Kisah Pohon Beringin Dan Si Tukang Kayu
Cerpen
Eko S Dananjaya
Alkisah, sebuah pohon beringin yang rimbun dan besar. Ditopang dengan akar- akarnya yang kuat, tumbang seketika. Tidak ada hujan, tidak ada angin. Pohon itu ambruk menutupi jalan.
Pohon beringin yang diyakini masyarakat “Ada penunggunya”. Awalnya berdiri kokoh ditengah Alun-alun kidul. Persis di sebrang gedung tua Istana Murka. Pohon beringin itu sebenarnya banyak membawa keberkahan. Selain tempatnya teduh, juga menjadi tempat sandaran dan harapan. Pohon itu usianya diperkirakan sudah ratusan tahun, dulu ditanam oleh seorang tokoh pendiri desa. Sengaja di tanam di pelataran Alun-alun kidul. Supaya orang mudah mengingat peristiwa sejarah, bahwa selain pohon beringin adapula gedung loji peninggalan Belanda. Sejalan dengan waktu, pohon yang tadinya kecil lambat laun tumbuh subur dan menjadi besar. Setelah pohon menjadi besar, rindang, tempat ini kemudian dijadikan area niaga. Selain dijadikan wisata kuliner, juga sebagai tempat transaksi segala macam kepentingan.
Di sebrang sana ada warung kopi milik pak Moel. Yang tempatnya persis berada di pojok alun-alun. Warung kopi pak Moel, cocok dan enak untuk dijadikan tempat lobi-lobi atau kongkow. Warung pak Moel sering dijadikan tempat kumpulnya para aparatur desa.
Pak Moel adalah pemilik sekaligus penjaga warung. Dia bekas komandan hansip kecamatan. Di warung ini, tak sedikit kebijakan kelurahan sukses di realisasikan. Pak Moel orangnya supel, tapi tegas. Maklum pernah jadi komandan hansip, terbiasa disiplin dan loyal pada atasan. Jika ada sepanduk atau umbul- umbul atribut politik yang tidak senada dengan kamarintah, atau ada sepanduk dengan nada protes, pak Moel akan mencopotnya. Pak Moel tak segan- segan menertibkan atribut, baleho, sepanduk yang berada diseputar alun- alun kidul. Atribut yang tidak senada dengan kamarintah akan diturunkan. Apalagi ada kalimat mengkritik pak lurah. Beliau tipe loyalis harga mati.
Suatu ketika, bekas majikannya yang bernama pak Bambang, sempat didampratnya gegara ide-idenya tidak sejalan dengan pak lurah. Pak Bambang di labrak dan disabotase pabriknya hingga anak buahnya kocar kacir. Itulah pak Moel, dia hanya setia pada majikan yang membayarnya dan memperhatikan padanya.
Warung kopinya buka sampai tengah malam. Pak Moel meski sudah pensiun sebagai komandan Hansip, tapi sikapnya egaliter. Dia suka nimbrung bersama aparatur desa untuk urun rembug . Makanya oleh perangkat desa, pak Moel kadang diajak tukar pikiran dalam pengambilan keputusan program pembangunan infrastruktur desa. Dari soal rencana pembangunan irigasi, pembagian pupuk petani, rembuk tani sampai bagi- bagi BLT. Semua aparat desa tau kalau pak Moel adalah kepercayaan dan centengnya pak lurah.
Di luar lingkar pagar pohon beringin, banyak pedagang kaki lima mencari rejeki dengan menjajakan segala macam makanan.
Baik siang maupun malam, di sekeliling pohon beringin selalu saja ramai. Bahkan, tidak sedikit orang mempercayai pohon Beringin tersebut memiliki aura magis. Menurut cerita pak Moel, sering ada kejadian aneh di malam hari. Di atas pohon itu suka ada sosok bergelantung. Orang menyebutnya Masdruwo. Tampangnya seram, rambut gimbal, mata merah seperti buto dan mengeluarkan bau tak sedap.
