sawit

Sebanyak 0,2% Oligarki Menguasai 56% Lahan Negara

Oleh: Eddy Junaidi (Hastha Brata Institute)

Memilukan nasib rakyat Indonesia di Tanah Air yang subur dan kaya potensi Sumber Daya Alam (SDA) tapi hanya segelintir yang menikmati, itupun bukan pribumi asli. Bayangkan, 175 juta hektare (93% daratan Indonesia) dikuasai swasta dan asing, dengan nilai tambah yang tidak optimal bagi Negara.

Elite 0,2% menguasai 56% aset nasional, bahkan menurut data Bank Dunia 1% menguasai 49% aset nasional, lebih dramatis lagi angka Oxfam International, 4 orang terkaya setara dengan 100 juta orang miskin di Indonesia.

Ketimpangan sosial diperparah karena komoditi strategis dikuasai swasta/asing, sehingga negara kehilangan kendali mengatur kue ekonomi dan distribusi aset ke rakyat Indonesia. Apalagi yang 1% didominasi satu etnis, yakni Tionghoa. Stereotip Inlander, “Indon” di negara lain memperburuk citra Indonesia sebagai Negara.

Dari kelompok tambang, menguasai 35% daratan Indonesia (hasil penelitian KPA-Konsorsium Pembaruan Agraria), terdiri dari: 1.194 Kuasa Pertambangan (KP), 341 Kontrak Karya (KK), dan 257 titik kontrak pertambangan batubara. Pemerintah dinilai lalai memberikan izin, tanpa mempertimbangkan nasib warga yang hidup dari lahan tersebut. Hal ini dilindungi oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, maka setelah tahun 2007 pemilikan lahan dan alih fungsi lahan pertanian menggeser kepemilikan petani.
Penguasaan lahan harus dimoratorium

Dikuasainya lahan oleh pemilik modal merupakan dampak dari tidak teraturnya manajemen pertanahan (land register dan land management). Rencananya Joko Widodo akan melakukan land reform (redistribusi aset) dan sebagian daerah sudah direalisasikan.
Rencana reformasi pertanahan adalah salah satu solusi mengatasi ketimpangan dalam perencanaan tata ruang dan tata guna lahan.

Redistribusi aset adalah sarana distribusi lahan dan tanah dapat menjadi untuk mencapai tujuan menyejahterakan rakyat, khususnya petani.

Dari 10,9 juta lahan kelapa sawit, 52% dimiliki oleh swasta besar, karena 11 dari 20 konglomerat berbisnis kelapa sawit. Sisanya, dimiliki BUMN dan Perkebunan Rakyat (42%). Sayangnya, penguasaan lahan yang besar tidak diimbangi dengan pengembangan hilirisasi, seperti yang dilakukan di Malaysia. Hal yang sama juga terjadi dengan kayu, karena kita hanya mengeksploitasi bahan baku. Indonesia hanya mendapat kerusakan lingkungannya, sementara nilai tambah diperoleh pihak importir (Asing).

Diharapkan, Pemerintah tidak lagi berorientasi pada ekspansi lahan sesuai permintaan pengusaha kelapa sawit, tetapi harus mensyaratkan hilirisasi di Indonesia. Jadi, hentikan dulu ekspansi hulu (perkebunan)-nya mulai dorong dengan regulasi agar pengusaha kepala sawit berorientasi pada hilirisasi produk kelapa sawit.

Pemerintah harus melakukan moratorium izin, khususnya mengkonversi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) menjadi kebun kelapa sawit. Dengan konsentrasi pada hilirisasi yang akan mendorong investasi dan nilai tambah, serta ketersediaan tenaga kerja dengan tumbuhnya industri manufaktur dari bahan baku kelapa sawit.
Produk turunan kelapa sawit, seperti: oleofood, bio oleokimia, bio energi, bio lubricant, bio surfactors dan bio detergent. Masalahnya, keterlibatan Asing di perkebunan kelapa sawit tentunya akan menjadi tantangan Pemerintah untuk menekan dengan kebijakan hilirisasi, bukan hanya ekspor mentah saja.

