoh yang membandingkan atau menghubungkan historis sejarah masa lalu, tentang hasrat intervensi tentara mongol (Sekarang RRC), yang ingin menguasai Nusantara melalui Tanah Jawi (Singosari), namun seolah kebalikan saat ini tantara China/Mongol yang sengaja diundang, ini letak bedanya. Atau inikah latar belakang sarkastik keluar dari Rocky Gerung, “Jokowi Bajingan tolol’ ?
Berapa banyak generasi keturunan WNA yang bakal menguasai kekayaan tanah air lalu menjadi kekayaan negaranya. Selain utang negara akibat metodelogi Jokowi yang banyak dipertanyakan ? Melalui pengusaha asing dengan tenaga kerja alumni (wajib) militer ? Serta sensitifitas rahasia( ketahanan) negara, yang bakal dicuri PIHAK ASING China Komunis andai seluruh instalastor IKN. Dibaca “ibu kota negara” Digambar dan dikerjakan oleh pihak asing/ China atau negara apapun asalnya. Apa bedanya Jokowi dengan komprador. Jika ini maksud Rocky Gerung yang mengakibatkan dirinya dianiaya mentalnya (character assassination) termasuk secara psikologis Rocky ditekan melalui ranah hukum (litigasi) agar tak bisa bicara baik monolog maupun dialog terbuka maupun tertutup oleh sebuah pihak. Lalu mengundang simpati publik ( Kelompok TPUA/ Tim Pembela Ulama dan Aktivis,) yang kemudian mengajukan intervensi voeging, atau berpihak kepada Rocky saat hadapi gugatan dimaksud di PN. Jakarta Selatan, dan kebetulan salah seorang pengacara dari TPUA adalah penulis sendiri dan Advokat aktivis senior Prof. Eggi Sudjana. Dan gugatan penggugat dikalahkan oleh PN. Jakarta Selatan.
Diskresi politik–ekonomi-hukum yang ngawur dari seorang presiden Jokowi jiak dihubungkan dengan program IKN dan dengan segala diskresi yang merugikan perekonomian bangsa ini, agenda lainya yang nyata mangkrak, sebagaimana dinyatakan para pengamat dan para pakar, tentu bisa menjadi tuduhan jual negara (antek asing), sehingga bisa saja jika mau, menjadi alasan materi MPR RI menolak pertanggungjawaban moralitas (politik) Jokowi, bahkan di semua bidang (EKPOLHUKBUD), belum lagi pertanggungjawaban moral terkait tuduhan publik, “bahwa Jokowi menggunakan ijazah palsu berikut 100 lebih kebohongannya”. Hal hak dan kepemimpinan yang mesti dipertanggungjawabkan sesuai sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan berkesesuaian dengan FUNGI KEPASTIAN HUKUM/ Rechtmatigheid, MANFAAT HUKUM/ Doelmatigheid DAN KEADILAN/ Gerechtigheid pada sebuah negara yang berasaskan hukum, yang ketiga fungsi hukum juga menjadi tujuan teori bernegara (filosofi) seluruh negara internasional dan atau cita-cita setiap manusia di atas muka bumi.
Hal pertanggungjawaban moral politik ekonomi dan hukum ini amat serius bagi perilaku pemimpin eksekutif tertinggi di NKRI terhadap ratusan juta bangsa ini dihadapan para wakilnya (Legislative/ DPR RI MPR RI dan DPD RI) pada 16 Agustus 2024. Maka kapan lagi waktunya untuk legislatif melakukan hal-hal yang sebenarnya hal dan hak konstitusional, yang selama ini nampak bergeming, acuh terhadap suara rakyat, paling wakil rakyat dituntut untuk berbuat kebajikan, satu kali dalam 10 tahun, yang nice, kenangan manis yang baik benar dan jujur serta berkeadilan.
Lalu apa saran penulis sebagai yang memang tidak boleh sekedar asumsi atau kecurigaan, tanpa fakta bukti (subjektif), tentunya penulis menulis dengan menggunakan dan diback up data dan fakta peristiwa ( empiris) lalu tidak sekedar kritik penulis, juga memilki konsep masukan, yakni buat catatan penting sejarah atas pelanggaran hukum dan ekonomi dan bakal dampak perilaku pengelolaan negara yang dilakukan oleh Jokowi selaku penanggung jawab subtansial.
Kesimpulan/ Penutup dan Saran
WALAU PRINSIP HUKUM, BAHWA PENEGAKAN HUKUM TETAP BISA DILAKUKAN, artinya hukum tersebut harus dijamin / digaransi oleh konstitusi akan dan harus dapat ditegakkan kapan saja, dan berdasarkan teori mala in se, yang makna hukumnya setiap orang bersalah tentu tetap sampai kapan pun dinyatakan bersalah. Mengingat dan mempertimbangkan durasi waktunya dan karakteristik pemimpin yang punya kuasa berikut hak prerogative yang masih tersisa, dan agenda politik yang HARUS tetap dilakukan pelaksanaannya oleh sebab factor hasil pemilu pilpres yang telah berkekuatan tetap atau inkracht, keselamatan bangsa dan konstitusi itu sendiri, Jo. Acara pada 20 Oktober 2024 akan ada serah terima jabatan presiden RI sekaligus pelatikan Prabowo Subianto selaku Presiden RI.
