Ketika di Antara Harapan
Oleh: Taufan S Chandranegara, praktisi seni, penulis.
Dia tidak ingin kerusakan dalam bentuk apapun di bumi. Apa sesungguhnya hal ihwal membuat tak bertemu kesepahaman tentang hidup bersama di planet bumi. Apa penyebab sesungguhnya ada batas memisahkan menjadi jurang tanwujud perdebatan tanpa akhir niskala di antara hak asasi humanis. Atas kehendak siapa.
Kehendak kebudayaan, kale. Apa iya. Ya kale, pola cara pandang ego berbeda tak menghendaki perdamaian semesta. Laiknya gemintang menjaga rembulan di bawah satu langit cuaca perubahan waktu untuk kehidupan semua makhluk telah tercipta tanpa kecuali. Dalam gelap selalu ada terang demikian pula sebaliknya.
Desah malam menuju fajar. Bertemu siang menuju sore kembali dini hari tak ada konflik kepentingan di sana. Tak ada orasi adendum politisasi mengharu biru, lantas bias keangkasa beterbangan informasi kehilangan inovasi sekadar menjadi polusi komunikasi atas nama syalala. Ahai!
Serupa tak mampu mewaspadai ember bocor, tumpahlah air merembes ke tanah seolah-olah menguap di telan udara. Aklamasi mengangkasa orasi anonim; air di serap tanah ketika hujan tak ingin kemarau. Wow! Bener nih hujan tak mau kemarau atau sebaliknya atau sebaliknya lagi atas kehendak aksara berpayung fantasi.
Lantas apa betul kemarau tak ingin hujan atau sebaliknya. Persepsi terkembang di bawah payung tujuan selamatlah informasi imitasi lewat frekuensi marak simpang siur membawa kabar; hujan ogah kemarau. Padahal keduanya unsur kehendak saling melengkapi perubahan cuaca bukan politik langit.
Kehidupan ekosistem keseimbangan para makhluk. Terus? Ya udah sih bisakan belajar jujur saling menjaga keseimbangan. Kalau langit bocor terlalu luas so pasti berakibat nonmaterial ke material, singkatnya geto kale ye, hiks.; Namun, mungkin kesepahaman tentang itu tak digunakan dikurun waktu bergulir.
Sibuk mengurus mazhab tak penting pembiaran kuda pacuan menuju etape tanpa garis finis. Loh! Balapan terus dong. Iya kale. Laiknya parodi film kartun tak lucu di ranah esensi kelucuan hampir mirip dengan pembalakan hutan lantas pengejawantahannya sekadar mirip parodi mimpi istana langit di tengah oase illegal logging.
Akibat gagal paham pada dayaguna ekosistem berkesinambungan ekologi hijau hutan lestari sistem kumparan alami beragam habitat kehiduapan makhluk di dalamnya. Oh! Paham kok. Loh! Paham ya. Anda tahu? Satu pohon membutuhkan waktu seratus tahun, minimum, untuk menjadi, kembalinya hutan lestari. Waduh!
Enggak usah sok kaget deh kalau kantong kresek penuh asumsi cita-cita aduhai di antara, ketika doa-doa kebersamaan bersusah payah untuk mencapai kemaslahatan. Hipnosis kealpaan asyik manggut-manggut mendongeng istana putri salju terindah di tanah tradisi di tengah deforestasi. Oh!
***
Jakartasatu Indonesia, Juli 23, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.