Cukup sudah tersedia 13 juta hektare lahan untuk kelapa sawit dan 10,9 juta hektare sudah ada izin, tidak akan ada negara yang melampaui, dan kita harus berkonsentrasi pada hilirisasi kelapa sawit.

RUU Kelapa Sawit ditolak 13 LSM

Pasal yang diributkan oleh peggiat lingkungan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelapa Sawit, adalah pasal 18 tentang insentif untuk mendorong hilirisasi dengan pengurangan pajak penghasilan, keringanan bea masuk barang modal, mesin, atau peralatan produksi, keringanan pajak, dan bantuan pemasaran produk di luar negeri.
Selanjutnya pasal 47 tentang pengelolaan gambut. Pemerintah akan memfasilitasi pengelolaan gambut di perkebunan kelapa sawit.

Selain itu, RUU Kelapa Sawit dianggap 60% tumpang tindih dengan RUU Perkebunan yang sudah ada, dan tidak detil mengatur hak ulayat serta kejahatan korporasi. Bahkan cakupan Undang-Undang Perkebunan tentang kejahatan korporasi lebih luas dan lebih detil mengatur sanksi pidana.
Dinilai, RUU Kelapa Sawit hanya melindungi pengusaha dari hulu ke hilir, sementara kontribusi untuk Negara dan kejahatan korporasi seperti merusak lingkungan dan penyebab kebakaran hutan tidak menjadi perhatian RUU Kelapa Sawit. Terkesan, RUU tersebut titipan pengusaha kelapa sawit, karena jarang DPR berinisiatif dalam merancang undang-undang.

Hal tersebut yang menjadi alasan utama dari 13 LSM (yang dipimpin oleh Walhi) meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menolak RUU tersebut.

Secara keuangan, kontribusi kelapa sawit memang signifikan saat ini, karena pada tahun 2016 ekspor mencapai USD 19,6 miliar atau Rp 260 triliun, dengan kontribusi pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) mencapai Rp 79,5 triliun dan menampung 5,3 juta orang tenaga kerja atau ada sekitar 15 juta orang yang tergantung hidupnya dari bisnis kelapa sawit.

Tentunya, figur keuangan bisnis kelapa sawit akan lebih dahsyat jika hilirisasi dilakukan seperti di Malaysia. Dengan lahan terbatas, dan sekarang sudah moratorium karena tidak tersedia, Malaysia menggenjot hilirisasi produk kelapa sawit dengan lahan terbatas, menghasilkan kinerja lebih besar manfaatnya untuk Negara.

Kelapa sawit sumber devisa dan Ketahanan Pangan

Industri kelapa sawit menyumbang 1,8% dari GDP (Gross Domestic Product) atau 11% dari total ekspor Indonesia. Market share Indonesia sekitar 45%, sedangkan Malaysia 42%. Parlemen Eropa yang menuding industri kelapa sawit sebagai perusak lingkungan dan deforestasi, tapi mereka tidak membahas jika kelapa sawit Indonesia menghasilkan 197 juta oksigen sebagai paru-paru dunia karena menyerap karbondioksida. Pencegahan deforestasi dengan melindungi HCV (High Conservation Value) area/area konservasi tinggi, kebijakan tanpa bakar (zero burning), dan pengurangan emisi rumah kaca, serta perlindungan lahan gambut.

Industri kelapa sawit Indonesia juga sudah dilengkapi Sertifikat Minyak Sawit Lestari (Certificate of Sustainable Palm Oil), sehingga isu deforestasi dari Parlemen Eropa mengada-ada. Kunjungan beberapa anggota Parlemen Eropa meninjau kebun kelapa sawit ke Riau, menunjukkan bahwa isu deforestasi menjadi “isapan jempol”.

Disinyalir, karena kebutuhan mereka terhadap minyak nabati tinggi dan ingin mengganti bahan bakunya dengan bunga matahari yang banyak tersedia di Eropa, serta ingin melakukan produk substitusi.

Pangan adalah isu utama dunia di era Proxy War, dikenal dengan istilah Food Security (Ketahanan Pangan). Sayangnya Indonesia belum menetapkan pangan sebagai produk strategis.

