Image By freepik
Image By freepik

Mashab Welfare State Yang Kita Mau

Oleh: Eddy Junaidi (Hastha Brata Institute)

Prabowo Subianto sebagai New Hope
Mashab pilihan Prabowo Subianto (Prabowonomics) terindikasi dari sikap dan perilakunya dalam memerintah. Mulai dari memilih menteri di bidang ekonomi, perencanaan dan program ekonomi, strategi keuangan (pengelolaan APBN), dan kebijakan terhadap pasar. Satu hari setelah Kabinet diumumkan, kita bisa melihat respon pasar terhadap kabinet Prabowo Subianto, khususnya harga valuta asing (USD) dan harga saham.

Kita berharap, dan yakin dengan sikap Nasionalisme Prabowo Subianto, pasti akan dicarikan solusi untuk mengatasi kondisi ketimpangan pengusaha pribumi dan non-pribumi. Sistem ekonomi pro UMKM (64 juta unit) mayoritas tentu menjadi solusi. Namun karena era pasar bebas yang cenderung melahirkan kartel, Prabowo Subianto harus mengendalikan pasar sehingga fungsi negara sebagai Regulator, Fasilitator, dan Katalisator, dalam tata niaga kembali hadir.

Sementara Prabowo Subianto disarankan mengelola dengan prinsip korporatif, bukan dikelola Kementerian. Perlu lembaga Indonesia Incorporated untuk harmonisasi dan sinkronisasi swasta (mayoritas taipan) besar, BUMN dan UMKM mayoritas pribumi, yang sekaligus bendera bisnis Indonesia dalam persaingan global (bersatu untuk mendapat nilai tambah). Jika Indonesia Incorporated berperan, tentu fungsi pemerintah mendorong sektor riil menjadi terwujud.

Satu kelemahan mendasar kabinet Joko Widodo dengan motor Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), lemah dari segi fiskal, tetapi sangat kreatif dalam berutang. Prabowonomics mengatasi hal tersebut dengan memisahkan fiskal, sementara Kementerian Keuangan hanya mengurus moneter bersama Bank Indonesia, khususnya biaya (pengeluaran) untuk pembangunan yang disepakati dalam APBN. Selama ini mayoritas dari pajak dan komoditi migas, karena profit sharing hanya 2,5–5% menurut Undang-Undang.
Disiplin anggaran, kemampuan, dan kreatifitas mengenai fiskal akan dioptimalkan lewat pajak, bea cukai, dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). PNBP khusus bagi hasil dalam sumber daya alam (SDA), seperti: batubara, emas, nikel, dan tembaga, serta mineral lainnya.

Pemerintahan Prabowo Subianto harus negosiasi ulang dengan perusahaan yang menambang mineral dan batubara. Jangan seperti pemerintahan Joko Widodo yang justru tetap memberikan izin tambang kepada sembilan perusahaan tambang batubara terbesar yang merekayasa kebijakan melalui Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020.
Dalam Undang-Undang ini (disponsori oligarki batubara), ada pasal mengenai perpanjangan otomatis bagi perusahaan yang seharusnya sudah habis masa izinnya (periode 2020-2022). Dengan Undang-Undang tersebut, negara kehilangan potensi Rp17.000 triliun, karena saldo deposit dari sembilan perusahaan batubara tersebut senilai angka tersebut. Kembali Despotisme terjadi. Padahal, apa susahnya BUMN mengelola tambang batubara yang ditinggalkan pengusaha tersebut? (daulat investor).
Begitu juga dengan Freeport, kontraknya diperpanjang di ujung kekuasaan Joko Widodo, dari yang seharusnya habis kontrak pada tahun 2022, menjadi diperpanjang sampai dengan tahun 2041.

