PHK Melonjak 1000 Persen, Buruh Tagih Janji Pj Gubernur dan Evaluasi Kinerja Kadisnakertransgi Jakarta

JAKARTASATU.COM Jumlah pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melonjak sepanjang tahun ini. Di beberapa provinsi, jumlah pekerja yang ter-PHK bahkan melonjak ribuan persen.

Data kementerian ketenagakerjaan (kemnaker) mencatat jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.

Beberapa provinsi menyumbang kasus PHK terbesar. Di antaranya adalah Provinsi Jakarta. Jumlah pekerja yang mengalami PHK di provinsi Jakarta pada Januari-Juni 2024 menembus 7.469 orang. Jumlah tersebut bertambah 6.786 orang atau hampir 1.000% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Hal ini mendapat kritik keras dari Ketua Bidang Buruh Dalam Negeri Pimpinan Pusat Badan Buruh dan Pekerja Pemuda Pancasila, Dimas Tri Nugroho saat menyampaikan keterangannya kepada wartawan pada Selasa, (20/08/2024).

Dimas menyampaikan bahwa kinerja Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Pemerintah Provinsi Jakarta, Hari Nugroho dinilai lamban dan terkesan menutup mata terhadap ledakan pengangguran akibat PHK Buruh di Jakarta, Dimana Jakarta melonjak angka PHK mencapai 1000 % ,” kata Dimas.

” 5 Provinsi dengan kenaikan kasus PHK terbanyak adalah Jakarta (6.786 orang), Bangka Belitung ( 1.489 orang), Banten (994 orang), Riau ( 539 orang), dan Sumatera Utara (465 orang) ,” papar Dimas.

Jika dilihat dari prosentasenya, provinsi yang mencatat kenaikan terbesar adalah Bangka Belitung ( 3.918%), Aceh (1.745%), Jakarta (994%), Sumatera Utara (628%), dan Sulawesi Tenggara (210%).

“Dimas juga menagih janji pada Pemerintah Provinsi Jakarta dalam hal ini Pj Gubernur Heru Budi Hartono yang berjanji akan memberikan pelatihan kerja kepada warga Jakarta yang kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK),” tegas Dimas.

Hingga kini, Pemprov Jakarta belum juga merealisasikan janjinya tersebut. Dijanjikan Pj Gubernur akan memberikan pelatihan kerja untuk warga Jakarta yang terkena PHK ini disampaikan oleh Pj Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono. Katanya, pelatihan ini akan diberikan ke para pekerja Jakarta yang terkena PHK periode Januari-Juni 2024.

Heru Budi tak memberikan penjelasan lebih lanjut soal jenis dan mekanisme pelatihan kerja yang dia maksud. “Iya, kami fasilitasi (dengan pelatihan kerja),” ujar Heru saat ditemui di Pasar Minggu, Jakarta Selatan Senin, (05/08/2024).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Februari 2024 sebesar 4,82% atau turun 0,63% dibandingkan Februari 2023.

Pengangguran yang turun di tengah banyaknya PHK salah satunya disebabkan oleh penyerapan kerja di sektor informal.

Data BPS menunjukkan proporsi pekerja informal Indonesia saat ini tercatat 59,17%, melesat dibandingkan per Agustus 2019 yakni 55,88%.

“Banyaknya pekerja informal menunjukkan banyaknya angkatan kerja yang tidak bisa diserap oleh lapangan kerja,” ucap Dimas.

“Pekerja informal ini menjadi rentan karena mereka tidak memiliki besaran penghasilan yang pasti, banyak yang tidak dilindungi oleh asuransi, dan akan kesulitan mencari akses keuangan untuk modal ataupun mengajukan kredit lainnya,” terang Dimas.

Dimas mendesak Kadisnakertransgi Jakarta, Hari Nugroho untuk segera menurunkan tingkat pengangguran jakarta dan membuka lapangan pekerjaan serta meningkatkan keterampilan pekerja Jakarta yang saat ini banyak ditopang oleh lapangan kerja informal. Banyak dari pekerja yang kehilangan pekerjaan atau terkena PHK di pabrik banting setir mencari pekerjaan menjadi driver ojek online atau di e-commerce.

Lapangan kerja ojek online atau e-commerce orang bisa dapat penghasilan tapi prospeknya berbeda antara yang formal dan informal.

“Kalau pekerja formal bisa naik gaji, naik karir, tapi kalau informal gimana? ,” tanya Dimas.

“Lonjakan pengangguran di Provinsi Jakarta akibat maraknya PHK massal menyebabkan banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian untuk keluarga sehingga menurunkan daya beli masyarakat, Hal ini dapat menimbulkan kerawanan sosial dimana tingkat kriminalitas meningkat, tawuran warga, gizi buruk, pendidikan menurun dan lainnya,” tutup Dimas. (Yoss)