Era Soeharto perlindungan masyarakat terhadap sembako dengan kehadiran fungsi Bulog saat itu signifikan menyejahterakan rakyat. Namun, ketika

Reformasi tahun 1998 dengan ikatan 50 butir Perjanjian RI dengan IMF, subsidi pangan ditiadakan dan fungsi Bulog menjadi Persero. Rezim ‘neolib’ menghindari subsidi dalam APBN, memberatkan beban penduduk sehingga ketika subsidi pangan dan BBM dicabut, yang tergelincir ke garis kemiskinan membesar.

Petani yang merupakan 65% penduduk Indonesia saat ini terancam tergelincir menjadi miskin karena rata-rata hanya memiliki lahan pertanian 0,3 – 0,5 hektare yang jelas tidak akan bisa menghidupi keluarganya dari hasil tani.

Kebijakan redistribusi aset dan land reform penting dilakukan untuk menjadi solusi masalah ketimpangan sosial di Indonesia, khusus dalam lahan pertanian. Pengaturan juga sekalian membatasi kepemilikan lahan yang terlalu luas dalam pertanian dan pemberian izin sesuai kemampuan sehingga ada pengusaha yang punya izin mencapai 734.000 hektare (Sinar Mas Group).

Ironi bagi petani yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia, tersingkir dengan pertanian skala industri, sementara Pemerintah lalai menjadi fasilitator yang berkeadilan sosial. Sudah tentu jika kebijakan ini dilanjutkan akan memperburuk ketimpangan sosial yang terjadi.


Tiongkok dan Eropa konsumen terbesar dunia

Tiongkok dengan jumlah penduduk mencapai 1,6 miliar jiwa menjadi konsumen minyak nabati terbesar di dunia, dengan pangsa pasar 19%, menyusul Eropa sebesar 17%, lalu India 11%, Amerika Serikat (AS) 8%, Indonesia 4%, dan sisanya
sebesar 41% oleh negara lainnya. Permintaan Tiongkok akan tumbuh sesuai peningkatan kesejahteraan penduduknya.

Wilmar, perusahaan milik Martua Sitorus berpartner dengan konglomerat Malaysia, Robert Kuok terbesar (40%) dari minyak goreng bermerek Tiongkok. Jika ke negara Tiongkok menemukan merek Arwana, Leekua, Golden Corp, Wonder Farm, Gold Ingots, Konfu, itu adalah produksi Wilmar. Di Indonesia dengan merek Fortune dan Sania, adalah produksi Wilmar.

Sementara pemain raksasa lainnya untuk minyak goreng adalah Grup Sinar Mas, dengan merek Filma, Kuncimas, Mitra, Masku, Biss Oil. Sinar Mas juga memproduksi margarine Filma, Palmboom, Palm Vita, Menara, Mitra Special, dan Pusaka. Kelapa sawit Sinar Mas juga diolah menjadi speciality fats (Delicia dan Delicou), frying fats, dan butter oil substitute (Palm Vita Good, Goodfry Palmboom).

Salim Group dengan industri kelapa sawitnya memiliki Bimoli (minyak goreng) dengan PT. Salim Ivomas Pratama (SIMP) yang juga pemilik 59,5% saham London Sumatera Plantation, Tbk. juga menjadi raksasa di bisnis kelapa sawit. PT. SIMP adalah salah satu anggota Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO), karena dengan RSPO diyakini akan menghasilkan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan pabrik di Jakarta, Bitung, Medan, dan Surabaya memproduksi 195.000 ton CPO per tahun. Produk utama SIMP adalah minyak goreng Bimoli, Happy Salad Oil, Delima dan Mahakam. Margarin dengan merek Sinar Palma dan Ananda.

Pemerintah harus mendorong hilirisasi seperti tiga perusahaan di atas, agar nilai tambah dari kebun kelapa sawit menjadi bagian dari percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan yang terpenting industri sawit menjadi salah satu industri padat karya, sehingga solusi bagi ketersediaan lapangan pekerjaan yang menjadi salah satu tugas negara.