Freeport tidak pernah terbuka dan jujur mengenai produksi. Diminta hilirisasi, selalu ditunda. Freeport memastikan smelter pada tahun 2025. Dengan smelter di Indonesia, jadi dapat diketahui kandungan mineral di dalam komoditi tambang.
Kita mengetahui bahwa ketika tahun 1994 Amien Rais meributkan mengenai Freeport yang menambang emas di Indonesia sejak tahun 1967, namun yang dilaporkan hanya tembaga. Setelah itu baru pada tahun 1995 Soeharto bernegosiasi agar Indonesia diberi opsi saham sebesar 10%, yang saat itu untuk Bob Hasan dan Bakrie. Walaupun hanya sebentar, karena pada tahun 1998 terjadi krisis moneter, saham itu dibeli kembali.
Joko Widodo juga membeli saham Freeport untuk apa? Karena jika berani, saham Freeport 100% menjadi milik Indonesia, karena kontraknya habis di tahun 2021. Dengan opsi perpanjangan kontrak disekuritisasi oleh Freeport pada Bursa Saham New York, dan capital gain sudah dinikmati korporasi di depan. Skema ini menjadi trend bisnis negara secara korporatif, dengan skema Sovereign Wealth Fund (SWF).

Bisa dibayangkan, jika tambang nikel kita dikembangkan menjadi kepemilikan Indonesia dengan skema SWF, dan sekuritasi potensi aset masih belum dieksploitasi, tetapi sudah dinikmati hasilnya.
Prabowonomics harus memadukan Prudent Management keuangan, dan kreatif serta inovatif dalam fiskal. Mudah-mudahan pada tim BPN (Badan Penerimaan Negara) ada ahli pasar yang update perkembangan skema pasar, dan mampu mengelola sistem SWF dalam optimalisasi fiskal, terutama dari sektor PNBP.

Intinya Prabowo Subianto harus negosiasi ulang dengan oligarki yang menikmati pemerintahan Joko Widodo yang pro investor (oligarki). Mulai dari sektor pajak maupun PNBP akan berhadapan dengan 100 pembayar pajak terbesar.
Untuk PNBP berhadapan dengan pengusaha migas (mayoritas asing), pertambangan batubara dengan taipan lokal. Dibuat kebijakan agar uang hasil ekspor harus kembali ke Indonesia, jangan diparkir di luar negeri, di negara bebas pajak seperti: Singapura, Panama, Swiss, Bahrain, Monako, Oman, Qatar, Cayman Island, dan lain-lain.
Kesepakatan Ulang dengan Sembilan Naga.

Dengan PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar Rp22.000 triliun (2022), pada tahun 2023 turun menjadi Rp20.892 triliun, sedikitnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan lapangan kerja. Pada umumnya taipan mengembalikan hasil ekspor untuk cash flow operasional belaka. Bahkan kantor holding mereka banyak yang di Singapura (sekaligus family office), dan bisa dikategorikan sebagai money laundring karena menghindari pajak.

Untuk itu harus negosiasi dengan para taipan Sembilan Naga. Oligarki dengan istilah populer harus ditaklukan Prabowo Subianto secara persuasif karena mereka termasuk dalam dua puluh orang terkaya Indonesia sebagai pajak terbesar.
Dari Sembilan Naga, sebagian besar terlibat kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), seperti: Sukanto Tanoto (Raja Garuda Emas/RGE dan Unibank); Anthony Salim (BCA/Bank Central Asia); Sjamsul Nursalim (BDNI/Bank Dagang Nasional Indonesia dan grup Gajah Tunggal); Mochtar Riyadi dan James Riyadi (Lippo Bank); Franky Oesman Widjaja (BII/Bank Internasional Indonesia dan Sinar Mas); Aguan Sugianto Kusuma (Agung Sedayu Group) dan Tomy Winata (Bank Artha Graha); Tahir (Mayapada Bank); Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono (Djarum); Sofjan Wanandi (Gemala Group).

Sofjan Wanandi tidak terlibat BLBI dan bersih dari kasus pidana, karena sebagai pendiri CSIS (Centre for Strategic and International Studies), dia matang berpolitik, eksis di Orde Baru dan Orde Reformasi. Bahkan di era Joko Widodo (2014) dia menjadi Koordinator Staf Khusus Wakil Presiden Republik Indonesia.

Ada beberapa nama yang juga bisa dikatakan bagian dari Sembilan Naga, seperti Prajogo Pangestu (Grup Barito Pacific) yang menjadi partner perusahaan kimia terbesar PT. Chandra Asri bersama Bambang Trihatmodjo, dan di bidang perkayuan, pengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) terbesar di Sumatera Selatan, berpartner dengan Siti Hardijanti Rukmana.

