Dekadensi Moral dan Pengabaian Etika Penegaklan Hukum

By Bob Randilawe (AstabratA Institute).

Ada fenomena bahwa pola pikir aparat penegak hukum cenderung menempatkan semua kasus hukum sebagai “projek”, sejak dari awal temuan. Tingkatan kasus bertahap mulai dari kasus “rendahan”, “menengah”, sampai “kakap”. Mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, sampai pemenjaraan di Rutan yang melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Semua jenjang kasus menjadi sumber uang. Ada rumors dalam masyarakat bila berurusan dengan aparat kepolisia, kejaksaan, dan kehakiman berlaku aturan tidak tertulis: “KUHP” yaitu kasih uang habis perkara. Atau, SUMUT: Semua Urusan Mesti Uang Tunai. Salah satu metode penanganan kasus adalah “perubahan pasal”, semisal kesalahan besar di-rekayasa menjadi kesalahan kecil. Dan seterusnya, dan seterusnya. Jika tersangka atau terdakwa tak punya uang cukup, maka tidak aka nada intervensi hukum yang bisa “meringankan”. Prosesnya akan dibiarkan berlalu secara bisnis as usual.

Tak heran berkembang persepsi dalam masyarakat  bahwa kasus hukum cenderung menjadi sumber pemasukan bagi aparat penegak hukum. Ya akibat dianggap sebagai “projek kasus” seperti tadi itu. Hal ini tentu saja secara akumulatif menimbulkan permasalahan akut, yakni pengabaian etika dan moralitas aparat penegak hukum. Permasalahan akut tersebut ibarat “puncak gunung es”, yang disaat muncul ke permukaan akan menimbulkan kehebohan seperti kasus “rekening gendut”, atau kasus jenderal sambo, hingga keterlibatan oknum petinggi polri dalam transaksi narkoba dan kasus judi online.

Nasib KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pun tak jauh beda. Saat ini seakan berada di titik nadir, mati segan hidup enggan. Terutama sejak perubahan UU KPK yang merubah status pegawai KPK dari independen menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Kita mengenal 4 (empat) pilar penegak hukum di Indonesia. Namun yang berlaku di lapangan fenomenanya seperti “kartel” antara Polisi, Kejaksaan, Kehakiman, bahkan juga Pengacara.

Kartel Hukum dan Oligarki

AstabratA Institute konsern pada masalah oligarki di tanah air. Kelompok oligarki mendominasi sektor perekonomain, dan kini “memainkan” sektor politik. Oligarki ini seolah bukan saja mau kaya, tetapi juga mau mengatur kekuasaan. Kekuasaan menjadi tidak berdaulat, dan sudah tidak bebas lagi dari pengaruh dan permainan kelompok oligarki. Kondisi inilah yang menyebabkan kekuasaan meninggalkan cita-cita mulia dan luhur dari pendiri bangsa yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD45.

Kelompok-kelompok oligarki (bisnis dan politik) masuk melalui pendekatan elit, baik elit bisnis konglomerasi maupun elit politik dan parpol. Kekuatan oliugarki bermain dengan elit atau pucuk-pucuk kekuasaan, baik di eksekutif dan juga legislatif. Kartel kemudian terbangun dari persekongkolan kotor antara (oknum) penegak hukum dengan jejaring oligarki atau penjahat-mafia judi, bandar narkoba, serta koruptor.

Akibat lemahnya pengawasan dan disertai pengabaian terhadap moralitas dan etika penegakan hukum sehingga berkebanglah situasi hukum dikendalikan kartel dan kartel dikendalikan oligarki. Masyarakat seperti tidak berdaya dan takt ahu harus darimana memperbaikinya. Ibarat benang kusut, tak jelas lagi ujung pangkal benangnya. Situasi inilah yang membuat rendahnya derajat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, terutama mereka yang terkena kasus hukum namun tak ber-uang cukup. Kalaupun ada upaya perbaikan, hanya bersifat tambal-sulam dan tebang pilih. Akibat kuatnya tekanan dan kooptasi kelompok oligarki sehingga tak celah untuk menegakkan keadilan sejati. Apalagi pada kasus-kasus korupsi “kakap” dan perampokan keuangan negara melalui sektor pertambangan (nikel, timah, dan migas).

Solusi Kepastian Hukum Yang Berkeadilan

Awalmula kekacauan dari pemeo “semua bisa diatur”. Pemeo inilah yang menjadi hukum yang berdasarkan keadilan dan kejujuran tersingkirkan. Dan tergantikan oleh itu tadi “Kasih Uang Habis Perkara” dan “Semua Urusan Mesti Uang Tunai”. Pertanyaannya, sampai kapan masyarakat bisa hidup dibawah sistem hukum yang adil dan sehat? Sampai kapan aparat penegak hukum kita dapat bebas dari korupsi dan suap? Hukum di Indonesia harus mampu memberikan kepastian hukum yang berdasarkan keadilan dan kebenaran.

Ada yang mengatakan hal itu adalah sesuatu yang ideal. Memang begitulah seharusnya. Masyarakat harus memiliki tingkat kepercayaan setinggi-tingginya pada sistem hukum, termasuk aparat penegak hukum. Tanpa rasa percaya yang tinggi mustahil terbangun kecintaan dan rasa memiliki terhadap aparat penegak hukum. Agendanya memang berat. Tapi hal itu harus dimulai dari langkah pertama.

Tak lama lagi akan terjadi pelantikan Presiden terpilih Prabowo, pada Oktober 2024. Diharapkan, pada pemerintahan baru nantinya sistem hukum kita bisa tegak dan bebas dari pengaruh kelompok-kelompok kartel hukum serta kekuatan oligarki (bisnis dan politik) yang sejatinya menjauhkan penegak hukum dengan cita-cita pendirian republik. Tabik.