Pengelolaan Keuangan Negara di Era Jokowi: Despotisme dan Makiavelisme

By Indro Tjahyono, JALA Institute

Pada awal pemerintahannya, Joko Widodo (Jokowi) menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan keuangan negara. Jokowi dengan naif menganggap bahwa Indonesia memiliki dana pembangunan sebesar Rp11.000 triliun di luar negeri yang bisa dioptimalkan melalui kebijakan Tax Amnesty. Namun, kebijakan ini berakhir dengan kegagalan total, menunjukkan lemahnya data dan jaringan keuangan global yang dimiliki oleh pemerintah.

Kebijakan Tax Amnesty yang Gagal

Pada tahun 2016, Jokowi meluncurkan program Tax Amnesty dengan harapan dapat menarik kembali dana sebesar Rp11.000 triliun yang diduga disimpan di luar negeri oleh para taipan Indonesia. Informasi ini awalnya diperoleh dari Sri Mulyani Indrawati, yang kala itu menjabat sebagai Managing Director di Bank Dunia. Namun, informasi ini ternyata tidak valid dan tidak detail.

Faktanya, hanya sekitar Rp4.000 triliun dana taipan yang parkir di Singapura, sementara Rp7.000 triliun lainnya tersebar di berbagai negara bebas pajak. Selain itu, dana sebesar Rp7.000 triliun ini diduga kuat merupakan hasil money laundering dari pejabat dan mantan pejabat Indonesia, sehingga tidak layak untuk diberikan amnesti.

Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, bahkan mengancam akan mempidanakan para taipan jika mereka membawa pulang dana tersebut ke Indonesia, karena akan sangat berpengaruh pada ekonomi Singapura. Akibatnya, kebijakan Tax Amnesty Jokowi pun gagal total.

Ambisi Infrastruktur dan Utang BUMN

Jokowi terinspirasi oleh keberhasilan Tiongkok di bawah Deng Xiaoping dengan konsep “One Country, Two Systems”. Pada kunjungan pertama ke luar negeri, Jokowi langsung menuju Beijing dan menandatangani delapan MOU, mendeklarasikan Poros Jakarta-Beijing dalam skema OBOR (One Belt One Road).

Namun, ambisi pembangunan infrastruktur ini tidak didukung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Pada tahun 2017, Sri Mulyani menolak proyek infrastruktur yang dibiayai oleh APBN. Akibatnya, Jokowi melalui Menteri BUMN, Rini Soemarno, mengubah satu pasal dalam Undang-Undang BUMN sehingga investasi tidak perlu melalui persetujuan DPR jika dilakukan oleh anak dan cucu BUMN. Hal ini menyebabkan Jokowi “ugal-ugalan” dalam berutang melalui BUMN, terutama di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Akumulasi Utang dan Dampak Ekonomi

Di bawah pemerintahan Jokowi, BUMN berutang sebesar Rp6.500 triliun. Pertamina tercatat memiliki utang sebesar Rp700 triliun dan PLN sebesar Rp500 triliun. Banyak perusahaan BUMN yang sekarat dan bangkrut akibat kebijakan ini. Beberapa BUMN PUPR bahkan terpaksa menjual ruas tol kepada pihak asing karena biaya pembangunan yang semakin tinggi.

Menurut Mukhamad Misbakhun, anggota Komisi XI DPR RI, pemerintah juga mengelola dana publik sebesar Rp4.500 triliun, sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembayaran kewajiban BUMN yang bangkrut, seperti PT. Merpati Nusantara Airlines, PT. Asuransi Jiwasraya, dan PT. Dirgantara Indonesia. Namun, Sri Mulyani berkilah bahwa utang pemerintah hanya sebesar Rp9.000 triliun, atau sekitar 40% dari PDB, meskipun jika ditambah dengan utang BUMN dan kewajiban domestik, total utang mencapai Rp21.000 triliun atau 95% dari PDB.

Dampak Kebijakan Finansial Jokowi

Pengelolaan keuangan negara di era Jokowi menunjukkan banyak indikasi fraud dan tidak akuntabel. Kebijakan yang manipulatif dan “ugal-ugalan” ini menimbulkan berbagai masalah ekonomi yang serius. Transisi pemerintahan ke Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024 mendatang harus dilakukan dengan hati-hati, terutama dalam cut-off dari Sri Mulyani Indrawati kepada Menteri Keuangan yang baru. Thomas Djiwandono, yang akan menjadi Wakil Menteri Keuangan, harus memastikan minimalisir kebocoran yang terjadi.

Fraksi PKS di DPR juga mengungkap adanya utang tersembunyi sebesar Rp300 triliun kepada pemerintah Tiongkok yang tidak melalui prosedur konstitusi. Jokowi menggunakan uang BUMN tanpa izin DPR, yang menyebabkan utang BUMN mencapai Rp6.500 triliun.

Penutup

Dari pengelolaan keuangan negara selama pemerintahan Jokowi, terlihat jelas sifat despotik dan machiavellianism dalam setiap kebijakan yang diambil. Banyak BUMN dan aset negara yang terancam jika utang ini tidak dapat diselesaikan saat jatuh tempo. Dengan akumulasi utang luar negeri yang mencapai Rp450 triliun pada tahun 2024 dan proyeksi mencapai Rp800 triliun pada 2025, Indonesia berada di ambang krisis finansial yang serius. Pemerintahan Prabowo Subianto harus mengambil langkah tegas untuk mengatasi masalah ini dan menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat.

Sumber:

1. “Kebijakan Tax Amnesty: Harapan dan Realitas,” Tempo, 15 Maret 2017.
2. “Kunjungan Jokowi ke Tiongkok dan Poros Jakarta-Beijing,” Kompas, 26 Maret 2015.
3. “Utang BUMN di Era Jokowi,” CNBC Indonesia, 5 Juli 2023.
4. “Transisi Pemerintahan: Tantangan dan Harapan,” Republika, 20 Oktober 2024.
5. “Indikasi Fraud dalam Pengelolaan Keuangan Negara,” Tempo, 10 Juli 2024.