Global Kopi Pekat
Oleh Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis
“Jika Bisma tak gugur oleh panah Ardadadali Arjuna,
dilepaskan Srikandi isterinya, akankah peperangan itu reda.
Mengapa jiwajiwa jernih kehidupan mampu mengobarkan
peperangan tak semestinya.”
Janji tinggal janji. Kalau cinta tak bersemi sebening mata air alami. Adakah mata air itu, saat dunia cemas bencana iklam, melotot, akibat laut tercemar sampah teknologi hingga keangkasa. Lapisan bumi gelisah ingin berontak-mungkin masih enggan. Waktu tempuh belum mencapai ketentuan kehendak satuan semesta.
Udara, bagai perawan di sarang penyamun. Siapa penyamun sebenarnya di antara sekian jumlah makhluk penghuni dunia. Apakah rudal jelajah pengembang ancaman perang, untuk siapa. Apakah, demi isu segelintir oknum haus darah, kaum vampire, atau zombies world modernism, lantas seolaholah makhluk itu setara ada.
Aduhai banget, sebagaimana virus ho.ho.ho menjadi alat efektif mengancam kehidupan menyeluruh lewat perang bersenjata nuklir-kimia. Horor, dicipta, tercipta oleh siapa. Apakah realitas perang mencoba menghapus peradaban abad kewahyuan-sejarah para pemula iman; akankah dianggap tidak ada.
Apakah karena makhluk alien planet jauh sudah pintar bikin robot seksual setara amoral, sekejam narkoba tak kunjung padam, sadisnya perang modern, di ranah watak dunia korup, keserakahan bak accessories stage props, alegoris di awanawan. Apa sebenarnya jenis makhluk berinteligensi lengkap, namun tak pernah sempurna.
Tak mumpuni mencapai puncak antiperang. Apakah enggan masuk alam kesadaran keimanan, keseimbangan kehidupan lingkungan tanpa peperangan. Mengapa lebih memilih menjadi makhluk alien arogan, berwatak dasar destruktif, merasa paling mampu mencipta teknologi perang terdahsyat, kamuflase tercanggih genosida.
Lantas menepuk dada pamer kekuasaan ekonomi kepada planetplanet, sekalipun korban perang, natural mengenaskan, pedih perih. Sejarah cinta kasih abadi akankah sirna-bodok amat kalau itu demi cuan, ehem, hanya sebatas itukah asa bersama memelihara perdamaian di planet pemikiran pemangku kuasa usaha materialisme.
Ngapain sih, bangga amat dari hasil judi peperangan, meraup sejumlah cuan dari daya upaya perang, seakanakan mampu menghancurkan multi-kebudayaan hidup telah bertumbuh sejak sejarah peradaban realisme praklasik. Apakah sejarah kebaikan tak penting banget, terpenting pencapaian tujuan kalibut cuan berdarahdarah. Sekalipun harus amoral.
Selebihnya berkacamata kuda, mencoba menganggap tak ada apapun, siapapun, kecuali oknum sah sih suh abakadabra telah menjadi kuasa usaha bentrokan polemik represif peperangan. Semakin ramai isu di udara lebih mudah mencuri di kolong kaki langit, sekalipun dengan cara paling korup, biadab.
Bersyukur NKRI-Pancasila, memiliki Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, di bawah asuhan Ketuhanan Yang Maha Esa, mengayomi Indonesia Raya Pancasila.
***
Jakartasatu Indonesia, Agustus 17, 2024. Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.