Transisi Kekuasaan Jokowi ke Prabowo: Dilema Hukum, Loyalitas, dan Potensi Konflik

Transisi kekuasaan di Indonesia selalu menjadi momen krusial dan penuh tantangan. Dari pengunduran diri Presiden Soeharto pada 1998 hingga pergantian dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden terpilih Prabowo Subianto, ada banyak kesamaan dalam hal tekanan publik dan dilema politik.

Pada tahun 1998, Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada B.J. Habibie setelah 30 tahun memimpin dengan tangan besi. Krisis ekonomi Asia memicu ketidakpuasan publik yang luar biasa. Demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan masyarakat sipil menuntut pengunduran diri Soeharto. Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa ditembak mati, memicu kerusuhan massal yang memperburuk situasi.

Habibie, yang sebelumnya loyal kepada Soeharto, menghadapi dilema besar. Ada desakan kuat untuk mengadili Soeharto atas dugaan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia, namun Habibie juga berhutang budi kepada Soeharto. Habibie akhirnya memilih menerapkan reformasi politik tanpa langsung mengambil tindakan hukum terhadap Soeharto, menjaga stabilitas politik sambil mencoba meredakan ketegangan publik.

Kini, Indonesia berada di tengah transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo, ditengah keadaan ekonomi yang tidak stabil. Jokowi, yang telah memimpin selama dua periode dengan fokus pada pembangunan infrastruktur, meninggalkan warisan yang luas dan kompleks. Satu sisi, banyak kebijakan pembangunan yang mendapat pujian; di sisi lain, terdapat isu korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, persoalan demokrasi – HAM – lingkungan hidup, dll serta kebijakan kontroversial yang menimbulkan ketidakpuasan publik.

Hubungan antara Jokowi dan Prabowo telah menunjukkan sikap rekonsiliatif, dengan Jokowi mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan sejak 2019. Namun, seperti Habibie, Prabowo kini menghadapi tekanan publik untuk memproses hukum Jokowi. Desakan dari aktivis, masyarakat sipil, dan oposisi politik semakin kuat, menuntut agar Jokowi diadili atas dugaan pelanggaran selama masa pemerintahannya. Prabowo berada dalam dilema besar, antara mengikuti desakan publik atau menjaga hubungan baik dengan Jokowi yang telah banyak membantunya, dengan berbagai pertimbangan.

Pelajaran penting dapat diambil dari sejarah Amerika Serikat. Pada tahun 1974, Richard Nixon mengundurkan diri di tengah skandal Watergate, yang mengguncang politik Amerika. Wakil Presiden Gerald Ford yang menggantikannya, mengambil keputusan kontroversial dengan memberikan pengampunan penuh kepada Nixon untuk meredakan ketegangan dan memulihkan stabilitas negara. Namun, keputusan ini tidak menuai simpati publik dan Ford kehilangan dukungan politik yang signifikan, sehingga kalah dalam pemilihan presiden berikutnya.

Beberapa negara mengalami konflik sosial parah akibat transisi kekuasaan yang tidak mulus, seperti Suriah dan Yugoslavia. Suriah, yang mengalami perang saudara setelah protes damai terhadap pemerintahan Bashar al-Assad pada tahun 2011, dan Yugoslavia, yang mengalami disintegrasi dan perang etnis setelah kematian Josip Broz Tito, menunjukkan betapa transisi kekuasaan bisa berujung pada kerusakan besar dan korban jiwa yang signifikan.

Namun, Indonesia memiliki karakter dan budaya yang berbeda. Pluralisme dan toleransi, lembaga demokrasi yang kuat, serta budaya gotong royong, membantu menjaga keharmonisan sosial dan mencegah eskalasi konflik. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dapat diyakini sebagai perekat persatuan dari berbagai perbedaan serta pengalaman sejarah konflik politik dan idiologi pasca G 30 S/PKI yang melahirkan tahapan kesadaran kolektif.

Prabowo nantinya diharapkan tetap berpihak pada konstitusi negara dan amanah rakyat setelah pelantikan. Meskipun tidak mudah bagi Presiden Prabowo untuk mengambil keputusan yang mungkin tidak sesuai dengan nuraninya yang mungkin bertentangan dengan situasi keadaan sosial politik rakyat nanti. Apapun keadaannya kedepan, langkah tepat yang perlu diambil harus berlandaskan pada hukum dan keadilan, serta memastikan stabilitas dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo memiliki banyak kesamaan dengan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie dan dari Nixon ke Ford. Tantangan dan dilema yang dihadapi Prabowo mencerminkan kompleksitas politik dan sosial dalam proses peralihan kekuasaan. Prabowo perlu mempertimbangkan dengan hati-hati langkah-langkah yang akan diambil untuk menyeimbangkan kepentingan pribadi, hutang budi, dan tuntutan rakyat, serta menjaga stabilitas negara. Indonesia, dengan karakter damai dan budaya gotong royongnya, memiliki potensi untuk melalui proses transisi kekuasaan ini dengan lebih baik. Sehingga dapat diduga Prabowo akan mengikuti cara Habibie, atau melakukan penegakkan hukum, namub akhirnya Presiden Prabowo memberikan Hak Grasinya dan abolisi kepada Jokowi. Namun demikian, demi tegaknya keadilan dan demokrasi, sangat penting Presiden terpilih Prabowo mengedepankan hukum, konstitusi dan keinginan rakyat.

Penutup

Transisi kekuasaan ini bukan sekadar pergantian pemimpin, melainkan ujian besar bagi demokrasi dan stabilitas Indonesia. Mampukah Prabowo mengendalikan tekanan publik diatas loyalitas pribadi, atau akankah negeri ini kembali bergelut dalam ketegangan seperti masa lalu? Di tengah ancaman konflik dan tuntutan reformasi, keputusan Presiden Terpilih Prabowo akan menentukan arah bangsa ini, menuju rekonsiliasi atau kembali ke era ketidakpastian. Saat sejarah mengawasi, Indonesia menunggu dengan napas tertahan.

Oleh: Agusto Sulistio – JALA 8 Institute. Kalibata, Minggu 28 Juli 2024, 12.27 Wib.