JAKARTASATU.COM– Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA Indonesia) menyorot dua pasal yang terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yaitu terkait ‘penyediaan alat kontrasepsi’ dan aborsi akibat kekerasan seksual lainnya.
Soal ‘penyediaan alat kontrasepsi’ yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) huruf e disampaikan Ketua AILA Indonesia Rita H Soebagio sebagai bentuk pelayanan kesehatan berpotensi menimbulkan miskonsepsi dan multitafsir karena justru dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan terhadap perilaku seks bebas di kalangan anak sekolah dan remaja.
Padahal menurut AILA Indonesia, kata dia. perilaku seks bebas di kalangan pelajar merupakan fenonema yang harus mendapatkan perhatian dari pemerintah.
“Karena, berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tercatat bahwa sebanyak 60 persen dari remaja Indonesia usia 16-17 tahun telah melakukan hubungan seksual, sebanyak 20 persen, pada usia 14-15 tahun, dan sebanyak 20 persen pada usia 19-20 tahun,” demikian Rita H Soebagio dalam keterangan AILA Indonesia yang diterima media.
Selain itu, menurut AILA Indonesia, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut tentang bentuk dan mekanisme penyediaan alat kontrasepsi tersebut di dalam PP 28/2024 dan juga terdapat ketidakjelasan kategori “anak sekolah dan remaja” yang boleh mendapatkan pelayanan kontrasepsi.
“Hal tersebut menyebabkan Pasal 103 ayat (3) huruf e dapat dimaknai bahwa penyediaan alat kontrasepsi dapat diberikan kepada mereka yang belum menikah,” kata Rita.
Mestinya, pencegahan dan penanganan perilaku seks bebas di kalangan usia sekolah dan remaja dapat diupayakan oleh pemerintah dengan memaksimalkan program yang selama ini telah berjalan dengan menggunakan pendekatan konsep “ketahanan remaja” yang dapat dikembangkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan berkeluarga bagi anak sekolah dan remaja.
“Bukan dengan membuat aturan yang justru berpotensi untuk melegalisasi dan menormalisasi ‘penyediaan alat kontrasepsi’,” tegas Rita.
Sementata berkenaan dengan pelayanan aborsi pada korban “kekerasan seksual lainnya” yang tertera pada Pasal 129 ayat (2) huruf d pada PP 28/2024, menurut AILA Indonesia, frasa “kekerasan seksual lainnya” sebaiknya dihapus dengan pertimbangan: Konsep kekerasaan seksual sendiri adalah konsep yang tidak sesuai dengan Pancasila dan norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia, karena asasnya adalah sexual consent (yakni persetujuan dalam perilaku seksual atau suka sama suka); Bentuk-bentuk kekerasan seksual sangat beragam dan tidak memiliki definisi yang jelas sehingga dapat menimbulkan multitafsir terkait frasa “kekerasan seksual lainnya”.
“Hal ini disebabkan Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sifatnya khusus (lex specialis) yang menjadi rujukan PP 28/2004 tersebut, tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan frasa ‘kekerasan seksual lainnya’” terang Rita.
Frasa “kekerasan seksual lainnya” justru diatur dalam Penjelasan Pasal 463 ayat (2) KUHP yang sifatnya umum (lex generalis).
Kondisi tersebut tentunya akan mempersulit penegakkan hukum tindak pidana seksual dan berpotensi digunakan untuk menjustifikasi aborsi secara bebas.
AILA Indonesia menilai bahwa frasa “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab” yang tertera dalam Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, tidak jelas batasan dan tujuannya.
Selain itu, frasa tersebut juga bersifat kontraproduktif dengan sejumlah pasal dalam PP 28/2024, sehingga dikhawatirkan justru akan menyuburkan perilaku seks bebas karena memfasilitasi penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja serta memberikan “kelonggaran” dalam pelayanan aborsi.
AILA Indonesia meyakini niat baik pemerintah dalam isu kesehatan bagi generasi muda Indonesia dan mengapresiasi Pasal 98 dalam PP 28/2024 yang berbunyi “upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama”.
“Namun agar tujuan tersebut dapat tercapai dan tidak terjadi penyimpangan dalam implementasinya, maka kami berharap pemerintah dapat merevisi atau mencabut Pasal 103 ayat (3) huruf e, Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, serta merevisi Pasal 129 ayat (2) huruf d pada PP 28/2024,” pungkas Rita.
PP yang ditandatangani oleh Jokowi itu memang kontroversial. AILA Indonesia tidak sendiri mengkritik PP tersebut terhadap beberapa pasal. Ada Ketu MUI Pusat yang lebih dulu mengkritik PP itu—pasal 102 a. (RIS)