Nama lain adalah Hary Tanoesoedibjo (MNC Group) sebagai Naga Organ Soros (AS) yang kaya mengakuisisi aset Bimantara dan Grup Citra (Siti Hardijanti Rukmana) secara hostile takeover pada tahun 1998, dengan memanfaatkan Soros, dan melemahnya “kekuatan” Cendana.

Nama Jacob Soetoyo pengusaha properti dan Sumber Daya Alam, juga sering disebut bagian dari Sembilan Naga. Selanjutnya Rusdi Kirana (Lion Group) raja bisnis transportasi penerbangan dengan tiga perusahaan penerbangan; Batik Air (menengah atas), Air Jet (segmen menengah), Lion Air (lowcost), dan Wings (jalur perintis), yang menempatkannya sebagai Dewan Pertimbangan Presiden.

Berikutnya, Peter Sondakh (Rajawali Group), bergerak di bidang properti, pertambangan, dan bank yang dimiliki Peter Sondakh adalah Bank Rajawali Internasional (Investment Bank).

Istilah Sembilan Naga, karena awalnya berkumpul sembilan taipan (kelompok Prasetya Mulya) pada era Orde Baru yang diundang oleh Soeharto ke Tapos; dan berkembang menjadi kekuatan oligarki. Eksistensi mereka sebagai oligarki terwujud ketika mereka berhasil menemukan pemimpin boneka.

Dalam kasus bisnis, mereka terlibat soal kartel kelapa sawit. Kasus ini terbuka karena manuver Megawati Soekarnoputri dan Budi Gunawan (Kepala Badan Intelijen Negara) memberikan data dan info fraud atas kartel sawit yang menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng. Beberapa eksekutif “naga sawit” dipidanakan.

Peristiwa ini sampai ke telinga Xi Jinping “saudara tua” Joko Widodo. Xi Jinping kecewa bahwa Joko Widodo dan Luhut Binsar Pandjaitan tidak lagi bisa melindungi para taipan berbisnis di Indonesia. Para taipan secara tidak langsung adalah tangannya di Indonesia sebagai oligarki.

Berikutnya kasus BTS (Base Transceiver Station) Telkom. Kita tahu bahwa 85% infrastruktur dan perangkat keras Telkom adalah dari Huawei dan ZTE (produk Cina), dengan menggunakan tangan grup Sinarmas.

Dalam fraud kasus investasi Telkom, kemudian lahirlah korporasi GoTo yang didukung oleh Erick Thohir (Menteri BUMN), dengan investasi menggunakan dana Telkom sebesar Rp 700 miliar, kemudian GoTo go public menggoreng saham setelah menikmati gain, mereka diam saja ketika saham GoTo menjadi pepesan kosong. Terlibat kelompok Adaro dan North Star di belakang layar dengan menggunakan Gojek dan Tokopedia (GoTo) sebuah korporasi portfolio untuk eksploitasi saham di pasar modal.

Kasus korupsi dan fraud di bidang Timah (Bangka) yang mencapai Rp300 triliun, tetapi biang di belakang Harvey Moeis belum dijadikan TSK (tersangka) karena di-backup oleh salah satu naga.

Selanjutnya terjadi kasus lazimnya rezim Despotik, seperti pemalsuan emas dari PT. Antam (BUMN).

Di PLN kasus listrik swasta, khusus pasca bayar yang lebih mahal dari harga PLN karena salah dalam kesepakatan kerjasama dengan swasta, ekses ambisi Joko Widodo–Jusuf Kalla tentang ketersediaan energi listrik, sehingga oversupply. Sementara kebutuhan jauh lebih kecil karena ekonomi melambat, dan PLN terpaksa membeli lebih mahal. Eksesnya harga listrik PLN (perusahaan monopoli) termahal di ASEAN, dan kinerja berutang jumbo mencapai Rp500 triliun.

