Memprediksi Mashab Ekonomi Prabowo Subianto (Prabowonomics)
(Artikel 1)
Oleh: Eddy Junaidi dan JALA 8 Institute
Era 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, kita terlanjur pada penguasaan pasar bebas, karena pengaruh oligarki begitu nyata. Hampir seluruh komoditi diliberalisasi investasinya tanpa proteksi untuk produk lokal.
Rezim impor dengan permainan kuota, mematikan sebagian komoditi UMKM dalam negeri. Indonesia dibanjiri produk-produk Cina. Dalam setiap sector terjadi kartel sehingga pemerintah tidak bisa intervensi pasar.
Pasar bebas governmentless sehingga harga-harga ditentukan kartel, khususnya produk pangan. Hal ini diperburuk dengan oligarki taipan dari tingkat konglomerasi sampai ritel dikuasai oleh pengusaha etnis Tionghoa. Sementara UMKM perlu binaan dan proteksi dari pemerintah untuk bertahan di bidang ekonomi dan bisnis.
Pro-Pribumi melalui UMKM
Jumlah UMKM mencapai 64 juta unit, dan mayoritas pribumi. Ekonomi inklusif bukan subjektifitas kita sebagai pribumi, tetapi tuntutan konstitusi sebagai welfare state (negara sosial sejahtera). Hal ini sesuai dengan tuntutan konstitusi Pasal 33 dan 34 UUD 1945; semua aset Sumber Daya Alam dioptimalkan seluasluasnya untuk kepentingan rakyat Indonesia. Juga sesuai dengan Pembukaan UUD 1945; untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Oleh karena itu sistem ekonomi yang pro investor, sehingga kebijakannya dominan untuk kepentingan investor (pemilik modal/oligarki), sangat tidak sesuai dengan UUD 1945. Mulai dari liberalisasi investasi semua sektor tanpa proteksi, pemilihan pelaku bisnis baru seperti nikel, investornya 95% dari Tiongkok, di dalam negeri dikoordinir oleh Luhut Binsar Pandjaitan dengan grup Bintang Delapan.
Sejak tahun 2020–2023 Indonesia ekspor nikel sebanyak 5,6 juta ton ke Tiongkok. Masalahnya, 90% dibawa ke Tiongkok, Indonesia hanya memperoleh 10% saja. Padahal komoditi nikel kelak menjadi bahan baku utama mobil listrik (baterai), sebagai pengganti BBM (Bahan Bakar Minyak). Kelak tentu potensinya luar biasa, karena Indonesia produsen nikel terbesar di dunia, setelah itu baru diikuti Afganistan dan Australia.
Masalah lainnya yang menyangkut seluruh rakyat Indonesia tentang komoditi pangan dengan rezim impor (kuota), karena kebijakan Joko Widodo eksesif terhadap dua hal mendasar: Pertama; matinya kelompok petani, karena Harga impor lebih murah dari harga produksi petani. Pemerintah seolah sengaja dalam hal pupuk, produksi Indonesia (BUMN) berorientasi ekspor, sehingga pupuk di petani langka dan mahal. Kedua; naiknya harga pangan (sembako), karena pasar dikuasai kartel. Padahal sembako menyangkut kebutuhan primer, sehingga menyengsarakan rakyat Indonesia.
Belum lagi kebijakan pajak yang menyasar rakyat kecil dan UMKM, serta pungutan-pungutan seperti, kebijakan Tapera, Pariwisata, asuransi kendaraan bermotor; dan bentuk kenaikan harga seperti, BBM, dan listrik karena subsidi ditarik dan dikurangi.
Kita tahu bahwa untuk mencapai negara sejahtera (welfare state); kebijakan subsidi negara adalah kebijakan untuk menyejahterakan masyarakatnya.Prabowonomics yang diharapkan adalah kebijakan ekonomi Orde Baru yang disempurnakan berbasis pemikiran dua Begawan Ekonomi Indonesia; Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Prof. Sarbini Sumawinata dengan konsep welfare state.
Sosialisme kedua Begawan ini menentang mashab Neolib, tentu juga sistem ekonomi pasar bebas yang dianut Joko Widodo karena pengaruh oligarki (kapitalis ortodok). Hasilnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Indeks Pembangunan Manusia, ketimpangan dan kemiskinan menurun, sementara perilaku korupsi meningkat pesat.