Ada juga seperti bakaran ketela pohon, ” Kata pak Bahlul, ” Yang kebetulan berada di warung pak Moel. Menyengat, anyir. Suasana magis itu sudah tersebar menjadi kepercayaan orang disini. Seantero desa meyakini, bahwa sosok yang menggelantung itu dengan berwajah seram, tapi tidak mengganggu. Mungkin itu ingon- ingon pak lurah “ujar salah seorang tukang parkir yang kebetulan sedang singgah makan malam di warung pak Moel”. Tukang parkir ini ternyata masih saudaranya mas Tarto pewaris alun- alun sekaligus cucu penanam pohon beringin.Rasanya ngobrol di warung kopi itu tambah menarik. Dengan bumbu magis dan sedikit dramatis, obrolan terus berkembang sampai ada yang percaya, jika ada yang amprokan dengan Masdruwo, maka akan mendapat berkah. Konon, makluk itu muncul kali pertama sejak peristiwa 65. Ketika terjadi geger politik di Jakarta. Mahluk halus pohon beringin nongol, berbarengan dengan peristiwa terjadinya penculikan para Jenderal. Dan waktu itu, usia pak lurah masih empat tahun. Jadi pak lurah tidak tau apa- apa ketika mas Aidit memberontak ingin mendirikan pemerintahan kominis. ” Kata pak Moel dengan penuh semangat pembelaannya”. Suasana agak renyah karena beberapa orang yang makan di warung itu diberi gratisan sama mas Tarto.
Kadang orang mengkait- kaitkan antara peristiwa 65 dengan tahayul pohon beringin. Juga Istana Murka yang terletak persis di alun- alun kidul. Gedung Istana Murka adalah bekas tempat sisa laskar para pejuang kemerdekaan. Tempat itu dulunya di huni oleh keluarga Belanda bernama William Vander Doboss. Rumah kuno warisan peninggalan kakeknya, yang dulu pernah bekerja sebagai mandor pabrik gula. Bangunan kokoh dan halaman seluas dua hektar itu ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. Setelah negri ini mardeka, orang- orang Belanda kembali ke negaranya. Sampai hari ini, bangunan itu masih berdiri. Singkat cerita, setelah William Vandeer Doboss pulang ke Belanda tahun 1935. Gedung tua itu di serahkan kepada seorang Residen Belanda. Kemudian dirubah menjadi rumah tahanan. Gedung tua itu dipakai sebagai tempat para pejuang di tahan, di tangkap dan di siksa oleh tentara Belanda. Bahkan, tidak sedikit para pejuang kemerdekaan mati karena kelaparan di dalam penjara. Oleh sebab itu, masyarakat setempat menyebutnya sebagai gedung Istana Murka.
Tapi entah mengapa, pak lurah sampai hari ini masih menempati (berkantor) di gedung Istana Murka? Bahkan akhir- akhir ini pak lurah malah meremehkan fungsi dari nilai historis gedung peninggalan penjajah itu. Meski dirinya juga sadar, ia berkantor bersama pak carik di ruangan bekas residen Belanda. Padahal itu kan bekas gedung kolonial? Pak lurah tak ambil pusing. Karena dia punya agenda ingin memindahkan kantor kelurahan dari yang ia tempati sekarang ini ke tempat baru. Tak ada bedanya sebenarnya, kalau pak lurah memanfaatkan gedung tua itu sebagai mana residen Belanda pernah menjalankan tugas pemerintahan. Entahlah, cara berpikir pak lurah kita tidak tau. Pak Dodok sebagai lurah, seharusnya tidak boleh mencibir atau meremehkan gedung hasil pampasan perang. Tapi anehnya, dia tidak ingin beranjak meninggalkan gedung Istana Murka. Apa itu yang disebut sikap ambivalent? Walau ada rasan- rasan, tanah bengkok akan dibangun balai desa moderen. Yang nantinya akan menjadi kantor pelayanan terpadu. Tapi rasanya ada kendala soal keuangan. Dalam master plan nya, gedung Istana Murka akan dijadikan musium sejarah keluarga pak lurah. Tapi angan- angan membangun balai desa baru tidak masuk akal. Sebab, sudah dicoba dipromosikan kemana-mana, belum juga ada yang berminat menjadi investor. Padahal pak lurah sudah banyak mengeluarkan dana kas desa buat biaya promosi.
Menurut pak Pratik carik kelurahan. Pak lurah berencana akan hutang dulu ke kementrian desa di Jakarta. Sebab, kemarin pak Pratik diutus pak lurah berangkat ke Jakarta untuk menemui pak menteri. Ini proyek spekulasi, “kata pak Pratik”. Untuk membangun gedung kelurahan baru perlu dana besar. “Masih menjadi pertimbangan kita semua”, katanya. Sebab investor belum menunjukan tanda- tanda serius untuk ikut tender. Padahal, biaya promosi sudah kebacut keluar banyak. ” Itu baru sebatas wacana”, tegas pak Pratik. Walau masih wacana, tapi propaganda membangun kantor kepala desa yang baru sudah heboh keman-mana. Bahkan pak lurah secara diam- diam sudah hutang melampaui nilai pendapatan pajak desa. Masyarakat mengatakan, “pak Dodok manajemen nya kurang bagus”. Sekarang ini desa banyak terbebani hutang. Entah siapa yang akan membayar nantinya?
