ig@jokowi
ig@jokowi

Joko Widodo Sosok Pembunuh Demokrasi

Oleh: Lukas Luwarso (Astha Brata Institute)
Matinya Demokrasi

Pengaruh oligarki bagi sektor politik dan keamanan adalah menciptakan kondisi agar kedua sektor tersebut responsif (tanggap) terhadap kepentingan oligarki. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika berbagai UU dan kebijakan negara disusun dalam rangka memberi kemudahan atau insentif bagi oligarki. Sebaliknya, UU dan kebijakan negara umumnya tidak responsif (tanggap) terhadap kepentingan publik. Bagian ini menyoroti tentang pengaruh oligarki terhadap berbagai kebijakan di sektor politik dan keamanan serta dampaknya bagi kepentingan masyarakat luas.

Kebijakan Politik
RUU Polri: Pengebirian Demokrasi

Pada Rapat Paripurna DPR RI resmi menjadikan Rancangan Undang-Undang
Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“RUU Polri”) sebagai usul inisiatif DPR, pada Selasa, 28 Mei 2024. Berdasarkan rancangan (draft) yang ada, RUU Polri pada prinsipnya memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan yang sangat berlebihan (excessive) kewenangan kepolisian hingga menjadikannya institusi “superbody”.

Penting untuk dicatat bahwa RUU Polri juga gagal menyorot masalah (problem) fundamental yang terjadi di institusi kepolisian selama ini, tidak terkecuali kegagalan dalam menyorot aspek lemahnya mekanisme pengawasan dan
kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight
mechanism) dalam ikhwal penegakan hukum, keamanan negara maupun pelayanan masyarakat.

Revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat, serta berekspresi; hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negara atas privasi terutama yang dinikmati di media sosial serta ruang digital. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai denganpenindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber atas nama keamanan dalam negeri.

Campur tangan Polri dalam tindakan membatasi Ruang Siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik, khususnya
di isu-isu yang mengkritik pemerintah. Selain itu, hadirnya pengawasan secara
eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara serta hak untuk memperoleh informasi serta berpotensi menyebabkan
tumpang tindih kewenangan dengan lembaga negara seperti Kementerian
Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN).
RUU Polri akan memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polri sampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS).

Pasal 16B RUU Polri mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional. Tidak adanya definisi dan penjelasan mengenai istilah “Kepentingan Nasional” yang dimaksud, berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah atau siapapun dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan.”

Kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaan karena pada RUU Kepolisian, kewenangan penyadapan oleh Polri disebut
dilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan, padahal
Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan.

Di sisi lain revisi UU Polri akan semakin mendekatkan peran Polri menjadi superbody investigator. Menurut Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi memiliki
kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang- Undang. Selain itu, Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup.

Lewat RUU ini, polisi juga mendapatkan wewenang untuk memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah

inisiatif untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang
memiliki sejarah kelam pada tahun 1998. RUU Kepolisian masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Tetap diaturnya Pam
Swakarsa dalam RUU Kepolisian harus dievaluasi karena faktanya justru
memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM maupun ruang bagi “bisnis keamanan”. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian semestinya ditinjau kembali.

Selain menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polri tidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian

Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Evaluasi selama ini, Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian.

RUU TNI: Kembali Ke Dwi Fungsi ABRI

Pada Rabu, 22 Mei 2024 mendatang DPR berencana membahasa revisi UU No.
34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam draft terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.Berbagai organisasi masyarakat sipil telah menyatakan bahwa DPR RI harus membatalkan dan meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini.

Selain itu, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi
justru malah sebaliknya. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan
negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI.

Revisi UU TNI yang memasukan fungsi TNI bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara adalah hal yang keliru. Dinegara demokrasi
fungsi Militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik
dan dilatih untuk perang. Oleh karena itu meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara.

Penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan negara sama saja
memberikan cek kosong untuk militer dapat masuk dalam menjaga keamanan
dalam negeri. Hal ini akan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mengembalikan format dan fungsi militer seperti di masa rezim otoriter orde baru.

Persoalan lain adalah pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut
seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut di dalam UU TNI
sebagai regulasi organik yang mengatur tentang TNI. Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dalam kedududkannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI.

Dengan dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU TNI, hal ini menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapai masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa mellaui keputusan presiden. Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yg demokratis.

Perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
dalam RUU tersebut mengandung beberapa masalah serius. Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.

Hal ini dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya
berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI. Bahkan beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer,

seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam
upaya mendukung pembangunan nasional. Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah
sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek
pembangunan pemerintah.

Selain itu, adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draft RUU Pasal 47 point 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru. Penting diingat, pada masa Orde Baru, dengan dasar doktrin Dwifungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis dimana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya.

Dengan demikian, upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara.
Di negara demokrasi, fungsi dan tugas utama militer adalah sebagai alat pertahanan negara. Militer di didik, dilatih dan dipersiapan untuk perang. Militer tidak di design untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Penempatan militer di
luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara bukan hanya salah, akan tetapi
akan memperlemah profesionalisme militer itu sendiri. Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan dia dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya.***