Badan Penerimaan Negara sebagai Solusi Fiskal
Memang tepat jika Prabowo Subianto membuat Badan Penerimaan Negara, karena selama ini tiga sumber fiskal tidak tersentuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK,) karena sumber fraud (kecurangan) dari para taipan (oligarki).
Pajak, Bea Cukai, dan PNBP, jika dievaluasi dan dikonsolidasi akan terjadi peningkatan ruang fiskal yang signifikan. Membayar pajak bukan soal ketaatan

belaka, tetapi dengan pembukuan transparan dan riil, maka penerimaan pajak bisa optimal, jika 100 pembayar pajak perorangan dan badan terbesar jujur sesuai dengan kinerja keuangan sesungguhnya.
Bea Cukai dikonsolidasi petugas pajak dan peningkatan pemanfaatan teknologi agar barang illegal tidak masuk Indonesia, dan terjadi peningkatan cukai. Khusus cukai rokok ditertibkan, seperti mafia pencetak cukai palsu. Jika ini dilakukan, akan terjadi peningkatan pemasukan cukai secara signifikan.

PNBP dari pengusaha migas lewat SKK Migas harus negosiasi ulang. Penolakan sistem Go Split yang dianggap berat bagi investor, kembali ke sistem Cost Recovery, apakah sudah terbaik dan win-win solution? Diharapkan ketemu skema dan sistem yang pas, tetapi tidak melanggar norma sistem profit sharing secara internasional. Begitu juga dengan sistem bagi hasil perusahaan mineral dan batubara. Porsi profit sharing untuk negara hanya 2,5% – 5% dan penerimaan pajak.

Sekali lagi perlu negosiasi ulang, transparansi laporan keuangan, agar diperoleh peningkatan signifikan pada PNBP.

Kebijakan ekonomi untuk Peningkatan PNBP, sekaligus dengan hilirisasi agar hasil mineral menjadi transparan dan lebih jujur. Selain porsi bagi hasil, disesuaikan juga dari basis penghitungan yang faktual.

Sebagai contoh, Freeport sejak 1967–1995 dalam laporan yang dirilis, hanya produksi tembaga. Padahal dengan smelter (hilirisasi), diketahui bahwa ada kandungan mineral lainnya, seperti: emas atau uranium. Karena smelter Freeport berada di AS, maka ekspor mineral dari Papua dalam bentuk mineral mentah. Disinyalir ada kandungan uranium (komoditas termahal saat ini), karena sebagai bahan baku nuklir. AS menjaga Freeport dengan segala cara, karena tidak pernah ingin nuklir dimiliki negara lain, khususnya Tiongkok.

Smelter Freeport yang sedang dibangun di Gresik setelah selalu ditunda, akan selesai pada tahun 2025. Bayangkan Freeport sudah menikmati komoditi tanpa berbagi sama sekali. Prabowo Subianto harus tegas mengenai skema bagi hasil migas dan pertambangan, untuk perluasan ruang fiskal (penerimaan negara) yang kelak dikelola oleh BPN (Badan Penerimaan Negara).
Tim ekonomi Prabowo Subianto secara persuasif dan tegas harus menetapkan skema terbaik jika mengandalkan perluasan ruang fiskal selain ratio pajak.

Dalam menunjang UMKM, Orde Baru telah memberi contoh yang baik dengan alokasi kredit 20% untuk koperasi dan UMKM. Dengan jumlah potensi 64 juta unit, jika dikembangkan kembali seperti era Orde Baru; mulai dari Kredit Usaha Rakyat (modal), training, pendampingan, ketersediaan bahan mentah, dan distribusi (pemasaran), serta tata niaga harmonisasi, agar BUMN dan swasta nasional besar menjadi Bapak Angkat UMKM, dengan prinsip win-win solution, menjadi aset bukan liability (beban).
Tidak ada salahnya meneruskan apa yang baik telah dicapai oleh Orde Baru. Orde Baru sangat berhasil dalam hal ekonomi dibanding era Reformasi. Pertumbuhan ekonomi sebesar 7–8% rata-rata sejak tahun 1977– 1998. Nilai tukar mata uang asing (Dolar Amerika Serikat) sebesar Rp2.500 per USD; harga emas Rp20.000 per gram; harga minyak Rp700 per liter.

Penerimaan lapangan pekerjaan, pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan, jauh lebih baik perkembangan indeksnya dibanding Orde Reformasi.***