Sedang bendahara desa ibu Srimul, pusing tujuh keliling. Beliau malah pura- pura tidak tahu dan masa bodoh dengan adanya beban hutang desa yang menumpuk. Bu Srimul bekas guru ekonomi di Sekolah Menengah Atas Indonesia maju. Sepertinya tak berkutik dengan pak lurah. Bu Srimul adalah guru yang terkenal pintar, cerdas. Dia suka diminta mengajar di beberapa sekolahan. Tapi setelah ditarik pak lurah menjadi bendahara desa, seperti tak berguna ilmu yang pernah diajarkan di sekolah. Kas desa mengalami defisit. Hutang desa berjibun. Perdagangan jual beli hasil pertanian anjlok. Harga gabah dan hasil kebun, sayuran hancur. Infrastruktur ekonomi desa dipermainkan tengkulak. Pokoknya pak lurah tidak bisa mengendalikan kenaikan harga- harga kebutuhan petani. Petani menjerit terbebani harga pupuk yang tidak bisa ditolerir.
Yang lebih tragis, diam -diam pak lurah punya hutang pribadi pada renternir. Jika demikian situasinya, maka yang paling realistis adalah gedung Istana murka direhab secara bertahap, tidak perlu bangun gedung baru. Sehingga tidak kusam. Jadi tidak memalukan jika ada tamu- tamu penting dari kecamatan maupun kabupaten. Kepala desa yang terpilih akan menempati selama lima tahun. Dalam pildes kemarin, Pak Dodok mutlak menang dua kali. mampu mengalahkan tiga lawannya. Yakni pak Praboto, pak Nowo dan pak Wedan. Dua diantara tiga kandidat yang dikalahkan pak Dodok rupanya tidak terima. Apa sebab? dua kontestan yang kalah pilur (pemilihan lurah) tidak mau menanda tangani dan mengakui hasil akhir pemilihan. Lohh…kenapa? Karena disinyalir dan ditengarai, pak Dodok orangnya culas dan tidak jujur waktu pemilihan kepala desa.
Masyarakat yakin bahwa pak Dodok menang pildes karena menghipnotis masyarakat dengan ilmu sulap yang ia punya. Sebelum menjadi kepala desa, pak Dodok bekerja sebagai penjual obat keliling. Pak Dodok biasa menggelar dagangannya di pasar tradisional. Oleh sebab itu, beliau sudah biasa blusukan di tengah pasar dan sering menyapa para pedagang. Di sela- sela waktunya menjual obat, pak Dodok beratraksi memperlihatkan kemahirannya sebagai tukang sulap. Banyak orang di pasar terkesima dengan kelihaian tangan pak Dodok. Dia pintar memainkan sulap. Sehingga orang- orang seperti terhipnotis dan tiba- tiba jatuh simpati dengannya.
Selain mahir bermain sulap, pak Dodok juga pintar dalam ilmu sihir dan gendam. Kelebihan beliau adalah punya sikap sabar, ramah, lembut dan mampu memikat orang dengan cara memamerkan keluguannya. Dibarengi tertawa dengan nada bariton. Sehingga lawan bicaranya akan jatuh terpesona dan terhipnotis dengan senyumnya yang khas. Kelebihan yang lain, pak Dodok orangnya ringan tangan. Sering membantu masyarakat dengan membagi sembako. Juga senang blusukan di tengah pasar dan gang- gang sempit yang padat penduduknya. Orang bilang, seni komunikasinya bagus.
Semenjak kepemimpinan nya, masyarakat tampak antusias dan percaya. Bahkan jika ada kekeliruan ucapan pak Dodok atas janji- janjinya, para pendukungnya tidak akan mempersoalkan. Mungkin ini yang dikatakan pak guru Mahfud, kita sedang dipertarungkan soal kebenaran. Kita hidup di abad 20, abad pos modernisme. Maka banyak perdebatan soal kebenaran. Penulis post modernisme Samuel Beckett, Jorge luis Borges, Gabriel Garciaarques. Mereka adalah pemikir- pemikir besar post modernism. Dengan gamblang diterangkan oleh pak guru Mahfud, bahwa kebenaran dapat di rekayasa dengan estetika. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan dari mulutnya pak lurah dianggap sebuah kebenaran absolut. Masyarakat seperti terhipnotis oleh keyakinan yang dirasukan ke dalam bawah sadar.
