Memprediksi Mazhab Politik Prabowo Subianto
Oleh: Eddy Junaidi dan JALA 8 Institute
Pada era Reformasi pasca LOI antara Soeharto–Michel Camdessus (IMF–
International Monetary Fund) yang ditandatangani oleh Soeharto dengan
terpaksa. Setelah Soeharto mendapat tekanan dari Madeleine Albright (Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat) dan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton yang mendesak Soeharto untuk mundur, keadaan politik di dalam negeri, masyarakat khususnya mahasiswa berdemonstrasi berhari-hari, yang mengakibatkan jatuhnya korban, yang dikenal dengan Peristiwa Semanggi dan Peristiwa Trisakti.
Kedua peristiwa ini memantik terbakarnya emosi mahasiswa sehingga Soeharto harus mundur setelah puluhan ribu mahasiswa dan aktivis pro-Demokrasi menduduki Gedung MPR/DPR.
Setelah LOI dengan IMF dipaksakan UUD 1945 difinalkan di tahun 2002. Berlanjut derivatifnya ke arah liberalisasi politik. Dari musyawarah dan mufakat
melalui perwakilan MPR menjadi one man one vote. Resmilah Indonesia menjadi negara paling liberal.
Demokrasi dari Barat (Amerika Serikat) akarnya adalah kapitalisme, sehingga
kedaulatan rakyat sangat bergantung dari tingkat kematangan rakyatnya. Rakyat
Indonesia yang secara rata-rata masih tertinggal dalam pendidikan dan ukuran
demografisnya mengakibatkan mengalami culture shock dalam politik.
Era Soeharto yang otoriter menjadi bebas namun kebablasan (melampaui batas). Keadaan ini dilihat sebagai peluang bagi bohir (pemilik modal) untuk berkuasa. Keberadaan modal berkelindan dengan kebutuhan dana politik yang besar untuk kontestasi di Pilpres maupun Pilkada. Sistem politik kita menjadi transaksional dan prosedural, sehingga rentan dengan kecurangan politik oleh yang berkuasa dan mempunyai uang.
Sejatinya sistem politik kita berdasarkan Pancasila, ada unsur Ketuhanan
(Sprituality), Kemanusiaan (Humanity), Persatuan (Unity), Kerakyatan (Populis),
dan Berkeadilan/Kesetaraan (Equality).
Lalu musyawarah mufakat menjadi azas utama (kebersamaan dan gotong royong), menjadi filosofi dan keterwakilan melalui MPR dan DPR. Namun “nasi sudah jadi bubur”, Reformasi yang kebablasan telah membawa Indonesia ke sistem demokrasi yang mencerabut kedaulatan rakyat sendiri. Seharusnya kedaulatan rakyat menjadi hal prinsip dalam demokrasi yang berkualitas.
Kita setelah era Joko Widodo sampai pada titik nadir dalam berdemokrasi. Demokrasi Liberal (One Man One Vote) dan prosedural telah dibajak oleh pemilik modal (oligarki).
Di era Joko Widodo kontestasi (Pilpres dan Pilkada) ditandai dengan ciri penguasa bisa mengatur hasil kontestasi. Semenjak Pilpres 2014 kecurangan dimulai dari proses di KPU (Komisi Pemilihan Umum), mekanisme dan figur dipencalonan, data pemilih, pencoblosan khususnya proses penghitungan sehingga terjadi public distrust. Bahkan Joko Widodo memaksakan politik dinasti dengan menjadikan Gibran Rakabuming Raka Wakil Presiden dari Prabowo
Subianto. Hal ini karena power yang dimiliki Presiden berkelindan dengan
oligarki. Terjadi money politic (politik uang) dan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dalam kontestasi politik (Public Obedience) yang akan berujung dengan amuk massa jika sampai pada titik tertentu. Diperburuk dengan gaya pemerintahan yang Despotik (semau gue).
Prabowo Subianto dalam sikap politik tentu harus mengembalikan kualitas
berdemokrasi, mulai dikembalikannya kedaulatan rakyat dalam berpolitik, salah
satunya dengan dipermudahnya calon independen dalam kontestasi. Hegemoni
parpol saat ini dikooptasi oligarki sehingga cenderung menjadi oligarki. Apalagi Jokowidodo “membumbui” dengan politik sandera, sehingga semakin lengkap abuse of power melalui cawe-cawe seorang yang berkuasa dalam penentuan hasil kontestasi politik.
Prabowo Subianto harus meyakinkan rakyat Indonesia bahwa sebagai Presiden
Republik Indonesia, dia akan mau melepaskan diri dari cengkeraman oligarki dan pengaruh Joko Widodo.
Pengaruh Joko Widodo sebagai Presiden dieliminir (dihilangkan), khususnya
paham Despotik dan Machiavelli. Prabowo Subianto akan memperlihatkan madzhab politik kebersamaan, teknokratis, sehingga tidak mau diganggu dalam bekerja.
Semoga marwah Indonesia di mata publik internasional kembali pulih. Dan di internal, public distrust yang terjadi mampu diubah dengan kinerja selama 100 hari pertama Kabinet Prabowo Subianto.
Sebagian masyarakat menuntut kembalikan sistem politik kepada UUD 1945. Tentu hal yang sangat serius dan membawa implikasi; energi, pikiran, waktu dan biaya politik, tetapi ini hal yang ideal. Minimal Prabowo Subianto menyelesaikan problem politik yang ditimbulkan ekses kebijakan Joko Widodo.
Merevisi Undang-Undang yang daulat investor, mencerabut kedaulatan rakyat
dan peran negara. Seperti, Undang-Undang Cipta Kerja, Minerba, Kesehatan, dan kebijakan pajak yang menyasar kepada rakyat bawah, ekses Proyek Strategis Nasional (Bumi Serpong Damai dan Pantai Indah Kapuk), serta kebijakan sejenis dengan basis Joko Widodo sebagai boneka oligarki.
Peran taipan yang menjadi oligarki karena dilibatkan dalam money politic (transaksional) mengakibatkan mereka menyusup dan mempengaruhi kebijakan, hal tersebut harus dibatasi, dan Prabowo Subianto harus membuat kesepakatan ulang dengan mereka. Jangan mereka hanya menikmati cuan dari Indonesia, sementara uang hasil ekspor diparkir di luar negeri untuk menghindari pajak.
Besarnya PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia sehingga menjadi salah satu
dari 20 besar negara dunia hanya fatamorgana, karena PDB hanya dari 1% orang kaya, dan sedikit berdampak pada pertumbuhan ekonomi, ketersediaan
lapangan kerja, dan ekonomi masyarakat.
Era pesta oligarki usai sudah. Ke depannya Prabowo Subianto menyongsong bonus demografi dengan membina generasi muda mulai dari gizi, pendidikan, kesehatan, kepemimpinan, agar Bonus Demografi menjadi berkah, bukan musibah.
Pada politik luar negeri dilepas orientasi Tiongkok kembali pada politik bebas
aktif Gerakan Negara Non Blok.
Politik yang demokratis, dengan dikembalikannya kedaulatan rakyat, adalah pekerjaan rumah (PR) besar, mulai dari sistem, etika dan moral politik, serta
keadilan dalam berpolitik.
Prabowo Subianto adalah New Hope (Harapan Baru) untuk mengubah tatanan
kehidupan bernegara yang berantakan di tangan Joko Widodo. Oleh karena itu
Joko Widodo dihilangkan dari peta politik Indonesia, diberi sanksi atas perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku.