Gde Siriana : Presiden Sudah Bisa Menakar “Harga” Sebuah Partai Politik

JAKARTASATU.COM— Tidak ada yang menyangka bahwa Golkar kena politik belah bambu oleh rezim Jokowi. Selama ini, publik mengira yang kena politik belah bambu alias partai yang mau direbut oleh rezim Jokowi adalah PKB atau partai Nasdem.

Pandangan Gde Siriana terkait fenomena partai politik direbut atau dibelah penguasa di era Jokowi, disampaikan dalam wawancara khusus dengan Jakartasatu di Jakarta, Rabu 14/8/2024.

Kenapa itu banyak terjadi?

“Karena banyak agenda-agenda Presiden Jokowi yang sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi atau aturan-aturan hukum yang ada. Seperti “tiga periode”, Gibran jadi wapres, penciptaan utang-utang, dll,” kata Direktur  Eksekutif INFUS Gde Siriana.

“Nah, posisi partai politik dalam supra struktur kan di DPR, di mana partai politik dapat mengimbangi kekuatan eksekutif presiden dengan hak-hak partai politik di parlemen. Logika politiknya, agar kepentingan eksekutif berjalan maka ada dua cara untuk dilakukan: tarik mayoritas partai politik ke dalan koalisi penguasa dan melemahkan partai politik,” tambah kandidat doktor ilmu politik ini.

Bagaimana caranya?

“Misalnya jika hanya terkait politik anggaran di DPR. Sebenarnya ya sudah cukup dengan koalisi di atas 50% untuk menang voting. Tetapi jika ada agenda lain yang lebih penting bagi presiden, misalnya terkait politik dinasti, ya perlu koalisi yang lebih besar. Koalisi besar ini menjadi ditakuti oleh institusi lain seperti kekuasaan yudikatif.” terang orang KAMI ini.

“Sehingga perubahan aturan-aturan hukum dapat dilakukan sesuai keinginan eksekutif atau presiden. Tetapi dengan koalisi besar ini tentu saja perlu ongkos politik yang lebih besar dibandingkan sekedar memenangkan politik anggaran,” jelasnya.

Tapi terkesan begitu mudahnya partai politik dikooptasi penguasa?

“Ya ini sebagai akibat partai politik begitu murah menjual dirinya demi uang dan jabatan. Presiden pasti sudah bisa menakar “harga” setiap partai politik. Partai ini berapa, partai itu berapa. Sudah ditakar harga dan kekuatannya. Juga kelemahannya. Ketua umum atau elit partai lainnya sudah terima berapa dari proyek ini proyek itu,” terang Gde Siriana.

“Ya ini adalah konsekuensi dari partai yang menjual amanat pemilih demi kepentingan pribadi atau kelompok. Kan kita bisa lihat, sekarang semua partai tidak lagi ada diferensiasi dalam politiknya, tidak ada ke khasan idealismenya,” tegasnya.

Ia menilai semua berperilaku sama, baik yang katanya partai nasionalis-religius, maupun yang katanya religius-nasionalis. Perilaku nya terlihat sama yaitu hypocrisy atau kemunafikan.

“Awalnya seakan-akan membela rakyat, ada ideologi yang diperjuangkan, ujungnya sepakat semua,” jelasnya.

Ia menambahkan, boleh saja partai politik pragmatis, tapi pragmatis untuk kemanfaatan rakyat, bukan manfaat untuk elit partai.

Gde Siriana mencontohkan misalnya seorang anggota DPR dipilih oleh konstituennya. Mandat yang diberikan padanya adalah untuk dia duduk di Senayan.

“Ketika dia mengusung kandidat-kandidat untuk Pilpres atau Pilkada, semestinya dia ajak omong dulu konstituennya. Mau kandidat siapa yang diusung. Bukan dia menjual amanat duduk ke senayan untuk menentukan kandidat yang memberikan keuntungan pada dirinya,” tandasnya

“Jadi wakil rakyat ini yang seharusnya hanya dapat tiket untuk ke senayan, tapi tiket tersebut jadi tiket terusan, bisa untuk membuat undang-undang maupun kandidat kontestasi politik tanpa ngajak ngobrol lagi konstituennya.

Gde Siriana menegaskan penguasa yang tahu hakikat tiket terusan ini tentu saja melihat peluang untuk mudah menguasai partai politik, cukup kuasai elit-elit nya saja. Tapi jika proses bottom-up kuat di partai, penguasa sulit menguasai parpol. (Yoss)