Begitu sederhana tampilan yang melekat di badannya. Misalnya baju, celana dan sepatu yang harganya tidak lebih dari seratus lima puluh ribu. Bahkan, seragam yang dipakai dlkedinasan sebagai kepala desa, seperti tidak pernah ganti, ya hanya itu- itu saja. Sehingga masyarakat yakin, seyakin yakinnya punya kepala desa yang benar- benar menjadi harapan rakyat. Ini kepala desa yang sangat populer dan fenomenal. Terkenal sampai tingkat nasional soal kesederhanaanya. Terkesan pada masyarakyat, bahwa pak lurah memiliki jiwa kerakyatan marhaen tulen.” Demikian pak guru Mahfud dalam penjelasannya”.
Apa yang diterangkan pak guru Mahfud benar. Nyatanya, pak lurah dalam pencitraan, suka menyambangi warganya. Ia juga gemar membagi bagi beras pada masyarakat, walau itu pakai dana kas desa. Pak lurah juga gemar berposting sedang membagi uang pada tukang ojek, tukang becak, Kusir andong, penjual koran, pengamen dan gelandangan desa. Mereka tidak luput dari jangkauan bantuan langsung tunai. Konon kabarnya, pak lurah Dodok juga punya asisten mantan aktivis yang selalu membisikan kiat atau cara yang baik untuk membangun infrastruktur desa. Agar desa dapat maju dan meroket pembangunannya. Dari hasil pencitraan media sosial sehari- hari, atas tindakan ekspose yang berlebihan itu. Hasil dari aktifitas kerja pak lurah semakin dipercaya masyarakat. Masyarakat jadi simpati dan sayang pada beliau. Pesan pak lurah pada warga, agar dapat menjaga lingkungan dan taman di sekitar pohon beringin dengan baik. Bahkan ada slogan yang terkenal, “Desa Istana Murka (DIM) Harga Mati”.
Beringin yang kokoh dan menjadi penghidupan banyak orang itu sekarang menjadi masalah. Pohon besar dengan banyak akar dan ranting tumbang menutupi jalan. Orang tidak bisa lewat. Aktifitas masyarakat terganggu. Sarang burung, ranting dan dedaunan berserakan. Aura magis sirna. Akar- akar pohon tercerabut dari tanah. keangkeran dan kerindangannya pupus tumbang diterjang usia. Sebelum beringin itu ambruk. Beberapa waktu lalu disekitar lokasi masih sempat dimanfaatkan untuk aktifitas persiapan lomba hari lahir desa.
Atas usulan mantan aktifis reformasi. Pak Dodok diminta memanfaatkan hari minggu sebagai pasar tiban. Dengan adanya pasar tiban, maka kelurahan Istana Murka akan mendapat tambahan inkam dari pedagang. Pedagang kaki lima diwajibkan setor iyuran lapak. Jika tidak bersedia, pedagang di minta pindah dan tidak diberi tempat. Tapi kali ini, bukan saja pedagang yang kehilangan mata pencaharian. Desapun juga tidak memperoleh pemasukan. Akibatnya pendapatan khas desa ikut berdampak.
Kabarnya pak Dodok mulai stress, karena uang khas desa mengalami defisit. Padahal, pak Dodok sudah wanti- wanti pada petugas penjaga taman terus merawat keberadaan pohon beringin agar semua bisa hidup dan lestari. Sehingga penghidupan para pedagang kecil dan inkam desa terus mengalir. Pak lurah memang pintar mengakapitalisasi kepentingan. Tidak saja pedagang yang digarapnya.
Orang- orang yang punya kepercayaan klenik pun dijadikan obyek pendapatan desa. Sebab, tidak sedikit penganut kejawen yang percaya pada aura magis pohon beringin. Dan mereka datang untuk meletakkan sesajen atau dupa sebagai ube rampe, agar danyang- danyang penunggu pohon beringin tidak mengamuk dan membuat horor sedesa.
Boleh dikata, orang- orang spiritualis itu ingin memberikan yang terbaik pada roh halus atau leluhur yang tinggal di pohon- pohon besar seperti itu. Dalam kepercayaannya, sesajen tersebut tak lebih sebagai penghormatan, bahwa hidup harus ingat pada Sang Hyang widhi.
