Angin Segar Demokrasi Putusan MK Bisa Jadi Puting Beliung untuk Kubu Ridwan Kamil dan Suswono
Oleh DR Gede Moenanto Soekawati, M.I.Kom*)
ANGIN segar putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pilkada menjelang dibukanya pendaftaran Pilkada mempunyai implikasi yang signifikan, khususnya terkait upaya untuk merusak demokrasi, yang digagalkan MK.Pada awalnya, semua pihak sudah meyakini bahwa untuk maju dalam kancah Pilkada serentak di tahun 2024 itu harus menggunakantidak hanya 20 persen perolehan suara bahkan melampaui 50 persen suara, bahkan menggunakan semua perolehan suara partai politik (parpol) peserta pemilu.
Misalnya koalisi obesitas (kegemukan) di Pilkada Jakarta dengan 12 parpol berbondong-bondong masuk KIM Plus.
Nyaris semua parpol di DKI Jakarta yang mempunyai kursi dan menjadi peserta pemilu di tahun 2024 itu beramai-ramai masuk gerbong KIM Plus. Meski demikian, putusan MK bisa memperkuat KIM Plus, tapi bisa juga melemahkannya. Sesuai sejumlah hasil survei, nama sejumlah kandidat di antaranya Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama menempati kandidat teratas, tapi ada upaya untuk mencegah kedua nama itu memasuki kancah Pilkada Jakarta, khususnya Anies Baswedan karena selalu menempati posisi paling atas sebagai Calon Gubernur Jakarta.
Sementara kandidat yang diusung KIM Plus yaitu Ridwan Kamil berada di bawah lima persen hanya sekitar tiga persen, bahkan dibandingkan anak Joko Widodo, Kaesang Pangarep, nama Emil ini yang merupakan bekas Gubernur Jawa Barat tidak terpaut jauh.
Kaesang hanya mempunyai elektabiltas di angka satu persen dan Ridwan Kami hanya tiga persen.
Upaya KIM Plus untuk menguasai semua suara pemilih di Pilkada di seluruh negeri termasuk di Jakarta nyaris mulus andaikata tidak ada putusan MK terkait dengan ambang batas yang mengakibatkan hampir semua parpol gagal mengusung sendiri kandidat mereka.
Dengan adanya putusan MK, upaya yang bisa dilakukan adalah membatalkan putusan MK meski waktunya sangat sedikit bisa saja dilakukan, tapi dengan demikian akan ada upaya berikutnya untuk kembali memberlakukan putusan MK, yang bersifat mengikat dan sudah dilaksanakan dalam kasus Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan anak sulung Joko Widodo itu untuk akhirnya bisa menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) meski hanya didukung tiga hakim MK, empat menolak total, dua juga menolak karena harus setingkat provinsi (gubernur).
PKS sudah rela bergabung di koalisi obesitas untuk hanya menjadi wakil gubernur meski partai ini meraih suara terbanyak bahkan merelakan kedudukan cagub dipersembahkan kepada Ridwan Kamil, yang justru meninggalkan mereka di saat mengikuti Pilkada Jawa Barat.
Demikian juga Partai Nasdem dan PKB yang seharusnya bisa juga mengusung sendiri calon mereka, dengan adanya putusan MK yang memangkas ambang batas hanya 7,5 persen, kedua partai ini hanya menjadi pendukung tanpa bisa mengusung calon sendiri di Pilkada Jakarta.
Dengan adanya putusan MK ini, bisa jadi partai-partai yang tadinya ada di koalisi obesitas termasuk PSI akan bisa mengusung cagub dan cawagub sendiri dibandingkan mendukung kandidat yang merupakan representasi Golkar (Ridwan Kamil) dan PKS (Suswono).
Dengan mengusung sendiri cagub dan cawagub, maka keuntungan sendiri akan diraih semua parpol yang di awalnya bergabung dalam koalisi obesitas itu.
Lantas mungkinkah ada cara lain untuk mencegah PDIP dan sejumlah parpol di koalisi obesitas itu untuk masing-masing mengusung sendiri cagub dan cawagub Jakarta ditambah hasil survei yang sangat rendah untuk nama Ridwan Kamil, Suswono, apalagi kandidat partai independen, yang serta merta mencatut nama semua warga Jakarta dengan dukungan palsu padahal tidak ada satu pun warga Jakarta mengaku mereka mendukung pasangan polisi (pensiun) Dharma Pongrekun dan pasangannya.
Buktinya semua warga yang dicatut namanya oleh pasangan independen yang pada awalnya diloloskan dengan tidak melalui verifikasi oleh KPU DKI Jakarta itu pada akhirnya tetap diloloskan meski dengan berbekal dukungan palsu. Jauh lebih besar dukungan parpol di antaranya PDIP, sehingga seharusnya PDIP dan semua parpol bisa mengajukan calon sendiri sesuai ketentuan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa pasangan kandidat kepala daerah harus diusulkan oleh partai politik peserta pemilu.
Dharma yang merupakan pensiunan polisi malah mencatut warga Jakarta yang tidak mendukung mereka untuk menjadi pengusungnya.
*)Pengamat komunikasi politik Universitas Pancasila Jakarta