Maka hasil pertanggungan jawaban Jokowi pada 16 Agustus 2024 sebaiknya oleh sebab begitu banyaknya catatan CACATAN politik, ekonomi dan sektor hukum, yang lahir dari seorang Jokowi dan nota bene, memang keharusan hukum berlaku equality before the law, dan mengingat sistim hukum, bahwa Jokowi masih memiliki kuku tajam prerogative, sehingga prudensial agar sikon tidak menjelma sesuai teori force mejeur (keadaan darurat) maka PENDAPAT POLITIK HUKUM PENULIS bisa jadi timbul hal hak prerogatif dari Sang Presiden (Jokowi) yang masih bersisa untuk terjadinya “MARTIAL LAW, DRRT SIPIl, melalui DEKRIT maupun melalui pola teori TRIUMVIRAT dengan sebelumnya adanya pengunduran diri dari presiden dan wapres (sepaket) atau cabinet diantaranya melakukan penggantian Menhan” ???
Catatan, jika MPR RI hasil sidang umumnya pada 16 Agustus 2024 dan penegakan hukumnya tidak sama dengan waktu sebelumnya, yakni dengan SIDANG UMUM MPR TAHUNAN YANG ECEK-ECEK atau SEREMONIAL yang kembali model tipu-tipu bangsa,jika masih ecek-ecek, fenomena sosiologi dan antropologi politik hukum yang menunjukkan sinyalemen kecendrungan sosial bangsa ini sudah serius mengalami degradasi moral yang mencapai titik nadir, sehingga membutuhkan reparasi mental sosial yang bersifat nasional, dengan cara revolusi sosial, karena sulit jika melalui evolusi sosial, terhadap produk kerusakan mental yang sudah mengakar (radikal), kausalitas revolusi mental yang dicanangkan Jokowi selama satu dekade.
Agar tidak kesusu, sejak saat ini para wakil rakyat, bijak jika minta masukan pada para tokoh masyarakat bangsa lintas ilmu pengetahuan dan lintas sara. Selain legislatif memang memiliki hak dan fungsi faktor sosial kontrol, dan kebiasaan Jokowi yang banyak tak elok dan tuduhan publik tentang “Jokowi menggunakan ijazah palsu“.
Namun hingga kini tuduhan publik tanpa kejelasan klarifikasi yang sesuai menurut hukum Jo. UU. Keterbukaan informasi public, dan tuduhan notoire feiten notorious, disertai cacian dan hinaan atas kebohongan janji Jokowi yang sangat banyak.
Maka selesainya proses/ prosedural sidang 5 tahunan Jo. Pasal 2 ayat (1) UUD. 1945 di ibukota negara Indonesia, Jakarta/ DKJ, Jo. Sidang 16 Agustus 2024 Jika didasari UUD. 1945, Pasal 2 ayat (3)” Suara Putusan MPR dengan suara terbanyak”, maka secara kasat mata dengan logika sehat dan perspektif hukum dengan segala perilaku politik dan ekonomi serta penegakan hukum yang Jokowi lakukan selama sekian tahun 5 tahun sampai satu dekade secara transparan, dan demi hal-hal yang telah diurai melalui narasi tersebut diatas, maka MPR selaku mandataris akan mendapat suara terbanyak menolak pertanggungjawaban Jokowi, tentu hasilnya buruk untuk Jokowi dan positif dari sisi pandang umumnya publik, namun waktu jeda sesuai hukum, andai MPR RI menolak demi mencegah eskalasi politik, dan agar tidak menimbulkan provokasi dan chaos, serta demi kondusifitas kehidupan bangsa ini agar tidak lengah dan tetap kuat dan bersatu.
Tentu masalah PR. hukum Jokowi yang sepertinya menumpuk dan dapat diselesaikan oleh para tokoh bangsa yang dipercaya masih lebih banyak mencintai NKRI. bukan segelintir oknum yang memiliki jiwa-jwa komprador.
Bakal penguasa baru Presiden Prabowo Subianto dan bakal para pendampingnya, mudah-mudahan presiden akan serius berkerja demi NKRI harga mati dengan wujud implementasi yang konstitusional, lalu melaksanakan PR. Penegakan hukum terhadap problematika eks pemimpin bangsa ini, dengan segala residu hasil perilakunya yang banyak harus dibenahi serta diluruskan, sesuai hasil “rekomendasi keputusan dari para wakil rakyat” terkait perihal pertanggungjawaban presiden Jokowi Jo. hasil sidang 16 Agustus 2024 (yang semoga keputusannya positif), sehingga proses hukum terhadap Jokowi akan due of process, terlebih sudah ada suara dari seorang tokoh besar bangsa ini, yang menyatakan akan bertamu dan bertemu kepada Prabowo untuk menuntut para dzolim kurun waktu antara 2014-2024 tepatnya kurun waktu yang bukan pada masa penguasa tertinggi dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Tentunya gejala suara sang tokoh besar ini akan menjadi tekanan politik kepada Presiden baru, namun tidak mengada-ada, melainkan permintaan yang rule of law dan tentu akan berbalas sportifitas dari para tokoh dan banyak aktivis bagi presiden RI ke- 8, dukungan yang luar biasa sinerji bagi kebutuhan persatuan, kekuatan bangsa dan Negara menuju masa depan.
Tangerang Selatan, Kamis, 11 Juli 2024
Damai Hari Lubis
Aktivis Hukum