Banyak yang percaya, kalau terlambat memberikan sesajen di pohon beringin, para Danyang akan keluar dari dalam pohon dan akan menperlihatkan sosok aslinya. Mahkluk- mahkluk halus akan keluar menampakkan sosok aslinya seperti Masdruwo.
Memang kita tidak perlu takut dengan hal-hal ghoib. Manakala makluk halus itu memperlihatkan dirinya. Itu sekedar isyarat bahwa ia sedang meminta sesajen atau instrumen pengganti tumbal. Jika orang menyediakan sesajen, maka dalam waktu dekat ia akan mendapat keselamatan atau mendapat keberuntungan. Entah berbentuk katabelece, kekuasaan atau proyek yang melibatkan orang-orang kelurahan.
Pengalaman ini bukan isapan jempol, tapi sudah berkali- kali terjadi. Suatu hari ada seseorang yang sedang ngobrol. Di warung kopi pak Moel. Dia mengatakan. “Bahwa pekerjaan nya di Jakarta berhasil”. Orang ini bernama Bahlul. Dia suka menaruh sesajen di sela akar pohon beringin. Antara percaya dan tidak. Bahlul sampai dapat kepercayaan pak lurah. Itu sebab, karena dia sering datang ke pohon beringin dengan tekun merawatnya. Faktor lain, Bahlul aktif menyetorkan uang hasil pungutan dari pedagang kaki lima. Banyak kepercayaan yang diberikan pak lurah kepada Bahlul. Sampai- sampai dipercaya mengurus tanah bengkok desa untuk disewa- sewakan buat kuliner. Bahlul anak muda yang sangat percaya diri. Ia pecaya pada hal- hal ghoib, tradisi mitos lama walau sebenarnya agamanya kuat. Dia sering juga mengisi acara- acara organisasi keagamaan. Tapi dengan proses meditasi dengan menaruh sesajen bersama keyakinannya yang kuat. Tampaknya ada perkembangan yang dapat merubah pada dirinya.
Suatu hari ia berangkat ke jakarta dengan membawa proposal proyek desa. Di Jakarta Bahlul dapat meyakinkan beberapa pejabat pusat tentang proyek yang pak lurah ingin kerjakan. Proyek terkait dengan pengajuan ijin tambang dan HPH. Gagasnnya bagus ingin melibatkan partisipasi organisasi pemuda untuk ikut mengelola tambang desa. Rencananya jika dapat ijin , tambang yang ada di desa akan dibagi- bagi ke organisasi pemuda. Dari tingkat kabupaten, Kecamatan sampai Kelurahan. Alangkah senangnya lembaga pemuda dan karang taruna mendapat konsesi mengelola tambang. Karena selama ini tambang desa dikelola oleh perusahan asing.
Kabar gembira itu disambut oleh pemuda dan karang taruna se kabupaten. Organisasi pemuda merasa lega, selama ini hanya terbatas sebagai pendengar saja. Bahlul bak pahlawan kemerdekaan. Masyarakat desa Istana Murka mengelukan dan menyambut istimewa. Demikian juga para pejabat seperti Bupati, Camat hadir ingin mengucapkan terima kasih atas perjuangan mas Bahlul yang sukses dapat mengelola tambang desa. Para penggemar antre untuk bertemu memberi selamat pada pada mas Bahlul. Padalah mas Bahlul adalah pemuda yang baru ikut dalam kancah politik. Tapi kariernya melesat dan bersinar. Itu semua karena dekat sama pak lurah dan diberi keleluasaan penuh untuk mengelola SDA desa. Agar desa Istana Murka dapat maju melampaui desa- desa lainnya. Hanya saja, masyarakat desa pro kontra dengan organisasi pemuda yang dilibatkan mengelola tambang.
Sepulang dari Jakarta, Bahlul menyinggung soal tumbangnya pohon beringin. Bahlul memberi usul pada pak lurah agar pohon tersebut segera diberesin, dibersihkan tidak membuat macet jalan. Akhirnya pak lurah setuju usul Bahlul. Pak lurah memberikan kepercayaan penuh pada Bahlul agar segera memanggil tukang kayu untuk memotong ranting- ranting pohon beringin.
Kayu beringin sedemikian banyak. Sehinga bisa digunakan sebagai bahan meubel.” Kata pak lurah pada Bahlul”. Sisanya ranting dan daun dibawa ke tempat pembuangan sampah. Dan kini alun- alun tampak bersih, lebih terang setelah pohon beringin itu tumbang.
Penulis adalah aktivis Mahasiswa 80 an
Ketua Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Yogyakarta.