Mengawang Esai pun Terbang

Oleh Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis.

Nah loh. Panik-isme, sebuah pertanyaan mampir di kepala hamba. Sederhana banget pertanyaan si kecil “Babe, bendera ko’k bisa gerak-gerak ya ditiup angin?” Ketika itu si kecil usia sekolah dasar awal.

Hamba mencoba mencari jawaban sesederhana mungkin, sebatas pendidikan hamba sangat terbatas pula “Keren ya Son, benderanya gerak-gerak karena ditiup angin,” dari wajahnya kelihatan si kecil tak berminat pada jawaban hamba. Tetap menatap dengan santai, bendera berkibar di bambu, terikat di tiang rumah. Mungkin, jawaban hamba tak masuk akalnya.

Hal ihwal pertanyaan itu, kalau di jawab serius, bakal makin serius pertanyaan si kecil, meski sepintas terlihat sederhana, santai seperti itu. Telah kesekian kalipula mampir di kepala hamba kesederhanaan pertanyaan serupa itu, di antara banyak pertanyaan lainnya. Pernah hamba jawab sembari santai, begini “Bendera itu berkibar karena digerakkan angin, Son.”

Dia tanya lagi “Siapa sih Beh, yang ngegerakkin angin,” wah, mati kejang hamba, bakal gawat, panjang lebar pertanyaan si kecil kalau hamba jawab secara pikiran dewasa. Bakalan sambung menyambung, pertanyaannya. Mending ane ajak beli bubblegum aja die. Berangkatlah kami menuju warung sebelah.

Kemurnian pertanyaan sains imajinatif si kecil, bakal bikin hamba knockout, oleh jawaban hamba sendiri, finalti ke gawang hamba, gawat. Karena si kecil bakal bertanya lagi dengan kalimat pembuka, seperti biasanya “Kenapa ko’k … seterusnya … seterusnya …”

Sekalipun dialogis, terjadi santai, tetap hamba bakal keteteran menghadapi kepolosan, kejujuran pertanyaan si kecil, padat oleh kecerdasan imaji-sains di pikirannya. Sampai pada pertanyaan, si kecil, hamba coba simpulkan ‘siapa menggerakkan bendera di tiang tertinggi,’ kalau jawabannya ‘angin,’ maka pertanyaan berikutnya dari si kecil, ‘siapa menggerakkan angin,’ kalau jawabannya ‘alam,’ maka pertanyaan berikutnya dari si kecil, ‘siapa menggerakkan alam …’ Tentu manusia dewasa, telah mumpuni keilmuannya, mungkin, punya jawaban beragam pesona sesuai iman keilmuannya.

Pendaki gunung andal telah mencapai wawasan keragaman panorama estetis, dari ketinggian puncak pendakian, senantiasa bijaksana pada alam lingkungan juga sesama.

Pencerapan nurani pada rasa syukur telah diciptakan, sekaligus seisi Alam Raya, bagi kelangsungan kehidupan para makhluk, dengan satu kata sederhana, ‘Kun,’ maka hadirlah kehidupan semesta.

Tak mampu hamba, pribadi, membayangkan dengan keimanan seluas apapun. Seumpama, jika kata, ‘Kun,’ tak pernah ada, tak ‘kan pernah ada pula, bimasakti, berikut segala isinya. Tak ‘kan ada pula taklimat, ditiupkan ruh kedalam kehidupan, menjadi makhluk ciptaan-Nya.

Tangis awal seorang anak manusia tak ‘kan pernah ada pula. Hamba tak ‘kan pernah hadir menulis di media online Indonesiana, ini, ajang komunikasi terindah, menurut hamba.

Bersyukur, hamba bisa belajar dari para penulis andal di sini. Bersama menjaga keseimbangan komunikasi antar disiplin keilmuan, akulturasi seluas langit sebatas pandangan manusia.

Keterbatasan manusia, pada ‘isme keilmuan,’ sebatas itu pula, mungkin, pikiran keilmuannya. Risalah menguak sains lebih jauh, adalah upaya kebaikan, mendekatkan, menguatkan iman kepada Ilahi.

Itu sebabnya pula, barangkali, wajib belajar tanpa henti, salah satu jawaban dari sekian banyak rahasia-Sains Ilahiah. Temuan korporasi laboratorium angkasa kelas planet dunia, memotret gambaran, konon, ada, white hole di balik black hole.

Temuan itu, sebagai info sains bolehlah melengkapi pustaka. Kalau mau menilik perbandingan temuan tingkat kecerdasan manusia lebih jauh, sejak era kepurbaan.

Lintas spiritual, keyakinan, kepercayaan, ada, di ‘Kebinekaan,’ di nurani masing-masing. Hal ihwal terpenting dalam hidup ini. Saling memberi salam berbudi kebaikan kasih sayang. Lantas mengapa masih mempersoalkan hijab nonhijab; sesungguhnya hal ihwal itu ada pada hak asasi Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab di ranah Kenegaraan. Sila kembali melihat; pelajari lagi Pancasila dengan sungguhsungguh agar lebih bijaksana memahami Kebinekaan inheren Kesetaraan. Salam Indonesia Bersatu Saudaraku.

***

Jakartasatu Indonesia, Agustus 20, 2024.                                                              Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.